29.6.13

Shockturday


 
First of all, i’m gonna tell you before you get noticed, this is no show-off post. I’m just wanting to sing my gratitude for everything He had given to me this, these lovely-almost-17-year. And i want you to come sing along with me. Come in my happiness.

Wait, happiness? We’re familiar with it. But really, i’ve never really knew what’s it and what’s the point of happiness. It’s just smile and laughs and love, no? Or ‘when we’re together’ thing? To me it doesn’t explain happiness clearly. And here me goes, i’m turning this way and this day. And i’m going to say that this is ‘OH..’ day. I finally understand what unexplainable thing wants to explain itself. 

This is June 29. I should’ve gotten my last report. I was in pain of sleeping the night before. I used to think that social or science is okay. That depends on how’s your effort. But in that night, i just realized that....i’m no good in social...at all. I’m no economical growth thinksucker, i’m no memorizing robot, i’m no good in making lines for accountance, i’m no good at social at all and i just realized that as a matter of fact, I’VE DONE NOTHING TO OVERCOME THEM ALL. I did no anticipating-programs whether i would be in social/science class. All i ever thought about is i’m good in science and my instinct would lead me to it. But still, i had no any prep if i..forcefully, had to go to social class. And i started to get an insomnia thinking about it. And in that time, all i could do was praying for the best. It’s absolutely shocking to, in the end, 7 hours before the student report distribution day, you’re not ready to get what you deserve.

Allah tahu semalem aku doanya maksa :’D

I slept at half past 1 and fully woke up at 7. I had a plan to make Adi’s birthday surprise so i didn’t go to Madiun with my parents, yet i wasn’t ready at all to see my scores. And this is a pic from her birthday. Happy birthday, girl. I love you {}


 **

“Lid kamu ranking 7, Sarkem 6, aku 9, Abim 8, Adi 10 J
...
Zhizhi said. That’s when i got the buzz.

“IPA”
Mom said. The next buzz.

Part I ended. God knows His beggar a way too much. And i’m a lucky person. Too lucky.

 

Then, at night i got a mention from my acquaintance from 3rd AFS test in Malang couple weeks before. She told me to open my account and the next second i cried.
God, this is shocking.
I’m not ready for this.
But you told me to. This time. When i’m this dizzy to understand what really happens.


Happiness.
The first word i got when i felt that turn of moment. I don’t know how to explain happiness for sure, but i know this is one of its definition. My heart felt so damn warm like being hugged by a big panda, so damn cold like it’s holding boxes of ice, and so...damn... amazed like i opened an opera curtain and see a new upcoming life of myself. My sofa i sat on suddenly transformed into a trampolin. It flies me to the sky, bounces me over and over and over again. I’m awake from my long bad dreams and dark shadow. Oh god, this is happiness. The happiness of the happiness. The happiness i’ve been dying to live it up. The lost city i’ve been wandering all these time. I finally found it.





Guys, i’ll never be enough by saying thank you. I leave my life for You. And The State never seems this close...

 

