Tahun Baru
Tentang
perasaan. Apabila ia tak terucap, bagaimana aku tahu?
Sekitar sebulan lagi usiaku beranjak sembilan belas tahun,
dan ini adalah pergantian usia yang paling kutunggu-tunggu dalam hidupku. Usia
sembilan belas adalah usia dimana peti harta karunku akan terbuka nyata. Benar,
satu rahasia akan terungkap di hari aku berulang tahun, dan aku tidak sabar
karenanya!
Perkenalkan, namaku Somer. Kudengar dari ibuku yang
berkebangsaan Jerman, Somer itu berarti musim panas. Aku dinamai demikian bukan
karena aku lahir bertepatan dengan musim panas, melainkan karena pada saat itu
sedang musim salju dan Somer adalah doa agar kelak aku menjadi mentari yang
menghangatkan bekunya dunia. Aku lahir di Frankfurt delapan belas tahun silam.
Sejak saat itu, Mama memutuskan untuk kami
sekeluarga tetap tinggal disana hingga aku menyelesaikan pendidikan Sekolah
Dasar. Saat aku menyebut keluarga, itu berarti Aku, Mama dan Nenekku. Kakekku
meninggal tujuh tahun silam dalam perjuangannya melawan Hepatitis B. Selain itu,
sejauh yang kuingat, Papaku bernama Edward minggat saat usiaku baru dua dan selalu merasa terlalu sibuk untuk singgah dirumah.
Saat ini aku tinggal di Indonesia karena mengikuti Mama
mengembangkan usaha kerajinan tangannya. Mama memilih Bali sebagai tempatnya
mengadu nasib. Kami sekeluarga pindah
ke sebuah rumah bergaya etnik dekat pantai di Seminyak pada saat usiaku 6
tahun. Sejak saat itu aku bersekolah dirumah dengan guru privat untuk sekaligus
belajar Bahasa Indonesia.
Teman-temanku di sekolah dan dirumah hampir seluruhnya
penduduk lokal Bali, sisanya adalah anak turis yang nasibnya sama
sepertiku—korban ambisi bisnis orang tua. Kebanyakan dari mereka hanyalah
remaja biasa yang suka bergentayangan di mal menghabiskan uang orang tua. Tidak
ada yang istimewa, melainkan seorang lelaki berambut gondrong yang sangat
kukenal.
Adalah Dewa, seorang remaja kutu buku yang suka menghabiskan
sorenya di pantai. Aku dan Dewa berulang tahun bersama, karena tanggal lahir
kami sama. Bedanya, ia lebih muda 2 tahun dariku. Aku mengenal Dewa sejak
pertama kali pindah ke Bali. Hal itu dikarenakan rumah Dewa berbatasan belakang
dengan rumahku. Sehingga antara halaman belakang rumahku dan rumahnya hanya
dibatasi selapis dinding saja. Di dalam dinding itu terdapat pintu kayu kecil
seukuran pintu kandang anjing yang hingga kini tak kumengerti fungsinya.
Perkenalan kami dimulai dengan aneh. Dulu, Dewa sering bermain dengan kucingnya
di halaman belakang rumahnya. Suatu hari aku tak sengaja mengintip dari balik
pagar, ternyata dia menyadari keberadaanku dan menceritakan hal itu pada
ibunya. Keesokan harinya, Ibu Dewa yang kenal baik dengan Mama bercerita bahwa semalam anaknya melihat hantu dari balik
pagar. Sejak saat itu mereka tahu bahwa hantu itu tidak lain dan tidak bukan adalah
aku. Karena peristiwa itulah akhirnya kami diperkenalkan, dan bersahabat baik.
Bahkan bisa dikatakan, aku tumbuh setiap hari bersama dan karena Dewa.
Dewa tidak bersekolah formal, hanya home schooling. Namun hal itu tidak membuatnya menjadi laki-laki
manja dan kurang pergaulan. Dia banyak membaca buku dan mengikuti
komunitas-komunitas remaja khususnya komunitas yang berhubungan dengan seni
melukis. Oleh karena itu, dia
memiliki banyak teman dari berbagai kalangan. Setiap akhir pekan tanpa alpa, ia
menghabiskan waktunya bersepeda di sekitar pantai denganku. Dewa termasuk salah
satu sahabat terbaikku, pendengar setiaku, bahu tempat bersandar, tukang ojek
sepeda, guru les, dan segalanya. Dia adalah Papa yang menjelma menjadi remaja.
