4.8.14

Aged

Aged (Another Birthday Post)
Lydia Annisa
August 2nd 2014, 9:59 am.

******

As the tide washed in, the Dutch Tulip Man faced the ocean: “Conjoiner rejoinder poisoner concealer revealator. Look at it, rising up and rising down, taking everyone with it.”
“What’s that?” I asked.
“Water,” The Dutchman said. “Well, and time.”
An Imperial Affliction, Peter Van Houten


Doa dan harapan. Bahwa dalam kehidupan nyata, tidak semua doamu didengar dan tidak semua harapanmu diwujudkan. Kita tidak akan pernah tau doa siapa yang didengar dan harapan siapa yang dikabulkan, maka bersikap baiklah kepada semua orang. Bisa jadi orang yang kau benci adalah juga orang yang didengarkan doanya. Bisa jadi orang yang kau benci adalah juga orang yang membuat hidupmu kini bahagia. “Dunia ini bukan pabrik pewujud keinginan.”

Doaku saat itu...tidak dikabulkan.
Jam itu berdenting lagi. Belum di dua belas. Aku masih bergeming menatap langit-langit ruang balok ini, teringat malam yang diiringi doa-doa dan segala tetek bengeknya. Lagu yang kembali diputar, lagu berkekuatan magis yang dengan sekenanya memutar balik segala sesuatu jauh pada masa sebelum cahaya. Menjungkir balikkan pendengarnya, menempatkannya pada satu seat roller coaster dan membawanya berlari, berpacu dengan  angin. Kembali dilewatkan pada sejumlah pigura berisikan momen-momen berharga yang entah siapa sudi mengabadikannya. Membuat pengengarnya kembali teringat. Di hari ini, tepat setahun yang lalu. Segalanya masih terasa utuh, aku dan mereka dan semua yang kehadirannya amat kusyukuri. Semua hal yang saat itu kudoakan agar bahagia, orang-orang yang kuharapkan untuk tidak pergi. Aku hanya bertanya-tanya, bagaimana orang-orang dengan keindahan sedemikian hanya sempat singgah dan tak bisa tinggal? Bagaimana orang-orang ini penuh dengan kesesaatan. Semu.


Namun biarlah. Sebab mereka, menuntunku kembali disini. Teman-teman, aku merindukan kalian.

Satu pertanyaan: What’s so sweet about seventeen?
Ini buat yang ngerti aja ya, setahun terakhir, umur tujuh belasku yang kurasa tidak ada sweet-sweet nya malah membuatku ingin menangis. Saat mengingatnya, aku kembali melihat diriku yang menyedihkan berusaha mengais harapan akan sesuatu. Yang ternyata berujung sia-sia (finally said it). Seperti yang kamu tahu, banyak usaha di dunia ini yang tidak membuahkan hasil, maka jika yang berusaha saja tidak berhasil, bagaimana dengan yang tidak berusaha? Aku mengatakannya karena aku TIDAK percaya pada keberuntungan, aku hanya percaya kerja keras.

Somebody told me that “Almost is never enough, but on our way to the ‘almost’ we must have learnt a lot”. Apakah mudah menerima kalimat tersebut? HECK NO. Aku marah saat mendengarnya, karena aku tidak terima. Aku tidak menyukai ‘hampir’. Aku tidak akan menjadi ‘hampir’ untuk kesekian kalinya. Ini ‘hampir’ yang membuatku nyaris gila. Dan untuk menerima kenyataan itu, aku hanya harus berdamai dengan diriku. Hal yang ternyata sulit. Sudah terlalu banyak aku menyalahkan diri atas segala sesuatu yang kurasa tidak seharusnya dipersalahkan. Namun ya sudahlah, each story has an end anyway. Sudah kubilang ini buat yang ngerti aja :)



Dan bagaimanakah satu tahun mendatang? Would it be sweet-eighteen?

Semua ini akan kembali pada malam ketika aku tidak bisa tidur, jantungku berdebar luar biasa. Kembali terkapar di ranjang dengan headset terpasang tanpa lagu. Bolak-balik menatap layar dengan interval 1 menit, berharap seseorang dari jauh memberi kabar. Tapi dia, tidak disana. Tidak di layarku. Aku gelisah namun juga setengah mengantuk. Hingga akhirnya kuputuskan untuk tidur.

Lima belas menit saja setelah aku berpikir betapa konyolnya pengharapanku. Aku telah tersakiti pikiranku sendiri. Lima belas menit tertidur. Dan kemudian, lagu itu bernyanyi. Terlalu keras untuk seseorang yang tanpa sengaja menyalakannya di hari selarut ini. Seseorang mengetuk pintuku beberapa saat kemudian. Dan aku, yang setengah hidup mengumpulkan nyawa, dengan  rambut berantakan macam bujang ganong, muka bantal, mata belekan, tanpa sempat berkaca, aku keluar mencari tahu siapa dibalik pintu.

“Selamat ulang tahun!”



Dia.
Dia.
Dia.
Tidak di layarku.
Dia disana, dibalik pintu kamarku.
Seseorang yang bahkan kami tak sempat berkenalan. Yang datang cepat-cepat memasuki hidupku dan tiba-tiba tak kurelakan pergi. Dia yang terus berlari meninggalkan masa lalu, yang selalu ingin kuseka keringatnya untuk kutuntun berjalan. Dia yang lelah. Basah kuyup. “Andai aku bisa menjadi tempat yang teduh.”

“Sinyalnya jelek lho, nyari sinyal sampe sini.” Katanya dengan cengiran signature-nya. Dia terlihat berantakan sekali. Senyuman ke kiri yang diam-diam kurindukan. Yang kubalas dengan jurus tendangan samping ala anak kempo kemudian, tepat di tulang keringnya.

