19.11.14

Guru Radioaktif

Jadi, akhirnya saya sampai pada fase dimana saya adalah manusia berlabel ksatria di sekolah, kalau di tingkatan kasta sih, maknanya kasta terhormat-terpandang-tertinggi gitu. Hehe. Ksatria yang saya maksud disini adalah status sosial saya (dan teman-teman tentunya) sebagai seorang senior. Literally, senior. And let me tell you that being a senior means being mean without even worrying to be complained.

Peraturan kelas tiga
1. Senior selalu benar
2. Apabila senior melakukan kesalahan, maka kembali ke peraturan sebelumnya, yaitu "Senior selalu benar."

Yeeeeeeeeeeah I like being the rule.


Saya ini anak IPA. Pelajaran IPA yang saya sukai hanya Fisika dan Biologi. Tetapi hanya karena saya tidak menyukai Kimia, bukan berarti saya tidak boleh belajar mencintainya juga, kan? Jadi ceritanya saat ini saya sedang belajar tentang Kimia Unsur, termasuk unsur-unsur Radioaktif. Sedikit demi sedikit saya mencoba untuk memahami tiap kata yang tertulis pada buku pegangan saya. Buku apapun yang saat ini bertebaran didepan mata saya, meraung-raung minta dibaca tapi sayanya Alhamdulillah sudah nggak kuat.

Saya rasa saya mulai memahami bagaimana Kimia begitu menjadi sesuatu dalam kehidupan ini. Sebelumnya saya memang tidak mengerti mengapa Kimia dijadikan ilmu dasar untuk memahami kehidupan. Namun sekarang saya paham, bahwa fokus dari kimia itu sendiri adalah untuk mengkaji bagaimana segala sesuatu terjadi dalam skala yang paling kecil. Bagi Kimia, skala terkecil pun tidak pernah ada, jikalau ada pastilah itu sebuah perumpamaan. Bagaimanapun, struktur terkecil di kehidupan ini, atom, masih memiliki berat, jari-jari dan volume. (Hal ini membuat saya berpikir bahwa angka nol itu sejatinya tidak nyata.) Atom itu sendiri memegang peran paling penting, yaitu sebagai otak dari aktivitas suatu unsur yang memotori segala bentuk reaksi dengan unsur lain dalam rangka mencapai kestabilan.


Belajar tentang unsur-unsur kimia dalam kehidupan sehari-hari menuntun saya untuk mengenal satu jenis unsur dengan keunikan tersendiri, yaitu Radioaktif. Unsur-unsur mikro tak kasat mata, yang dengan sedikit rekayasa, maka mereka akan bereaksi menghasilkan kekuatan mega baik pembangun atau penghancur.

Barangkali, manusia juga selayaknya belajar dari Radioaktif. Meski tidak selalu terpandang, namun  dengan segala potensinya ia mampu menghasilkan sesuatu yang besar. Pencapaian yang jauh lebih besar dari yang ia pikirkan. Bagaimana? Dengan cara mengubah reaksi kita terhadap sesuatu, yang itu berarti mengubah cara pandang kita. Maka, jadilah Radioaktif dari unsur-unsur sejenismu. Meski sering dikesampingkan dan dikecualikan, kekuatanmu untuk bangkit tidak ada duanya. Simpan energi potensialmu, dan ledakkan tepat waktu.

Semoga ulangan Kimia saya besok lancar :D

18.11.14

Sekeping Uang Logam

Sekeping uang logam
Dua sisi yang berbeda
Membolak-balikkan aku
Dengan alasan yang sama
..dan aku masih cinta.

15.11.14

Ada sesuatu
yang tak ingin kuungkap
yang aku ingin kau mengerti.
Mengerti?

9.11.14

The Night Told You A Story




So I was set up to a night of loneliness.
Where the man was the least person I could think about.
The person who was once an imaginary character, but then got real at all sudden.

He was the star blinking among the other shinier stars.
But he was so clear, so visible that it got my eyes to.
It was the shiniest ray that he had.
And I was the one who was destined to witness it.

The road was dark and dull,
And we were angels passing by.
Creating traces of rainbow marks.
I couldn't tell you sadness, 'cause all we had was happiness.

We get through the night of loneliness,
Not so lonely 'cause you're with me.
Those hold-hands and random racing heartbeats,
and your smirks.
And the silence sheltered on your face,
I could've cut myself just to make it mine forever.