5.6.13

Bukan Cerita Cinta


Jadi, senja waktu itu seperti senja terburuk. Senja yang tak indah seperti semestinya. Senja yang kehilangan jingganya. Rea masih menunduk, membekap wajahnya di pundak Megan. Serentetan kisah berputar satu demi satu di kepalanya, bagai film tua yang kusut. Semuanya berkecamuk di dalam pikirannya, buram dan berserakan. Rea tidak tahu dari mana dulu dia memulai, ia juga lebih tidak tahu  bagaimana caranya untuk berhenti disana, saat itu juga.
“Ya Tuhan.. Ya Tuhan..” kata-kata itu terus terucap dari mulutnya tanpa henti, senada dengan titik air yang terlalu sulit untuk jatuh dari kedua bola matanya.
“Rea.. Maafin aku..” Megan memeluk Rea yang mematung sedari tadi. Sementara itu separuh roh Rea melayang entah kemana, hilang, kosong melompong tanpa isi. “Bukan salah kamu, Meg. Bukan salah kamu. Aku yang salah, aku yang bodoh, aku yang buta, tuli..”
“Enggak, Rea.” Megan kembali memeluknya. Kemudian Rea segera bangun dan menggamit tasnya serta membereskan barang-barang yang tadi dikeluarkannya.
“Aku pulang dulu, Meg.”
“Rea! Kamu mau kemana?”
“Aku butuh sendiri dulu. Makasih ya buat semuanya. Hari ini indah banget buat aku!” kata Rea sambil tersenyum—yang tentu saja dipaksakan—kedua matanya berkaca-kaca.
Kemudian ia melaju motornya dengan kencang. Meninggalkan Megan, yang sedikit menyesali dirinya atas semua yang terjadi hari itu.
***
Sudah setahun sejak peristiwa Rea duduk 12 jam tanpa bicara sedikitpun dengan seseorang yang berada tepat disampingnya. Dan Rea juga tidak tahu bagaimana Adam, orang itu bisa menemukannya di dunia seluas ini. Kini senyum manis menghiasi wajah Rea, dan Adam-lah alasannya. Getaran yang menghampiri ponselnya belakangan ini semakin gencar. Rea memandangi layar ponselnya, sebentar-sebentar tersenyum oleh candaan kecil yang Adam buat.
Lama sekali Rea tidak merasakan getaran-getaran seperti ini. Seakan hatinya telah mati untuk merasakan suka terhadap lelaki. Rea adalah cewek tomboy yang menyukai basket, memiliki selera tinggi soal cowok, suka memakai pakaian cowok dan benci berdandan. Dan soal jatuh cinta...mungkin Rea tidak begitu peduli tentang hal semacam itu. Dia merasa perlu di-training habis-habisan soal cinta. Dan bagaimana sosok satu ini membuatnya merasakan getaran itu lagi, Rea belum tahu, mungkin juga tidak mau tahu. Rea bahkan tidak tahu bagaimana cara mengatakan bahwa dia menyukainya.
“Tapi kamu suka, kan, sama dia?” tanya Karin suatu hari.
“Kamu ini apaan sih?! Sekarang kamu bayangin ya, aku, sama dia, beda kota. Aku nggak bisa lihat dia setiap hari. Nggak bisa tahu dia sekarang lagi apa, sama siapa, gimana kabarnya..”
“Emang kalau kita suka sama seseorang, jarak itu berarti ya?”
“Banyak ngomong kamu. Udah ya aku basket dulu. Bye!” potong Rea sembari mengencangkan tali sepatunya dan beranjak pergi.
“Hati-hati, Re!” sahut Karin dari kejauhan.
Dan gadis itu selalu menjauh dari apa yang seharusnya dia miliki.

***


Rea dan Karin sedang berkumpul di kamar Megan. Esoknya mereka akan ulangan Bahasa Jepang. Bukan kabar baik, tentunya. Berjam-jam berlalu dengan tanpa suara ketika selanjutnya..
“AAAAAARGH!”
“Re, kenapa?!” tanya Karin dan Megan hampir bersamaan.
“Mm-hmm” Rea menggeleng sambil memegangi lututnya. Dia terlihat gemas dengan dirinya sendiri sampai membekap mulutnya erat. Namun Karin dan Megan tahu anak itu menyembunyikan sesuatu.
“Re..” Megan mendekat ke hadapan Rea, disusul dengan Karin. “Kalian ngapain sih, hah?” tanya Rea yang merasa aneh dengan perlakuan dua sahabatnya itu.
“Ada yang kamu sembunyiin dari kita.” Karin menatap mata Rea dengan tajam.
“Apaan? Enggak!”
“Iya. Ada yang kamu sembunyiin. Mata kamu nggak bisa bohongin kita, Re. Kamu tahu itu..” todong Megan selanjutnya.
“Aaaa.. Tapi aku.. Uhh.. Sebenarnya..”
“Kenapa? Cerita dong.. Aku kepo nih!” ucap Megan memelas.
“Kamu ditembak?”
“Hah, beneran kamu ditembak?”
“Mmm...”
“Re..”
“Aaaa... Aku bingung kenapa bisa kaya gini.. Semua ini cepet banget buat aku!”
“AAAA!!” teriak Megan dan Karin bersamaan.
“Kok jadi kalian yang heboh sih?! Uhh, aku harus gimana dong?”
“Ya teri..”
“Nggak bisa Meg!” potong Rea cepat. “Belum bisa..”
“Kenapa?” tanya Karin kemudian.
“Aku juga nggak tahu kenapa. Seperti ada sesuatu yang nyegah aku buat kesana..”
Pernyataan itu disambut keheningan yang menyelimuti seisi kamar Megan. Karin dan Megan juga sama khawatirnya dengan Rea. Di satu sisi, mereka bahagia akhirnya ada seseorang yang mampu menerima Rea dengan tulus. Namun di sisi lain, kekhawatiran akan lelaki buaya juga masih belum bisa mereka elak. Mereka takut akhir dari cerita Rea dan Adam tak sejalan dengan harapan.
“Mungkin lebih baik nggak aku jawab dulu..”