Aku kembali bingung. Aku yang masih terbengong-bengong mengingat ini belum jam dua belas dan mengapa semua orang melakukan ini dan mengapa ada dia disini dan mengapa aku tidak siap dan seluruhnya. Tidak ada yang kumengerti jika ini bukan mimpi.

Hatiku diliputi perasaan hangat seketika. Aku ingin menangis, menghambur ke pelukan mereka untuk kesekian kalinya. Betapa hari-hariku yang buruk ternyata memiliki akhir bahagia, mereka, dan dia. Ya Tuhan, apa aku sudah tidak bersyukur?

Semua pun menyuruhku berdoa. Sedetik, aku terdiam. Aku takut berdoa, didepan semua orang ini. Didepan kue, dan lilin. Semacam trauma akan doa yang tidak diwujudkan. Namun aku tahu, seperti semua kenangan buruk, semua harus ditelan bulat-bulat. I prayed, anyway. Untuk diriku, untuk semua orang, untuk semesta. Semoga kita semua hidup dengan saling menghargai. Semoga kita semua dianugerahi bahagia.


Aku terlalu bersyukur atas hari itu.


Aku memiliki segalanya.




**


Dan, ya. This is just another birthday post FYI. Sebuah kenyataan pahit atau menyenangkan, aku tidak tahu. Aku sudah pernah membahas hal ini dengan seseorang diluar sana, betapa menjadi tua itu benar-benar hukum alam dan menjadi dewasa adalah sebuah pilihan. Ada kalanya kamu belum cukup tua namun dituntut untuk dewasa, dan ada kalanya kamu sudah tua namun dihadapkan pada hal kekanak-kanakan. Sekarang, aku sudah besar. Bukan tujuh belas lagi, tapi tujuh belas tambah satu. Aku delapan belas tahun woy (nyalain kembang api: dziuuuuu jdarrr), sudah tidak bisa dibilang anak kecil lagi. Namun dewasa juga belum, ah bagaimana ini aku di umur transisi.

Jika ditanya siap atau tidak siap, jelas aku tidak siap. Sayangnya siap atau tidak siap pun berubah menjadi pernyataan “Siap atau tidak, ini dia delapan belasmu”. Hah, hidup tidak pernah bertanya dahulu. Aku benci pernyataan -_-

Menjadi 18 adalah dimana kamu dituntut untuk dewasa, mengerti segalanya, meningkatkan iritabilitas atas segala sesuatu, dan mulai membentuk diri menjadi wanita. Literally, wanita. Dan siapalah aku ini untuk menjadi seorang wanita seutuhnya? Masih begundal begini. Tidak bisa berpakaian dengan benar, tidak bisa memasak, tidak bisa menyetir, tidak bisa momong anak kecil (well i only interact with well-speaking person), tidak bisa merias diri, tidak mengenal bedak (apa itu bedak?),. I started to wonder why girls have to hurt themselves just to look pretty in the morning? Why don’t you just show who you really are and let people decide whether they like you or not? ‘Cause being liked or disliked are no longer your concern, it’s their rights. But when it comes to reasons,reasons in the wall,  I don’t know what’s right and wrong anymore.

Mungkin, setahun lagi aku tidak lagi disini. Mungkin aku tidak sempat menulis birthday post lagi, mungkin ini yang terakhir. Mungkin, masa remajaku sudah di masa tenggangnya. . Bahkan bisa jadi, aku akan kehilangan semua hal yang secara harfiah disebut kesenangan. Dan semua kemungkinan lain yang terlalu menyedihkan untuk disebutkan.

Selain akan hidup di lingkungan Universitas (meen bentar lagi ini ingus jadi anak kuliahan) I’ll be in the University of Life. Dimana aku menjadi presiden akan kehidupanku sendiri, and rely on nobody. Hidup akan segera dimulai, yang aku tahu karena ia membuka gerbangnya sedikit untuk kuintip. I’m totally excited of what’s coming up next in my life!!

Aku sadar bahwa masih ada begitu banyak hal yang perlu kupoles. Caraku menyelesaikan ini itu, caraku menghadapi hidup yang sesungguhnya (yang membuatku tidak yakin apakah hidupku sebelum-sebelumnya bukanlah ‘hidup yang sesungguhnya’). Maksudku, lihatlah aku. Kumal, berantakan, berisik, masih suka meracau soal karakter fiksi yang tidak dapat dimengerti orang lain,  masih punya teman khayalan, dan semuanya. Bocah ini (tunjuk jidat sendiri) akan menjadi anak kuliahan yang dituntut untuk serba sistematis, yang kemudian dia bertanya “Nanti kalo ujian kertas soalnya boleh digambar-gambarin gak?”. Ah, aku juga lelah mengatasi bocah ini. Kadang aku lelah dan ingin menjadi orang lain. Pernah kucoba, dan ternyata lebih membosankan. Yang membuatku menyadari bahwa, ternyata hidupku indah, tidak membosankan, penuh karakter lucu seperti jamur bicara dan kuda poni dan unicorn. Dan Gumball dan Darwin. Hal-hal yang tidak kutemukan di hidup orang lain.

Kadang ketika kesempatan datang padaku, yang kulakukan hanyalah ingin menghindar. Bersembunyi menunggu saat yang paling tepat--yang rasanya tak pernah datang. Tetapi semua orang sudah mendapat gilirannya, dan ini giliranku. Tidak bisa ku pass ke siapapun karena tidak akan adil bagi semua orang. You’ll only get one shot and this is the time to do something right. Just dunk your ball to the ring and make some numbers.


I’m ready.