Aku mengaguminya, dia pun mengagumiku.
“Kamu itu tidak ada duanya. Berkacalah, bahkan bayangan di
cermin itu mengagumimu.” tulisnya di kertas saat kami bermain surat-suratan.
Dalam pertemanan kami, kurasa akulah yang lebih peduli
terhadapnya. Mungkin karena aku perempuan. Aku menjadi orang yang paling
cerewet saat dia telat makan, telat minum obat, bangun kesiangan, bolos home schooling untuk berburu foto
serangga, atau saat dia pulang larut hingga membuat khawatir ibunya. Kurasa sikapku
itu beralasan, sebab didalam diriku mengalir darahnya. Aku pernah sekarat
karena kecelakaan mobil, dan darahnyalah yang membuatku tetap hidup. Sejak saat
itu aku bersumpah akan berkorban demi pria itu apapun yang terjadi. Sebagai
rasa terima kasihku, aku memintanya berjanji menjadi sahabatku selamanya.
Persahabatan kami lurus, meski terkadang aku jatuh cinta padanya.
Aku sering jatuh cinta pada diamnya. Walau aku tahu ia masih
dan akan menganggapku selamanya sebagai sahabatnya, mungkin saudaranya. Namun, diam Dewa adalah muara dari segala jawaban. Dewa tidak banyak berbicara dan dia
senang menjawab pertanyaanku dengan diamnya. Diam yang membungkam mulutku untuk
berhenti bicara dan mulai memahami.
*
Sore itu akhir pekan, kami sedang istirahat di sebuah bangku
dekat pantai Seminyak selepas bersepeda. Udara begitu menyenangkan dan
turis-turis berjemur berjajar-jajar bagaikan makarel dalam kemasan kaleng.
Dewa melepaskan headset dari
telinganya, selepas mendengarkan sealbum Dream Theater kesukaannya.
“Jadi dari tadi ceritaku tidak ada yang kamu dengar?!”
gertakku kemudian. Ia kemudian menampilkan penunjuk volume suara di iPodnya,
hanya tujuh persen.
“Terus kenapa pakai
headset segala? Buang-buang energi.”.
Dia hanya mengedikkan bahu sambil tersenyum. Kami pun tertawa kecil kemudian.
“Besok aku ulang tahun, dirayakan di lantai atas rumahku.
Teman-temanku semua datang, kamu datang ya? Aku ingin tahun baruan bersamamu.”.
Syukurlah, akhirnya aku mengatakannya. Aku, aku hanya takut dia melupakan
perjanjian itu. Sudah sepuluh tahun lebih aku mendambakannya, rahasia yang
kutunggu-tunggu untuk terungkap. Kapsul waktu itu.
“Berjanjilah padaku kamu akan datang besok.”
Aku kemudian menjulurkan kelingkingku, Dewa menyambutnya
dengan kelingkingnya. Sesederhana itu, jari kami mengikat satu sama lain dan
janji yang terucap tidak pernah ingkar.
**
Keesokan harinya, seluruh tamu telah berkumpul. Teman-temanku
di SMA, teman-teman dari sekitar rumahku, termasuk anak-anak kenalan Mama yang
sebaya denganku. Satu hal yang amat kusukai dari ulang tahun yang dirayakan
adalah karena pada hari itu semua orang meninggalkan urusannya untuk membuatmu
merasa istimewa. Aku menyukai ulang tahun karena di hari ulang tahunku Mama
akan berdandan sangat cantik, Nenek akan membuatkanku kue, Papa akan menelepon
tengah malam dan Dewa akan membuka satu rahasianya kepadaku. Aku dan Dewa
memiliki tradisi setiap kami berulang tahun, kami membuka satu rahasia yang
selama ini kami sembunyikan dari satu sama lain. Ulang tahun ke sembilan belas
kami ini menjadi istimewa karena sepuluh tahun lalu kami berjanji akan membuka
rahasia paling besar yang pernah kami sembunyikan dari siapapun. Maka dari itu
aku yakin, baik aku dan Dewa, rahasia kali ini pastilah memutarbalikkan dunia.
Rahasia yang akan kusampaikan pada Dewa kali ini...bisa jadi
mengakhiri hidupku.
Dengan jantung yang terasa mau melompat dari rongga dada, aku
berusaha sabar untuk menunggu. Aku membayangkan Dewa pasti akan berdandan
klimis dengan tuksedo dan pantofel, dengan rambut gondrong yang terpaksa diam disapu pomade, dan aroma sitrus di sekujur tubuhnya. “Pasti dia akan
sangat tampan.”.
