26.6.14

To Choose and To Be Chosen



Untuk menjalani hidup adalah untuk memilih, itu bukan sekedar quotes. Bukan sekedar bualan untuk seseorang menjadi decisive di setiap keputusan yang akan seseorang ambil. Sebab nyatanya, untuk memilih pun ternyata manusia harus memilih—apa yang dia inginkan dan apa yang seharusnya dia inginkan. Rumit bukan?

Bahwa kita selalu memiliki sesuatu yang kita banggakan. Sesuatu dimana ia adalah segalanya dan dengan memiliki sesuatu tersebut kamu merasa tidak ada hal lain di dunia ini yang kamu inginkan. Sesuatu tersebut membuatmu bekerja keras, berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Sesuatu tersebut menjadi pemandangan dalam khayalmu sehari-hari, hadir di mimpimu, dan menghantui dunia nyatamu. Namun seringkali sesuatu tersebut ditakdirkan untuk kita tidak memilikinya, seringkali kita hanya diberikan hak untuk menginginkannya sepanjang waktu hingga bosan dan akhirnya berpaling.

Namun selama kamu menyibukkan diri mencari sesuatu itu, di belahan dunia lain ada seseorang yang menjadikanmu sebagai sesuatu. Kamulah sesuatu bagi seseorang itu, kamulah yang dimimpikannya, dan kamulah yang diinginkannya. Namun kamu terlalu buta untuk menyadari itu, saking seseorang itu selalu menjadi bayanganmu dan mengikuti kemanapun kamu pergi tanpa kamu sadari. Seseorang yang begitu mengharapkanmu itu hanyalah kau anggap sebagai berkas cahaya gelap dirimu. Seseorang yang mungkin saja menyebut-nyebut sesuatunya dalam setiap doanya di dini hari, memohon pada Tuhan agar suatu hari ia mampu memilikinya. Tanpa peduli sesuatu itu menginginkannya kembali atau tidak.


Kadang di suatu hari dalam hidupmu, semesta akan mempertemukanmu kepada sesuatumu di tengah-tengah lini masanya. Disaat yang sama, semesta pula yang mempertemukan seseorang lain dengan sesuatunya. Kesempatan itu mungkin hanya datang sekali dan menyisakan seribu teka-teki yang hanya dapat dijawab jika mereka yang bertemu saling bertanya—bertegur sapa. Tetapi manusialah yang seringkali terlalu takut untuk diabaikan, untuk malu, untuk kalah, dan untuk menerima. Semua itu wajar dan sangat manusiawi. Namun bahkan bagi mereka yang cukup berani bertanya pun, tak ada yang menjanjikan bahwa sesuatu tersebut menyanggupi untuk tinggal—menyanggupi untuk dimiliki. Mengapa demikian? Karena semesta mungkin menakdirkan keduanya hanya untuk bertemu, bukan untuk saling memiliki.



Maka suatu hari dalam hidupmu, kamu akan dihadapkan pada suatu keadaan dimana kamu tak mau lagi memilih karena dihantui kecewa. Di hari itu pilihanmu adalah sepenuhnya salah dan kau ditinggalkan sendirian untuk menyadarinya bahwa pilihan tersebut tak pernah seharusnya kau pilih.  Suatu hari dalam hidupmu, kedua matamu akan terbuka lebih lebar dari biasanya, mendengar lebih banyak dari biasanya, berpikir lebih keras dari biasanya dan merasakan lebih dalam dari biasanya. Suatu hari kamu akan menjadi seseorang yang lebih dari biasanya, kelebihan yang ternyata  menuntunmu menuju sesuatu. Sesuatu itu adalah mereka yang menjadikanmu sesuatu. Bayangan hitam itu perlahan akan berpendar menjadi sosok bukan kau yang kau lihat dalam cermin. Sosok yang selama ini menjadikan segala tentangmu sebagai petunjuk arah, yang mengagumi bayanganmu, sosok yang menjadikanmu tujuannya. Dengan izin Tuhan, kamu tak merasa mendapat apa-apa namun seseorang itu mendapatkan sesuatunya. Namun kau tahu, janji Tuhan itu luar biasa ...


..di penghujung hari kamu akan tersenyum bahwa menerima diri menjadi sesuatu itu menyenangkan, lebih menyenangkan dibandingkan terus-terusan memilih dan tak pernah tahu pantas-tidaknya. Di pernghujung hari kamu mengalah untuk tidak memilih lagi, dan menyerahkan diri untuk dipilih. Sehingga bahagiamu terletak pada bahagia orang lain, terbagi dan tak putus-putusnya.


No comments:

Post a Comment