And so I love you.
I know I ain't the first, might neither be the last.
I know a lot of girls worship upon your name, and some of those girls you once left behind.
I know they love you, but so I do.
But no one can ever love you the way I do.
No one put you into words to make you feel special, to make me feel granted of being something matters, just the way I do.
In the deepest cut of my words you came alive more than you ever live in the real world. You are written by someone whose world's built up of you. You should be happy so we won't regret.



Dear upcoming wrinkles on the tip of your eyes, let me be a witness.
Let me be the one who sees all the bad things behind the bark of your beauty, and you'll eventually see that I prefer to stay than leave.




6.11.14

Tahun Baru

Tahun Baru





Tentang perasaan. Apabila ia tak terucap, bagaimana aku tahu?


Sekitar sebulan lagi usiaku beranjak sembilan belas tahun, dan ini adalah pergantian usia yang paling kutunggu-tunggu dalam hidupku. Usia sembilan belas adalah usia dimana peti harta karunku akan terbuka nyata. Benar, satu rahasia akan terungkap di hari aku berulang tahun, dan aku tidak sabar karenanya!

Perkenalkan, namaku Somer. Kudengar dari ibuku yang berkebangsaan Jerman, Somer itu berarti musim panas. Aku dinamai demikian bukan karena aku lahir bertepatan dengan musim panas, melainkan karena pada saat itu sedang musim salju dan Somer adalah doa agar kelak aku menjadi mentari yang menghangatkan bekunya dunia. Aku lahir di Frankfurt delapan belas tahun silam. Sejak saat itu, Mama memutuskan untuk kami sekeluarga tetap tinggal disana hingga aku menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar. Saat aku menyebut keluarga, itu berarti Aku, Mama dan Nenekku. Kakekku meninggal tujuh tahun silam dalam perjuangannya melawan Hepatitis B. Selain itu, sejauh yang kuingat, Papaku bernama Edward minggat saat usiaku  baru dua dan selalu merasa terlalu sibuk untuk singgah dirumah.


Saat ini aku tinggal di Indonesia karena mengikuti Mama mengembangkan usaha kerajinan tangannya. Mama memilih Bali sebagai tempatnya mengadu nasib. Kami sekeluarga pindah ke sebuah rumah bergaya etnik dekat pantai di Seminyak pada saat usiaku 6 tahun. Sejak saat itu aku bersekolah dirumah dengan guru privat untuk sekaligus belajar Bahasa Indonesia.

Teman-temanku di sekolah dan dirumah hampir seluruhnya penduduk lokal Bali, sisanya adalah anak turis yang nasibnya sama sepertiku—korban ambisi bisnis orang tua. Kebanyakan dari mereka hanyalah remaja biasa yang suka bergentayangan di mal menghabiskan uang orang tua. Tidak ada yang istimewa, melainkan seorang lelaki berambut gondrong yang sangat kukenal.


Adalah Dewa, seorang remaja kutu buku yang suka menghabiskan sorenya di pantai. Aku dan Dewa berulang tahun bersama, karena tanggal lahir kami sama. Bedanya, ia lebih muda 2 tahun dariku. Aku mengenal Dewa sejak pertama kali pindah ke Bali. Hal itu dikarenakan rumah Dewa berbatasan belakang dengan rumahku. Sehingga antara halaman belakang rumahku dan rumahnya hanya dibatasi selapis dinding saja. Di dalam dinding itu terdapat pintu kayu kecil seukuran pintu kandang anjing yang hingga kini tak kumengerti fungsinya. Perkenalan kami dimulai dengan aneh. Dulu, Dewa sering bermain dengan kucingnya di halaman belakang rumahnya. Suatu hari aku tak sengaja mengintip dari balik pagar, ternyata dia menyadari keberadaanku dan menceritakan hal itu pada ibunya. Keesokan harinya, Ibu Dewa yang kenal baik dengan Mama bercerita  bahwa semalam anaknya melihat hantu dari balik pagar. Sejak saat itu mereka tahu bahwa hantu itu tidak lain dan tidak bukan adalah aku. Karena peristiwa itulah akhirnya kami diperkenalkan, dan bersahabat baik. Bahkan bisa dikatakan, aku tumbuh setiap hari bersama dan karena Dewa.

