6.11.14

Tahun Baru

Tahun Baru





Tentang perasaan. Apabila ia tak terucap, bagaimana aku tahu?


Sekitar sebulan lagi usiaku beranjak sembilan belas tahun, dan ini adalah pergantian usia yang paling kutunggu-tunggu dalam hidupku. Usia sembilan belas adalah usia dimana peti harta karunku akan terbuka nyata. Benar, satu rahasia akan terungkap di hari aku berulang tahun, dan aku tidak sabar karenanya!

Perkenalkan, namaku Somer. Kudengar dari ibuku yang berkebangsaan Jerman, Somer itu berarti musim panas. Aku dinamai demikian bukan karena aku lahir bertepatan dengan musim panas, melainkan karena pada saat itu sedang musim salju dan Somer adalah doa agar kelak aku menjadi mentari yang menghangatkan bekunya dunia. Aku lahir di Frankfurt delapan belas tahun silam. Sejak saat itu, Mama memutuskan untuk kami sekeluarga tetap tinggal disana hingga aku menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar. Saat aku menyebut keluarga, itu berarti Aku, Mama dan Nenekku. Kakekku meninggal tujuh tahun silam dalam perjuangannya melawan Hepatitis B. Selain itu, sejauh yang kuingat, Papaku bernama Edward minggat saat usiaku  baru dua dan selalu merasa terlalu sibuk untuk singgah dirumah.


Saat ini aku tinggal di Indonesia karena mengikuti Mama mengembangkan usaha kerajinan tangannya. Mama memilih Bali sebagai tempatnya mengadu nasib. Kami sekeluarga pindah ke sebuah rumah bergaya etnik dekat pantai di Seminyak pada saat usiaku 6 tahun. Sejak saat itu aku bersekolah dirumah dengan guru privat untuk sekaligus belajar Bahasa Indonesia.

Teman-temanku di sekolah dan dirumah hampir seluruhnya penduduk lokal Bali, sisanya adalah anak turis yang nasibnya sama sepertiku—korban ambisi bisnis orang tua. Kebanyakan dari mereka hanyalah remaja biasa yang suka bergentayangan di mal menghabiskan uang orang tua. Tidak ada yang istimewa, melainkan seorang lelaki berambut gondrong yang sangat kukenal.


Adalah Dewa, seorang remaja kutu buku yang suka menghabiskan sorenya di pantai. Aku dan Dewa berulang tahun bersama, karena tanggal lahir kami sama. Bedanya, ia lebih muda 2 tahun dariku. Aku mengenal Dewa sejak pertama kali pindah ke Bali. Hal itu dikarenakan rumah Dewa berbatasan belakang dengan rumahku. Sehingga antara halaman belakang rumahku dan rumahnya hanya dibatasi selapis dinding saja. Di dalam dinding itu terdapat pintu kayu kecil seukuran pintu kandang anjing yang hingga kini tak kumengerti fungsinya. Perkenalan kami dimulai dengan aneh. Dulu, Dewa sering bermain dengan kucingnya di halaman belakang rumahnya. Suatu hari aku tak sengaja mengintip dari balik pagar, ternyata dia menyadari keberadaanku dan menceritakan hal itu pada ibunya. Keesokan harinya, Ibu Dewa yang kenal baik dengan Mama bercerita  bahwa semalam anaknya melihat hantu dari balik pagar. Sejak saat itu mereka tahu bahwa hantu itu tidak lain dan tidak bukan adalah aku. Karena peristiwa itulah akhirnya kami diperkenalkan, dan bersahabat baik. Bahkan bisa dikatakan, aku tumbuh setiap hari bersama dan karena Dewa.

Dewa tidak bersekolah formal, hanya home schooling. Namun hal itu tidak membuatnya menjadi laki-laki manja dan kurang pergaulan. Dia banyak membaca buku dan mengikuti komunitas-komunitas remaja khususnya komunitas yang berhubungan dengan seni melukis. Oleh karena itu, dia memiliki banyak teman dari berbagai kalangan. Setiap akhir pekan tanpa alpa, ia menghabiskan waktunya bersepeda di sekitar pantai denganku. Dewa termasuk salah satu sahabat terbaikku, pendengar setiaku, bahu tempat bersandar, tukang ojek sepeda, guru les, dan segalanya. Dia adalah Papa yang menjelma menjadi remaja. Aku mengaguminya, dia pun mengagumiku.
“Kamu itu tidak ada duanya. Berkacalah, bahkan bayangan di cermin itu mengagumimu.” tulisnya di kertas saat kami bermain surat-suratan.