Setengah jam, satu jam, akhirnya datang seseorang dengan
sepeda gunung. Sepertinya aku berbakat menjadi paranormal, dia berdandan tepat
seperti yang kubayangkan sebelumnya.
“Mau ke nikahan?” Aku menatapnya sambil tertawa. Dia
menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu terkekeh. Diambilnya bungkusan dari
keranjang sepedanya, seikat bunga.
“Untukku?” tanyaku. Dibalas dengan anggukannya.
“Terima kasih ya, Wa. Ayo masuklah. Sebentar lagi pesta
kembang api dimulai! Kamu pasti suka.” Kugandeng tangannya untuk berjalan ke
lantai paling atas dengan menaiki anak-anak tangga.
Setelah menikmati kue dan minuman, kami berdiri berdampingan
menatap pemandangan kota yang terlihat gemerlap. Cahaya lampu yang berwarna
warni semakin menambah keindahan malam menjelang tahun baru itu. Angin
berhembus pelan, menggoyangkan dahan-dahan cemara yang ditanam di pekarangan
rumahku. Jika tak ada pesta, malam ini mungkin akan sedikit sunyi. Namun semua
orang sedang menikmati pesta mereka, berdansa dan bernyanyi. Meninggalkan kami
berdua dalam sepi. Kami sudah tahu akan melakukan apa malam ini.
“Jadi bagaimana?” tanyaku tak sabaran. Dia kemudian
menggoyang-goyangkan satu amplop berwarna biru kepadaku.
“Ada disana?”. Dia mengangguk sambil tersenyum. Kami berdua
suit untuk menentukan giliran, dan dia kalah sehingga disodorkannya amplop itu padaku.
Tepat di belakang kami, para tamu sedang menyalakan kembang
api. Bunyinya bersiul-siul melesat ke angkasa, bermekaran dan meledak-ledak kecil. Tak
beraturan namun nikmat dipandang mata. Rupanya tahun sudah berganti, demikian
pula usiaku. Usia kami.
Amplop itu berwarna krem, bertuliskan tangan dari Dewa “Untuk
Somer, kamu tua sekarang.”. Aku tahu dia selalu tahu harus berkata apa untuk
membuat hari seseorang terkekeh. Aku tertawa canggung, antara bahagia dan gugup
bertanya-tanya apa isinya. Kupejamkan mataku, sambil perlahan menarik kertas
itu keluar dari peraduannya.
Oh Tuhan, jika aku harus mati sekarang maka biarlah. Aku
telah bersama orang ini jutaan tahun dan aku tahu dia tidak pernah main-main
dengan sebuah janji. Apa yang akan kubaca kali ini mungkin akan mengubah kayu menjadi abu atau menghancurkan bebatuan menjadi butir debu. Kali ini,
aku akan mengemis padanya sebuah kebahagiaan. Aku menyukainya. Aku tidak punya ide
bagaimana dia akan bereaksi terhadapku. Aku mungkin lancang, aku mungkin tidak
tahu malu, namun aku tak tahan lagi. Aku ingin paling tidak dia mengetahuinya.
Hanya itu saja, aku tidak berharap lebih,
tidak juga mengharapkan pembalasan.
Perlahan kubuka kertas putih bertinta biru itu.
“Kita ini saudara. Papa Edward adalah ayahku juga. Papa
meninggalkanmu saat usiamu dua tahun, saat itu aku lahir. ”
Seiring dengan selesainya kalimat itu, selepas huruf terakhir
hilang dari ujung pandanganku, pikiranku melayang entah kemana. Sementara itu,
debum suara kembang api dibelakang kami semakin keras, seakan berusaha
mengeraskan aku. Aku ingin Dewa menjelaskannya, tapi aku tahu sejak lahir Dewa tak bisa bicara. Dia
berkata-kata melalui tulisan dan isyarat. Otakku mulai gagal mengolah kosa kata. Aku berusaha tetap waras.
Jadi, sepuluh tahun aku menunggu untuk ini.
Segenggam rahasia milikku bagai benda cair yang menguap
seketika. Menjadi titik-titik embun di udara yang kami hirup. Aku urung, tidak
ingin dia mengetahui apapun lagi.
"Dewa..."
Kubiarkan kalimat itu tak selesai. Rahasia itu tak pernah terucap lagi.
No comments:
Post a Comment