Untuk menjalani hidup adalah untuk memilih, itu bukan sekedar quotes. Bukan sekedar bualan untuk seseorang menjadi decisive di setiap keputusan yang akan seseorang ambil. Sebab nyatanya, untuk memilih pun ternyata manusia harus memilih—apa yang dia inginkan dan apa yang seharusnya dia inginkan. Rumit bukan?
Bahwa kita selalu memiliki sesuatu yang kita banggakan. Sesuatu
dimana ia adalah segalanya dan dengan memiliki sesuatu tersebut kamu merasa
tidak ada hal lain di dunia ini yang kamu inginkan. Sesuatu tersebut membuatmu bekerja
keras, berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Sesuatu tersebut menjadi pemandangan
dalam khayalmu sehari-hari, hadir di mimpimu, dan menghantui dunia nyatamu. Namun
seringkali sesuatu tersebut
ditakdirkan untuk kita tidak memilikinya, seringkali kita hanya diberikan hak
untuk menginginkannya sepanjang waktu hingga bosan dan akhirnya berpaling.
Namun selama kamu menyibukkan diri mencari sesuatu itu, di
belahan dunia lain ada seseorang yang menjadikanmu sebagai sesuatu. Kamulah sesuatu
bagi seseorang itu, kamulah yang dimimpikannya, dan kamulah yang diinginkannya.
Namun kamu terlalu buta untuk menyadari itu, saking seseorang itu selalu
menjadi bayanganmu dan mengikuti kemanapun kamu pergi tanpa kamu sadari. Seseorang
yang begitu mengharapkanmu itu hanyalah kau anggap sebagai berkas cahaya gelap
dirimu. Seseorang yang mungkin saja
menyebut-nyebut sesuatunya dalam
setiap doanya di dini hari, memohon pada Tuhan agar suatu hari ia mampu
memilikinya. Tanpa peduli sesuatu itu menginginkannya kembali atau
tidak.
Kadang di suatu hari dalam hidupmu, semesta akan
mempertemukanmu kepada sesuatumu di tengah-tengah lini masanya. Disaat yang
sama, semesta pula yang mempertemukan seseorang lain dengan sesuatunya. Kesempatan
itu mungkin hanya datang sekali dan menyisakan seribu teka-teki yang hanya
dapat dijawab jika mereka yang bertemu saling bertanya—bertegur sapa. Tetapi manusialah
yang seringkali terlalu takut untuk diabaikan, untuk malu, untuk kalah, dan
untuk menerima. Semua itu wajar dan sangat manusiawi. Namun bahkan bagi mereka
yang cukup berani bertanya pun, tak ada yang menjanjikan bahwa sesuatu tersebut
menyanggupi untuk tinggal—menyanggupi untuk
dimiliki. Mengapa demikian? Karena semesta mungkin menakdirkan keduanya hanya untuk bertemu, bukan untuk saling
memiliki.
Maka suatu hari dalam hidupmu, kamu akan dihadapkan pada
suatu keadaan dimana kamu tak mau lagi memilih karena dihantui kecewa. Di hari
itu pilihanmu adalah sepenuhnya salah dan kau ditinggalkan sendirian untuk
menyadarinya bahwa pilihan tersebut tak pernah seharusnya kau pilih. Suatu hari dalam hidupmu, kedua matamu akan
terbuka lebih lebar dari biasanya, mendengar lebih banyak dari biasanya,
berpikir lebih keras dari biasanya dan merasakan lebih dalam dari biasanya. Suatu
hari kamu akan menjadi seseorang yang lebih dari biasanya, kelebihan yang ternyata menuntunmu menuju sesuatu. Sesuatu itu adalah
mereka yang menjadikanmu sesuatu. Bayangan
hitam itu perlahan akan berpendar menjadi sosok bukan kau yang kau lihat dalam
cermin. Sosok yang selama ini menjadikan segala tentangmu sebagai petunjuk arah,
yang mengagumi bayanganmu, sosok yang menjadikanmu tujuannya. Dengan izin Tuhan,
kamu tak merasa mendapat apa-apa namun seseorang itu mendapatkan sesuatunya. Namun kau tahu, janji Tuhan
itu luar biasa ...
..di penghujung hari kamu akan tersenyum bahwa menerima diri menjadi sesuatu itu menyenangkan, lebih
menyenangkan dibandingkan terus-terusan memilih
dan tak pernah tahu pantas-tidaknya. Di pernghujung hari kamu mengalah untuk
tidak memilih lagi, dan menyerahkan diri untuk dipilih. Sehingga bahagiamu
terletak pada bahagia orang lain, terbagi dan tak putus-putusnya.
No comments:
Post a Comment