Dalam pertemanan kami, kurasa akulah yang lebih peduli terhadapnya. Mungkin karena aku perempuan. Aku menjadi orang yang paling cerewet saat dia telat makan, telat minum obat, bangun kesiangan, bolos home schooling untuk berburu foto serangga, atau saat dia pulang larut hingga membuat khawatir ibunya. Kurasa sikapku itu beralasan, sebab didalam diriku mengalir darahnya. Aku pernah sekarat karena kecelakaan mobil, dan darahnyalah yang membuatku tetap hidup. Sejak saat itu aku bersumpah akan berkorban demi pria itu apapun yang terjadi. Sebagai rasa terima kasihku, aku memintanya berjanji menjadi sahabatku selamanya. Persahabatan kami lurus, meski terkadang aku jatuh cinta padanya.

Aku sering jatuh cinta pada diamnya. Walau aku tahu ia masih dan akan menganggapku selamanya sebagai sahabatnya, mungkin saudaranya. Namun, diam Dewa adalah muara dari segala jawaban. Dewa tidak banyak berbicara dan dia senang menjawab pertanyaanku dengan diamnya. Diam yang membungkam mulutku untuk berhenti bicara dan mulai memahami.


*


Sore itu akhir pekan, kami sedang istirahat di sebuah bangku dekat pantai Seminyak selepas bersepeda. Udara begitu menyenangkan dan turis-turis berjemur berjajar-jajar bagaikan makarel dalam kemasan kaleng. Dewa melepaskan headset dari telinganya, selepas mendengarkan sealbum Dream Theater kesukaannya.

“Jadi dari tadi ceritaku tidak ada yang kamu dengar?!” gertakku kemudian. Ia kemudian menampilkan penunjuk volume suara di iPodnya, hanya tujuh persen.
“Terus kenapa pakai headset segala? Buang-buang energi.”. Dia hanya mengedikkan bahu sambil tersenyum. Kami pun tertawa kecil kemudian.
“Besok aku ulang tahun, dirayakan di lantai atas rumahku. Teman-temanku semua datang, kamu datang ya? Aku ingin tahun baruan bersamamu.”. Syukurlah, akhirnya aku mengatakannya. Aku, aku hanya takut dia melupakan perjanjian itu. Sudah sepuluh tahun lebih aku mendambakannya, rahasia yang kutunggu-tunggu untuk terungkap. Kapsul waktu itu.
“Berjanjilah padaku kamu akan datang besok.”

Aku kemudian menjulurkan kelingkingku, Dewa menyambutnya dengan kelingkingnya. Sesederhana itu, jari kami mengikat satu sama lain dan janji yang terucap tidak pernah ingkar.


**


Keesokan harinya, seluruh tamu telah berkumpul. Teman-temanku di SMA, teman-teman dari sekitar rumahku, termasuk anak-anak kenalan Mama yang sebaya denganku. Satu hal yang amat kusukai dari ulang tahun yang dirayakan adalah karena pada hari itu semua orang meninggalkan urusannya untuk membuatmu merasa istimewa. Aku menyukai ulang tahun karena di hari ulang tahunku Mama akan berdandan sangat cantik, Nenek akan membuatkanku kue, Papa akan menelepon tengah malam dan Dewa akan membuka satu rahasianya kepadaku. Aku dan Dewa memiliki tradisi setiap kami berulang tahun, kami membuka satu rahasia yang selama ini kami sembunyikan dari satu sama lain. Ulang tahun ke sembilan belas kami ini menjadi istimewa karena sepuluh tahun lalu kami berjanji akan membuka rahasia paling besar yang pernah kami sembunyikan dari siapapun. Maka dari itu aku yakin, baik aku dan Dewa, rahasia kali ini pastilah memutarbalikkan dunia.


Rahasia yang akan kusampaikan pada Dewa kali ini...bisa jadi mengakhiri hidupku.

Dengan jantung yang terasa mau melompat dari rongga dada, aku berusaha sabar untuk menunggu. Aku membayangkan Dewa pasti akan berdandan klimis dengan tuksedo dan pantofel, dengan rambut  gondrong yang terpaksa diam disapu pomade, dan aroma sitrus di sekujur tubuhnya. “Pasti dia akan sangat tampan.”.

