Halo, bagaimana rapornya?
Langsung aja
deh disentak sama nilai rapor, lagi hitz soalnya. He, iya. Jadi ceritanya
kemarin baru nerima rapor dan segala tetek-bengek ocehan soal kelas tiga. Iya,
aku naik kelas tiga and it feels good. Sebentar lagi, eh bukan, sekarang
topiknya bukan tentang “nanti IPA apa IPS?” tapi udah ganti tentang “mau
nerusin kemana?” and to be honest, my answer is still a blur. I think about it
like all the time, i’m always scared where am i gonna live in, what will i
become, how my future would be. Hah, it’s no longer too soon to think about
such kind of stuffs because actually you’re never too soon to think about
future. Back to the topic, i just got my academic report and i think so does
everyone, every nervous eleventh grader and now let’s limit this monologue to
the life of me and my all 11 graders in my school, which is now all of them had
been seniors, and we’re on the highest caste of school.
Sekolah itu
apa sih? Tempat kita menuntut ilmu?
Nggak. School is
a way mooooore than that. Karena di sekolah kamu gak cuma belajar, matematika
fisika kimia geografi atau apalah itu, but you also socialize. You make
friends, you know people, you experience feelings of being accepted and
praised, you make good relationships out of it. But first, let me talk about
the academical things. These things been inside my head for a quiet forever and
when i think about it i feel like my head’s gonna explode.
When we first
entered the school, we’ll be classified into some categories whether you’re a
brainy, you’re a creative, or you’re just a jerk who only seek for certificate
of graduation. And since then, everything is mapped and mixed over again for
those things to be gotten into another class. In a good deed that they could
share and fulfilling each others’ cavities. (pardon my random diction). Di sekolahku
sendiri juga seperti itu, murid-murid dikelompokkan kedalam kategori tertentu,
ada murid pintar, ada murid yang hanya besar keinginan belajarnya padahal
aslinya nggak pintar, ada yang Cuma ikut-ikutan sekolah, dan ada yang termasuk
golongan terbuang. Iya, terbuang. Semua
jenis murid dengan sumber daya masing-masing itu kemudian dimasukkan kedalam
satu kelas. Dan akhirnya mereka akan mengerti satu sama lain, di dalam kelas itu.
Tapi kelas
bukanlah hanya tentang awal dan akhir saja, sebab diantara keduanya benar-benar
terjadi sesuatu. Sesuatu yang sering diremehkan namun seharusnya tidak, sesuatu
yang biasanya dianggap enteng dan tidak dianggap (karena saya pernah
mengalaminya). Kita tahu bahwa naluri manusia adalah untuk berkompetisi, hal
itu akan menjadi baik jika mereka yang berkompetisi berasal dari level yang
sama—mahluk dengan makanan yang sama. Kompetisi ini pun terjadi di lingkup
kelas, namun yang terjadi kadang lebih kepada persaingan tidak sehat. Jenis persaingan
ini muncul karena terlalu beragamnya jenis manusia yang hidup didalamnya,
sehingga keseluruhan manusia dengan makanan
berbeda-beda tersebut terbutakan oleh satu tujuan, menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Manusia-manusia ini sibuk
menggapai apa yang tidak mereka inginkan, dan menekuni apa yang tidak mereka
suka. Padahal untuk menikmati hidup, we gotta do what we love and love what we
do. Saya pribadi tidak suka terlibat dengan kompetisi jika disandingkan dengan
orang-orang yang (saya rasa) tidak sejalan, tidak se-makanan dengan saya. Kompetisi
dalam suatu kelas akan memberikan kita output berupa si pintar dan si bodoh, tidak
peduli seberapa pintar kamu mencari alasan untuk tidak menyebutnya seperti itu
namun itulah kenyataannya. Mereka yang pintar akan selalu dipuja dan
dielu-elukan, diperlakukan spesial. Sedangkan mereka yang bodoh akan selalu
merasa tersudut, terbelakang dan ditinggalkan hingga semakin bodoh. Karena perlakuan
yang demikian, maka si pintar akan menjadi semakin besar kepala dan menganggap
remeh sekitarnya, mencari award membabi
buta hingga dia semakin dielu-elukan. Jika demikian, tinggallah si bodoh—yang ternyata
tidak terlalu bodoh untuk membuktikan bahwa ia juga bisa menjadi si pintar, ia
juga bisa dielu-elukan seperti si pintar. Si bodoh akan melakukan apapun, every
single thing, bahkan hal terburuk sekalipun untuk menjatuhkan atau paling tidak
bisa sejajar dengan si pintar. Dan suatu saat kita akan mengetahui bahwa si
bodoh yang akhirnya sejajar dengan si pintar, masih kurang dianggap. Guru-guru
masih memandangnya rendah, karena label itu telah tertempel di jidatnya dan
susah sekali untuk hilang unless they do something remarkable....for the
teacher itself.
