22.6.14

Ranks





 Halo, bagaimana rapornya?
Langsung aja deh disentak sama nilai rapor, lagi hitz soalnya. He, iya. Jadi ceritanya kemarin baru nerima rapor dan segala tetek-bengek ocehan soal kelas tiga. Iya, aku naik kelas tiga and it feels good. Sebentar lagi, eh bukan, sekarang topiknya bukan tentang “nanti IPA apa IPS?” tapi udah ganti tentang “mau nerusin kemana?” and to be honest, my answer is still a blur. I think about it like all the time, i’m always scared where am i gonna live in, what will i become, how my future would be. Hah, it’s no longer too soon to think about such kind of stuffs because actually you’re never too soon to think about future. Back to the topic, i just got my academic report and i think so does everyone, every nervous eleventh grader and now let’s limit this monologue to the life of me and my all 11 graders in my school, which is now all of them had been seniors, and we’re on the highest caste of school.



Sekolah itu apa sih? Tempat kita menuntut ilmu?
Nggak. School is a way mooooore than that. Karena di sekolah kamu gak cuma belajar, matematika fisika kimia geografi atau apalah itu, but you also socialize. You make friends, you know people, you experience feelings of being accepted and praised, you make good relationships out of it. But first, let me talk about the academical things. These things been inside my head for a quiet forever and when i think about it i feel like my head’s gonna explode.

When we first entered the school, we’ll be classified into some categories whether you’re a brainy, you’re a creative, or you’re just a jerk who only seek for certificate of graduation. And since then, everything is mapped and mixed over again for those things to be gotten into another class. In a good deed that they could share and fulfilling each others’ cavities. (pardon my random diction). Di sekolahku sendiri juga seperti itu, murid-murid dikelompokkan kedalam kategori tertentu, ada murid pintar, ada murid yang hanya besar keinginan belajarnya padahal aslinya nggak pintar, ada yang Cuma ikut-ikutan sekolah, dan ada yang termasuk golongan terbuang. Iya, terbuang. Semua jenis murid dengan sumber daya masing-masing itu kemudian dimasukkan kedalam satu kelas. Dan akhirnya mereka akan mengerti satu sama lain, di dalam kelas itu.

Tapi kelas bukanlah hanya tentang awal dan akhir saja, sebab diantara keduanya benar-benar terjadi sesuatu. Sesuatu yang sering diremehkan namun seharusnya tidak, sesuatu yang biasanya dianggap enteng dan tidak dianggap (karena saya pernah mengalaminya). Kita tahu bahwa naluri manusia adalah untuk berkompetisi, hal itu akan menjadi baik jika mereka yang berkompetisi berasal dari level yang sama—mahluk dengan makanan yang sama. Kompetisi ini pun terjadi di lingkup kelas, namun yang terjadi kadang lebih kepada persaingan tidak sehat. Jenis persaingan ini muncul karena terlalu beragamnya jenis manusia yang hidup didalamnya, sehingga keseluruhan manusia dengan makanan berbeda-beda tersebut terbutakan oleh satu tujuan, menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Manusia-manusia ini sibuk menggapai apa yang tidak mereka inginkan, dan menekuni apa yang tidak mereka suka. Padahal untuk menikmati hidup, we gotta do what we love and love what we do. Saya pribadi tidak suka terlibat dengan kompetisi jika disandingkan dengan orang-orang yang (saya rasa) tidak sejalan, tidak se-makanan dengan saya. Kompetisi dalam suatu kelas akan memberikan kita output berupa si pintar dan si bodoh, tidak peduli seberapa pintar kamu mencari alasan untuk tidak menyebutnya seperti itu namun itulah kenyataannya. Mereka yang pintar akan selalu dipuja dan dielu-elukan, diperlakukan spesial. Sedangkan mereka yang bodoh akan selalu merasa tersudut, terbelakang dan ditinggalkan hingga semakin bodoh. Karena perlakuan yang demikian, maka si pintar akan menjadi semakin besar kepala dan menganggap remeh sekitarnya, mencari award membabi buta hingga dia semakin dielu-elukan. Jika demikian, tinggallah si bodoh—yang ternyata tidak terlalu bodoh untuk membuktikan bahwa ia juga bisa menjadi si pintar, ia juga bisa dielu-elukan seperti si pintar. Si bodoh akan melakukan apapun, every single thing, bahkan hal terburuk sekalipun untuk menjatuhkan atau paling tidak bisa sejajar dengan si pintar. Dan suatu saat kita akan mengetahui bahwa si bodoh yang akhirnya sejajar dengan si pintar, masih kurang dianggap. Guru-guru masih memandangnya rendah, karena label itu telah tertempel di jidatnya dan susah sekali untuk hilang unless they do something remarkable....for the teacher itself.