***

Dua bulan berlalu, Rea dan Adam masih seperti dulu. Dua orang yang saling suka namun terperangkap dalam hubungan ‘bukan apa-apa’. Rea masih takut mengambil keputusan, entah mengapa seperti ada sesuatu yang membisikinya untuk berkata tidak pada Adam. Rea selalu menghindar dari pertanyaan itu. Ia membiarkan kalimat itu menghantuinya setiap saat, tanpa ia mau mencari jawabnya. Karin dan Megan pun telah letih meyakinkannya untuk membuka hati bagi Adam, mereka tahu betul Rea adalah si kepala batu. Terlalu sulit mengubah argumen yang dimilikinya. Sementara bagi Megan ataupun Karin...Adam pun masih seperti orang lain, tentu saja, mereka tidak pernah bertemu. Sekolah adam berada 40 kilometer jauhnya dari tempat Rea tinggal saat ini. Hanya cerita Rea lah yang membuat Megan dan Karin tak lagi asing di kehidupan Adam. Dan hanya Rea yang tahu apa yang seharusnya ia lakukan.

Megan dan Karin tak pernah begitu tahu bagaimana Adam memperlakukan Rea selama ini. Hingga pada suatu sore yang gerimis, Megan dan Rea baru saja turun dari bis. Perjalanan dari Kota Pramanegara—kota asal Megan, Karin dan Rea—ke Kota Purabaya memakan waktu satu jam lamanya.
“Tadi dia SMS aku. Alay banget tahu, Meg.”
Alay gimana? Coba aku lihat.”
Baru kali ini Rea mengizinkan Megan membaca pesan dari Adam untuk Rea. Terlihat kira-kira 3 pages pesan teks berisi puisi yang indah. Kalimatnya begitu rapi, penuh makna, dan menyiratkan kekaguman di tiap baitnya. Megan merasakan haru oleh lelaki tak dikenal yang ternyata begitu tulus terhadap sahabatnya. Dan puisi itu berakhir dengan kalimat “Aku sayang kamu, Re :)”
Megan akhirnya yakin orang ini ditakdirkan untuk Rea. Cepat-cepat ia memberitahu Karin akan hal ini.