Jujur saya
katakan bahwa saya tidak sangat pintar atau
sangat bodoh untuk dipandang para
guru. Namun hidup diantara keduanya kadang membuat saya merasa dunia ini begitu
singkat hanya untuk memperjuangkan hal yang kurang penting. Katakanlah, saya
memiliki seorang teman, sebut saja Wati. Wati ingin sekali kuliah di
kedokteran, namun karena semua orang meremehkannya dan menganggap dia rendah,
jiwanya menjadi marah dan membuktikan apa yang dia bisa. Dia pun terobsesi
untuk menjadi yang terbaik,ambisinya begitu besar mengalahkan kemampuannya
sendiri. Sehingga ia tumbuh menjadi monster yang siap menerkam siapa saja yang
mencoba untuk menghalangi jalannya. Ia tidak mau berteman dengan siapapun, ia
tidak suka bermain, she doesn’t think about boys (which normal girls does), dan
ia berhenti bersenang-senang. Hidupnya dihabiskan untuk memaksakan dirinya
mempelajari apa yang tidak dia sukai, tak tidur semalaman hanya untuk melakukan
hal yang tidak penting, mencari perhatian guru (yang merupakan sesuatu yang
sangat saya hindari), merengek saat nilainya 8 (padahal teman-temannya 4,5,6), mencurigai
teman yang dianggapnya biasa namun bisa melampaui nilainya (termasuk saya), dan
lain-lain. Wati beranggapan tidak ada seorangpun di dunia ini yang boleh
melampaui dirinya karena “Hey you aku mau ke kedokteran, aku ini pinter banget dan
kamu bodoh banget ha ha ha”.
Entah itu
karena saya yang sama sekali tidak tertarik masuk kedokteran atau saya merasa
dia sangat, sangat memaksakan dirinya hingga mengubah dia yang dulu saya kenal.
Wati berubah menjadi nenek sihir dan saya tidak mengenalnya lagi. Demi apa
semua itu? Demi nilai. Hitam diatas putih. 1 diatas 2. Wati mengorbankan
semuanya demi predikat ‘si pintar’ dan ‘anak guru’. Wati terus-terusan
mengincar siapa saja saingannya yang dia pikir kompetitif. Dia bahkan mengincar
saya yang dulu peringkatnya tepat diatasnya. Segala cara dia lakukan untuk
menjatuhkan saya, namun apa daya saya tidak peduli. Saya tidak suka diajak
berperang, dan saya tidak suka Wati. Jadi
saya cuek saja, saya tetap menjalani hidup seadanya tanpa memaksakan apapun, tetap
melakukan apa yang dulu selalu lakukan tanpa ada niat untuk mengungguli Wati. Tapi
di akhir cerita? Saya masih diatas Wati, 2 peringkat diatas Wati. Singkat kata,
dia mengirimi saya pesan singkat berisi pertanyaan..tentang nilai, yang tentu
saja tidak saya tanggapi. Ada secuil rasa puas dalam diri saya, yang ternyata
masih terlalu dini untuk saya rasakan. Ada hal lebih besar menunggu saya
didepan, sesuatu yang mungkin kuat dan mau tidak mau harus saya taklukkan.
Saya...tidak
bisa menangkap dengan jelas kesimpulan atas semua ini. Tetapi saya katakan
bahwa, sistem ranking di sekolah dapat
mengubah seseorang menjadi monster mengerikan. Monster gila hormat, atau
monster yang aslinya cuma budak
ambisi orang lain. Ranking di sekolah membuat semua orang jadi peduli tentang
apa kata orang lain dan menjadi kurang bebas dalam berekspresi, ranking membuat
semua orang takut salah dan gagal. Karena
di sekolah, apa yang diranking adalah hanya pelajaran itu-itu saja, which is
fun thing for a bunch of people, but not the others. Karena di sekolah, jika
kamu juara OSN Matematika kamu akan dipanggil pintar dan jika kamu juara
bermusik kamu tidak akan dipanggil pintar. Padahal kita tahu hakikatnya
kemampuan berpikir analitis, logis,dan kemampuan numerikal aslinya merupakan
kemampuan genetis tergantung perhubungan syaraf yang terbentuk semasa tumbuh
kembang bayi. Hal bersifat genetis, merupakan hal yang tidak dapat kita ubah. Kita
sibuk memaksakan diri untuk mengubah sesuatu yang tidak dapat kita ubah dan
melupakan definisi bahwa manusia lahir dengan kemampuannya masing-masing, yang
semuanya itu unik. That’s what makes us us, that’s what matters the most. Kita dipenjara
selama kurang lebihnya 12 tahun untuk bisa bebas menentukan pilihan kita
sendiri, perkuliahan. Selama 12 tahun kita dididik untuk menjadi seperti orang lain, kita tidak dididik
untuk mencintai diri sendiri dan menjadi sebaik-baik diri. Kita tidak diajari bahwa
untuk menjadi hebat kamu tidak harus menjadi orang lain, merubah total siapa
kamu untuk menjadi dia, melainkan cukup
jadi kamu yang terbaik. Be yourself, your best self. Hanya itu, sesuatu yang
implisit yang tidak semua orang mau menyiratkannya. Maka saya berharap, di
dunia ini tidak ada sistem ranking sekolah, sehingga setiap jiwa muda akan
menjadi bebas tanpa merasa hidup dalam sangkar, mereka tidak akan takut lagi
jika remidi Kimia (saya banget yang ini), mereka tidak akan memaksakan diri
untuk mendapatkan pujian dari guru, dan yang paling penting, mereka tidak akan
takut lagi untuk menunjukkan apa yang dia bisa.
No comments:
Post a Comment