Setengah jam, satu jam, akhirnya datang seseorang dengan sepeda gunung. Sepertinya aku berbakat menjadi paranormal, dia berdandan tepat seperti yang kubayangkan sebelumnya.

“Mau ke nikahan?” Aku menatapnya sambil tertawa. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu terkekeh. Diambilnya bungkusan dari keranjang sepedanya, seikat bunga.
“Untukku?” tanyaku. Dibalas dengan anggukannya.
“Terima kasih ya, Wa. Ayo masuklah. Sebentar lagi pesta kembang api dimulai! Kamu pasti suka.” Kugandeng tangannya untuk berjalan ke lantai paling atas dengan menaiki anak-anak tangga.


Setelah menikmati kue dan minuman, kami berdiri berdampingan menatap pemandangan kota yang terlihat gemerlap. Cahaya lampu yang berwarna warni semakin menambah keindahan malam menjelang tahun baru itu. Angin berhembus pelan, menggoyangkan dahan-dahan cemara yang ditanam di pekarangan rumahku. Jika tak ada pesta, malam ini mungkin akan sedikit sunyi. Namun semua orang sedang menikmati pesta mereka, berdansa dan bernyanyi. Meninggalkan kami berdua dalam sepi. Kami sudah tahu akan melakukan apa malam ini.


“Jadi bagaimana?” tanyaku tak sabaran. Dia kemudian menggoyang-goyangkan satu amplop berwarna biru kepadaku.
“Ada disana?”. Dia mengangguk sambil tersenyum. Kami berdua suit untuk menentukan giliran, dan dia kalah sehingga disodorkannya amplop itu padaku.
Tepat di belakang kami, para tamu sedang menyalakan kembang api. Bunyinya bersiul-siul melesat ke angkasa, bermekaran dan meledak-ledak kecil. Tak beraturan namun nikmat dipandang mata. Rupanya tahun sudah berganti, demikian pula usiaku. Usia kami.

Amplop itu berwarna krem, bertuliskan tangan dari Dewa “Untuk Somer, kamu tua sekarang.”. Aku tahu dia selalu tahu harus berkata apa untuk membuat hari seseorang terkekeh. Aku tertawa canggung, antara bahagia dan gugup bertanya-tanya apa isinya. Kupejamkan mataku, sambil perlahan menarik kertas itu keluar dari peraduannya.


Oh Tuhan, jika aku harus mati sekarang maka biarlah. Aku telah bersama orang ini jutaan tahun dan aku tahu dia tidak pernah main-main dengan sebuah janji. Apa yang akan kubaca kali ini mungkin akan mengubah kayu menjadi abu atau menghancurkan bebatuan menjadi butir debu. Kali ini, aku  akan mengemis padanya sebuah kebahagiaan. Aku menyukainya. Aku tidak punya ide bagaimana dia akan bereaksi terhadapku. Aku mungkin lancang, aku mungkin tidak tahu malu, namun aku tak tahan lagi. Aku ingin paling tidak dia mengetahuinya. Hanya itu saja, aku tidak berharap lebih,  tidak juga mengharapkan pembalasan.

Perlahan kubuka kertas putih bertinta biru itu.

“Kita ini saudara. Papa Edward adalah ayahku juga. Papa meninggalkanmu saat usiamu dua tahun, saat itu aku lahir. ”



Seiring dengan selesainya kalimat itu, selepas huruf terakhir hilang dari ujung pandanganku, pikiranku melayang entah kemana. Sementara itu, debum suara kembang api dibelakang kami semakin keras, seakan berusaha mengeraskan aku. Aku ingin Dewa menjelaskannya, tapi aku tahu sejak lahir Dewa tak bisa bicara. Dia berkata-kata melalui tulisan dan isyarat. Otakku mulai gagal mengolah kosa kata. Aku berusaha tetap waras.

Jadi, sepuluh tahun aku menunggu untuk ini.


Segenggam rahasia milikku bagai benda cair yang menguap seketika. Menjadi titik-titik embun di udara yang kami hirup. Aku urung, tidak ingin dia mengetahui apapun lagi.


"Dewa..."


Kubiarkan kalimat itu tak selesai. Rahasia itu tak pernah terucap lagi.




No comments:

Post a Comment