***

“Re, aku mau ngomong sesuatu sama kamu.”
“Apa Meg? Aku nggak denger!” Rea mendekatkan telinganya ke Megan. Kemudian Megan menambah volume suaranya.
“Nanti aku mau ngomong sama kamu!”
“Iya ngomong aja nggak apa-apa..”
“Tapi aku nggak mau disini. Ini penting. Menyangkut hidup dan mati kamu, Re.”
“Alay kamu, Meg. Iya deh, kemana? Ke Mister Juice, ya? Habis ini? Oke?”
“Uhh.. Iya oke.” Jawab Megan pasrah. Rea bahkan tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya. Rea dan Megan serta Linda, teman sekolahnya sedang menonton pertandingan tim basket sekolahnya, SMA Merah Putih, melawan SMA dari kota tetangga. Megan paham sekali, Rea jika dipertemukan dengan pertandingan basket, pasti sudah lupa diri, lupa makan, lupa tidur. Maka dari itu Megan memilih mengajaknya bicara diluar pertandingan basket saja.
“Yuk, Meg! Jadi nggak nih kita rapat menyangkut hidup dan matiku?”
“Umm.. Hehe.. Jadi dong! Kita berangkat sekarang ya. Aku ambil motor dulu.”
Mereka berdua kemudian segera sampai di Mister Juice. Megan telah siap memulai dengan jus jambunya, sedangkan Rea masih sibuk dengan jus melonnya.
“Mau ngomongin apa sih, Meg? Serius banget..” tanya Rea sambil sibuk mengaduk-aduk gelas jus melonnya.
“Aku bingung harus mulai dari mana..” tiba-tiba raut Megan menjadi serius. Megan menunduk, menghela nafas. Dan bersiap mengatakan hal terpahit pada sahabat yang paling dicintainya.
“Kenapa sih?” akhirnya Rea memperhatikan Megan.
“Kamu..sama Adam..udah sejauh mana?”
“Mm.. Aku belum jadian kok. Kenapa?”
“Serius? Kok kemarin aku lihat..”
“Enggak. Aku nggak jadian. Kenapa, Meg?” potong Rea cepat. Megan menatap Rea dan menggenggam tangannya, perlahan.
“Jangan diterusin, Re.” Megan tersenyum, dipaksakan.
“Tapi..kenapa?” Rea kembali menatap Megan—orang yang tidak tahu harus menjawab pertanyaan itu dengan kalimat dan tenaga apa lagi. Megan begitu tahu Rea sudah jatuh untuk orang itu. Dan yang kini harus dihadapi Rea hanya...entahlah. Hari mulai senja. Langit menggelap dan lampu-lampu jalanan mulai saling berkedip. Namun entah mengapa, suasana disana seakan beku dan sunyi, seakan hanya tersisa suara Megan dan Rea saja. “Dia udah punya pacar?”
Kalimat itu terasa seperti bom di hati Megan. Harusnya dia mengangguk. Tapi dia hanya terdiam, tak melakukan apa-apa. Megan hanya bisa tersenyum, dan memegang pundak Rea. “Apa aku pernah cerita kalau Widy, temenku SMP, pernah deket sama Adam?”
Rea hanya mengangguk, menahan airmata yang ingin jatuh dari pelupuk matanya.
“Aku tadi ketemu Widy. Dia tanya apa Rea lagi deket sama Adam? Terus aku jawab iya. Pikirku, mungkin Adam cerita ke Widy. Terus Widy bilang, ini gawat. Aku tanya kenapa, terus dia bilang...selama ini..” Megan mengumpulkan nafasnya. “Adam udah sama orang lain.”
“Siapa orang itu, Meg? Aku harus tahu.” dengan pasrah Rea masih memberanikan diri menanyakan hal itu pada Megan.
“Namanya Maya. Alina Fitri Mayasanti, satu sekolah sama dia.” Jawab Megan dengan berat hati. Ia tak tahu betapa hancur hati Rea akan hal ini. Namun Megan berpikir lebih baik Rea tahu kebenaran, walau pahit. Daripada Megan harus melihat Rea tertawa dalam kebahagiaan yang palsu.
“Ya Tuhan.. Ya Tuhan..” kata-kata itu terus terucap dari mulutnya tanpa henti, senada dengan titik air yang terlalu sulit untuk jatuh dari kedua bola matanya.
“Rea.. Maafin aku..” Megan memeluk Rea yang mematung sedari tadi. Sementara itu separuh roh Rea melayang entah kemana, hilang, kosong melompong tanpa isi. “Bukan salah kamu, Meg. Bukan salah kamu. Aku yang salah, aku yang bodoh, aku yang buta, tuli..”
“Enggak, Rea.” Megan kembali memeluknya. Kemudian Rea segera bangun dan menggamit tasnya serta membereskan barang-barang yang tadi dikeluarkannya.
“Aku pulang dulu, Meg.”
“Rea! Kamu mau kemana?”
“Aku butuh sendiri dulu. Makasih ya buat semuanya. Hari ini indah banget buat aku!” kata Rea sambil tersenyum—yang tentu saja dipaksakan—kedua matanya berkaca-kaca.
Kemudian ia melaju motornya dengan kencang. Meninggalkan Megan, yang sedikit menyesali dirinya atas semua yang terjadi hari itu.
“Terima kasih ya, Mas Aktor. Aktingnya bagus sekali, segera bikin film aja :)”

Begitu kata Rea di akun twitternya.
Karin segera tahu akan hal ini. Namun baik Karin dan Megan, mereka sama-sama tidak tahu harus bagaimana mengerti keadaan Rea sekarang. Karena mereka tahu kekhawatiran Rea selama ini baru saja terbukti. Membiarkannya sendirian sebentar mungkin lebih baik. Rea butuh itu. Setidaknya untuk saat ini.