Dewa tidak bersekolah formal, hanya home schooling. Namun hal itu tidak membuatnya menjadi laki-laki manja dan kurang pergaulan. Dia banyak membaca buku dan mengikuti komunitas-komunitas remaja khususnya komunitas yang berhubungan dengan seni melukis. Oleh karena itu, dia memiliki banyak teman dari berbagai kalangan. Setiap akhir pekan tanpa alpa, ia menghabiskan waktunya bersepeda di sekitar pantai denganku. Dewa termasuk salah satu sahabat terbaikku, pendengar setiaku, bahu tempat bersandar, tukang ojek sepeda, guru les, dan segalanya. Dia adalah Papa yang menjelma menjadi remaja. Aku mengaguminya, dia pun mengagumiku.
“Kamu itu tidak ada duanya. Berkacalah, bahkan bayangan di cermin itu mengagumimu.” tulisnya di kertas saat kami bermain surat-suratan.


Dalam pertemanan kami, kurasa akulah yang lebih peduli terhadapnya. Mungkin karena aku perempuan. Aku menjadi orang yang paling cerewet saat dia telat makan, telat minum obat, bangun kesiangan, bolos home schooling untuk berburu foto serangga, atau saat dia pulang larut hingga membuat khawatir ibunya. Kurasa sikapku itu beralasan, sebab didalam diriku mengalir darahnya. Aku pernah sekarat karena kecelakaan mobil, dan darahnyalah yang membuatku tetap hidup. Sejak saat itu aku bersumpah akan berkorban demi pria itu apapun yang terjadi. Sebagai rasa terima kasihku, aku memintanya berjanji menjadi sahabatku selamanya. Persahabatan kami lurus, meski terkadang aku jatuh cinta padanya.

Aku sering jatuh cinta pada diamnya. Walau aku tahu ia masih dan akan menganggapku selamanya sebagai sahabatnya, mungkin saudaranya. Namun, diam Dewa adalah muara dari segala jawaban. Dewa tidak banyak berbicara dan dia senang menjawab pertanyaanku dengan diamnya. Diam yang membungkam mulutku untuk berhenti bicara dan mulai memahami.


*


Sore itu akhir pekan, kami sedang istirahat di sebuah bangku dekat pantai Seminyak selepas bersepeda. Udara begitu menyenangkan dan turis-turis berjemur berjajar-jajar bagaikan makarel dalam kemasan kaleng. Dewa melepaskan headset dari telinganya, selepas mendengarkan sealbum Dream Theater kesukaannya.

“Jadi dari tadi ceritaku tidak ada yang kamu dengar?!” gertakku kemudian. Ia kemudian menampilkan penunjuk volume suara di iPodnya, hanya tujuh persen.
“Terus kenapa pakai headset segala? Buang-buang energi.”. Dia hanya mengedikkan bahu sambil tersenyum. Kami pun tertawa kecil kemudian.
“Besok aku ulang tahun, dirayakan di lantai atas rumahku. Teman-temanku semua datang, kamu datang ya? Aku ingin tahun baruan bersamamu.”. Syukurlah, akhirnya aku mengatakannya. Aku, aku hanya takut dia melupakan perjanjian itu. Sudah sepuluh tahun lebih aku mendambakannya, rahasia yang kutunggu-tunggu untuk terungkap. Kapsul waktu itu.
“Berjanjilah padaku kamu akan datang besok.”

Aku kemudian menjulurkan kelingkingku, Dewa menyambutnya dengan kelingkingnya. Sesederhana itu, jari kami mengikat satu sama lain dan janji yang terucap tidak pernah ingkar.


**


Keesokan harinya, seluruh tamu telah berkumpul. Teman-temanku di SMA, teman-teman dari sekitar rumahku, termasuk anak-anak kenalan Mama yang sebaya denganku. Satu hal yang amat kusukai dari ulang tahun yang dirayakan adalah karena pada hari itu semua orang meninggalkan urusannya untuk membuatmu merasa istimewa. Aku menyukai ulang tahun karena di hari ulang tahunku Mama akan berdandan sangat cantik, Nenek akan membuatkanku kue, Papa akan menelepon tengah malam dan Dewa akan membuka satu rahasianya kepadaku. Aku dan Dewa memiliki tradisi setiap kami berulang tahun, kami membuka satu rahasia yang selama ini kami sembunyikan dari satu sama lain. Ulang tahun ke sembilan belas kami ini menjadi istimewa karena sepuluh tahun lalu kami berjanji akan membuka rahasia paling besar yang pernah kami sembunyikan dari siapapun. Maka dari itu aku yakin, baik aku dan Dewa, rahasia kali ini pastilah memutarbalikkan dunia.


Rahasia yang akan kusampaikan pada Dewa kali ini...bisa jadi mengakhiri hidupku.