Jujur saya katakan bahwa saya tidak sangat pintar atau sangat bodoh untuk dipandang para guru. Namun hidup diantara keduanya kadang membuat saya merasa dunia ini begitu singkat hanya untuk memperjuangkan hal yang kurang penting. Katakanlah, saya memiliki seorang teman, sebut saja Wati. Wati ingin sekali kuliah di kedokteran, namun karena semua orang meremehkannya dan menganggap dia rendah, jiwanya menjadi marah dan membuktikan apa yang dia bisa. Dia pun terobsesi untuk menjadi yang terbaik,ambisinya begitu besar mengalahkan kemampuannya sendiri. Sehingga ia tumbuh menjadi monster yang siap menerkam siapa saja yang mencoba untuk menghalangi jalannya. Ia tidak mau berteman dengan siapapun, ia tidak suka bermain, she doesn’t think about boys (which normal girls does), dan ia berhenti bersenang-senang. Hidupnya dihabiskan untuk memaksakan dirinya mempelajari apa yang tidak dia sukai, tak tidur semalaman hanya untuk melakukan hal yang tidak penting, mencari perhatian guru (yang merupakan sesuatu yang sangat saya hindari), merengek saat nilainya 8 (padahal teman-temannya 4,5,6), mencurigai teman yang dianggapnya biasa namun bisa melampaui nilainya (termasuk saya), dan lain-lain. Wati beranggapan tidak ada seorangpun di dunia ini yang boleh melampaui dirinya karena “Hey you aku mau ke kedokteran, aku ini pinter banget dan kamu bodoh banget ha ha ha”. 

Entah itu karena saya yang sama sekali tidak tertarik masuk kedokteran atau saya merasa dia sangat, sangat memaksakan dirinya hingga mengubah dia yang dulu saya kenal. Wati berubah menjadi nenek sihir dan saya tidak mengenalnya lagi. Demi apa semua itu? Demi nilai. Hitam diatas putih. 1 diatas 2. Wati mengorbankan semuanya demi predikat ‘si pintar’ dan ‘anak guru’. Wati terus-terusan mengincar siapa saja saingannya yang dia pikir kompetitif. Dia bahkan mengincar saya yang dulu peringkatnya tepat diatasnya. Segala cara dia lakukan untuk menjatuhkan saya, namun apa daya saya tidak peduli. Saya tidak suka diajak berperang, dan saya tidak suka Wati. Jadi saya cuek saja, saya tetap menjalani hidup seadanya tanpa memaksakan apapun, tetap melakukan apa yang dulu selalu lakukan tanpa ada niat untuk mengungguli Wati. Tapi di akhir cerita? Saya masih diatas Wati, 2 peringkat diatas Wati. Singkat kata, dia mengirimi saya pesan singkat berisi pertanyaan..tentang nilai, yang tentu saja tidak saya tanggapi. Ada secuil rasa puas dalam diri saya, yang ternyata masih terlalu dini untuk saya rasakan. Ada hal lebih besar menunggu saya didepan, sesuatu yang mungkin kuat dan mau tidak mau harus saya taklukkan.

Saya...tidak bisa menangkap dengan jelas kesimpulan atas semua ini. Tetapi saya katakan bahwa, sistem ranking di sekolah dapat mengubah seseorang menjadi monster mengerikan. Monster gila hormat, atau monster yang aslinya cuma budak ambisi orang lain. Ranking di sekolah membuat semua orang jadi peduli tentang apa kata orang lain dan menjadi kurang bebas dalam berekspresi, ranking membuat semua orang takut salah dan gagal. Karena di sekolah, apa yang diranking adalah hanya pelajaran itu-itu saja, which is fun thing for a bunch of people, but not the others. Karena di sekolah, jika kamu juara OSN Matematika kamu akan dipanggil pintar dan jika kamu juara bermusik kamu tidak akan dipanggil pintar. Padahal kita tahu hakikatnya kemampuan berpikir analitis, logis,dan kemampuan numerikal aslinya merupakan kemampuan genetis tergantung perhubungan syaraf yang terbentuk semasa tumbuh kembang bayi. Hal bersifat genetis, merupakan hal yang tidak dapat kita ubah. Kita sibuk memaksakan diri untuk mengubah sesuatu yang tidak dapat kita ubah dan melupakan definisi bahwa manusia lahir dengan kemampuannya masing-masing, yang semuanya itu unik. That’s what makes us us, that’s what matters the most. Kita dipenjara selama kurang lebihnya 12 tahun untuk bisa bebas menentukan pilihan kita sendiri, perkuliahan. Selama 12 tahun kita dididik untuk menjadi seperti orang lain, kita tidak dididik untuk mencintai diri sendiri dan menjadi sebaik-baik diri. Kita tidak diajari bahwa untuk menjadi hebat kamu tidak harus menjadi orang lain, merubah total siapa kamu untuk menjadi dia, melainkan cukup jadi kamu yang terbaik. Be yourself, your best self. Hanya itu, sesuatu yang implisit yang tidak semua orang mau menyiratkannya. Maka saya berharap, di dunia ini tidak ada sistem ranking sekolah, sehingga setiap jiwa muda akan menjadi bebas tanpa merasa hidup dalam sangkar, mereka tidak akan takut lagi jika remidi Kimia (saya banget yang ini), mereka tidak akan memaksakan diri untuk mendapatkan pujian dari guru, dan yang paling penting, mereka tidak akan takut lagi untuk menunjukkan apa yang dia bisa.



No comments:

Post a Comment