***

Diatas ranjang di kamarnya, Rea membolak-balik gitar kecil yang ada di tangannya. Dan berpikir sejauh mana ia telah berjalan. Dua minggu sudah ia menjalin hubungan dengan Yodi—seseorang yang sebenarnya selama ini selalu menunggunya. Namun mungkin ia masih terlalu sibuk menelusuri puzzle Adam, sampai ia melupakan apa yang ternyata sudah dipersiapkan Tuhan untuknya. Yodi adalah lelaki baik, tampan, dan pintar memainkan gitar. Memang tipikal cowok idaman. Rea membawa semua kenangannya dengan Adam, membungkusnya rapat-rapat, dan membuangnya bersama Yodi. Ia sudah menganggap dirinya bahagia, tanpa Adam. Karena semenjak peristiwa senja itu Adam memutuskan untuk pergi dari kehidupan Rea, karena ia sadar semakin ia menyayangi Rea, yang ada ia hanya menyakiti orang-orang yang sama sekali tak ingin ia sakiti.
Sudah pukul 00.02 dini hari. Dan mata Rea belum mau terpejam.
“Halo, Rea?” terdengar suara seseorang setelah Rea mengangkat panggilan di ponselnya. Sepertinya Adam-lah yang berada di ujung sana. “Rea, kamu belum tidur?”
“Belum.” dan entah kenapa getaran itu selalu bermunculan seperti bom waktu tiap Rea teringat tentang Adam. “Kenapa?”
“Kenapa belum tidur? Mikirin aku ya? Hehe-he..” Adam tertawa kecil.
“Haha.. Enggak lah.” jawab Rea singkat.
“Rea..” suara Adam memberat. “Kamu tahu nggak rasanya terjebak? Kamu sayang banget sama seseorang, tapi orang yang sekarang ada disamping kamu, bukan orang yang kamu sayang..”
“..Rea, aku tahu, kamu tahu maksudku. Aku bakal ngerti banget kalau kamu nggak mau dengerin aku lagi. Tapi izinin aku ngomong disini. Sekali aja.”
“Iya..” seperti biasa. Kata-kata Adam selalu mengunci Rea.
“Rea.. Kita..masih bisa temenan kan, ya?”
“..Aku tahu aku berengsek. Aku tahu aku buang-buang waktu bicara kaya gini. Tapi aku cuma pengen jadi temen kamu, kaya dulu waktu pertama kita ketemu. Aku benci ingat kalau aku adalah orang yang gak pernah pengen kamu temuin lagi. Aku pengen sayang kamu sebagai teman, Re. Aku gak bisa jauh dari kamu..”
Rea menjauhkan ponselnya dari telinganya sejenak. Terdiam, berpikir, lalu mendekatkannya lagi.
“..Aku ngerti. Harusnya aku bahagia punya Maya. Harusnya aku bersyukur ya punya pacar bodoh yang nggak pernah tahu kalau aku sebenarnya nggak pernah suka sama dia.” Kini baik Rea maupun Adam terdiam. “..Tapi buat kamu, aku akan belajar, Re. Aku yakin suatu hari aku bisa sayang sama Maya, entah gimana caranya. Tapi aku ingin kamu juga bahagia nantinya. Jadi kita sama-sama bahagia, gitu. Kan seru tuh..” suara itu kian lama kian dipaksakan. Adam diam sejenak.
“Kamu..bahagia ya.”
Kemudian kata-kata itu menghilang. Menjelma menjadi isak tangis yang Rea dengar dari ujung sana. Itu Adam. Adam berengsek yang sedang menangisi Rea. Rea terdiam sekali lagi, menjauhkan ponselnya. Membiarkan rasa dan air mata itu turun silih berganti. Mereka saling menyayangi dan saling tak bisa memiliki.
“Aku bahagia kok. Kamu tenang aja.”
Dan air mata itu terus menemani mereka. Di ujung satu dan ujung yang lain. Rea terus mendengarkan suara Adam hingga terlelap. Mungkin hati mereka saling menjaga, walau hanya dalam doa.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

P. S.
Jangan tanya ini kisahnya siapa.