Dengan jantung yang terasa mau melompat dari rongga dada, aku berusaha sabar untuk menunggu. Aku membayangkan Dewa pasti akan berdandan klimis dengan tuksedo dan pantofel, dengan rambut  gondrong yang terpaksa diam disapu pomade, dan aroma sitrus di sekujur tubuhnya. “Pasti dia akan sangat tampan.”.

Setengah jam, satu jam, akhirnya datang seseorang dengan sepeda gunung. Sepertinya aku berbakat menjadi paranormal, dia berdandan tepat seperti yang kubayangkan sebelumnya.

“Mau ke nikahan?” Aku menatapnya sambil tertawa. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu terkekeh. Diambilnya bungkusan dari keranjang sepedanya, seikat bunga.
“Untukku?” tanyaku. Dibalas dengan anggukannya.
“Terima kasih ya, Wa. Ayo masuklah. Sebentar lagi pesta kembang api dimulai! Kamu pasti suka.” Kugandeng tangannya untuk berjalan ke lantai paling atas dengan menaiki anak-anak tangga.


Setelah menikmati kue dan minuman, kami berdiri berdampingan menatap pemandangan kota yang terlihat gemerlap. Cahaya lampu yang berwarna warni semakin menambah keindahan malam menjelang tahun baru itu. Angin berhembus pelan, menggoyangkan dahan-dahan cemara yang ditanam di pekarangan rumahku. Jika tak ada pesta, malam ini mungkin akan sedikit sunyi. Namun semua orang sedang menikmati pesta mereka, berdansa dan bernyanyi. Meninggalkan kami berdua dalam sepi. Kami sudah tahu akan melakukan apa malam ini.


“Jadi bagaimana?” tanyaku tak sabaran. Dia kemudian menggoyang-goyangkan satu amplop berwarna biru kepadaku.
“Ada disana?”. Dia mengangguk sambil tersenyum. Kami berdua suit untuk menentukan giliran, dan dia kalah sehingga disodorkannya amplop itu padaku.
Tepat di belakang kami, para tamu sedang menyalakan kembang api. Bunyinya bersiul-siul melesat ke angkasa, bermekaran dan meledak-ledak kecil. Tak beraturan namun nikmat dipandang mata. Rupanya tahun sudah berganti, demikian pula usiaku. Usia kami.

Amplop itu berwarna krem, bertuliskan tangan dari Dewa “Untuk Somer, kamu tua sekarang.”. Aku tahu dia selalu tahu harus berkata apa untuk membuat hari seseorang terkekeh. Aku tertawa canggung, antara bahagia dan gugup bertanya-tanya apa isinya. Kupejamkan mataku, sambil perlahan menarik kertas itu keluar dari peraduannya.


Oh Tuhan, jika aku harus mati sekarang maka biarlah. Aku telah bersama orang ini jutaan tahun dan aku tahu dia tidak pernah main-main dengan sebuah janji. Apa yang akan kubaca kali ini mungkin akan mengubah kayu menjadi abu atau menghancurkan bebatuan menjadi butir debu. Kali ini, aku  akan mengemis padanya sebuah kebahagiaan. Aku menyukainya. Aku tidak punya ide bagaimana dia akan bereaksi terhadapku. Aku mungkin lancang, aku mungkin tidak tahu malu, namun aku tak tahan lagi. Aku ingin paling tidak dia mengetahuinya. Hanya itu saja, aku tidak berharap lebih,  tidak juga mengharapkan pembalasan.

Perlahan kubuka kertas putih bertinta biru itu.

“Kita ini saudara. Papa Edward adalah ayahku juga. Papa meninggalkanmu saat usiamu dua tahun, saat itu aku lahir. ”



Seiring dengan selesainya kalimat itu, selepas huruf terakhir hilang dari ujung pandanganku, pikiranku melayang entah kemana. Sementara itu, debum suara kembang api dibelakang kami semakin keras, seakan berusaha mengeraskan aku. Aku ingin Dewa menjelaskannya, tapi aku tahu sejak lahir Dewa tak bisa bicara. Dia berkata-kata melalui tulisan dan isyarat. Otakku mulai gagal mengolah kosa kata. Aku berusaha tetap waras.

Jadi, sepuluh tahun aku menunggu untuk ini.


Segenggam rahasia milikku bagai benda cair yang menguap seketika. Menjadi titik-titik embun di udara yang kami hirup. Aku urung, tidak ingin dia mengetahui apapun lagi.


"Dewa..."


Kubiarkan kalimat itu tak selesai. Rahasia itu tak pernah terucap lagi.