31.3.15
5 Menit 20 Detik
Kemudian tambah lagi 20. Maka akan jadi 320 detik.
Jika 320 detik tak cukup, kalikan lagi dengan seperseribu. Atau sepersejuta.
Sebanyak mungkin hingga kamu merasa cukup waktu.
Kau bilang kau ingin mengerti aku, maka sederhana saja. Berikan aku waktu 5 Menit 20 detik. 320 detik penuh tanpa jeda. Dibalik gerobak tukang siomay. Menjelang senja Jumat, ketika hujan baru reda.
Disitulah aku akan selalu berada. Menemukan kedamaian yang tiada terkira. Berharap waktu berjalan selambat abang siomay melayani kita, dalam 5 menit 20 detik. Tepat disampingku kau juga akan berjaga. Tersenyum malu sebab sudah ada yang punya. Mencuri-curi pandang meski sulit mengakui kau telah jatuh cinta.
Kita saling mengenal, meski tak pernah sempat berkenalan. Hanya lewat doa kita saling berbicara. Hanya melalui sekilas tatap tiap kita saling berpapasan. Atau saat tak sengaja beradu pandang saat kudapati kau memboncengnya. Dan biarlah, semua ini cukup bagiku.
Dia indah, jangan kau lepaskan.
Sedang aku, tak perlu kau khawatirkan.
Aku akan selalu cukup dengan 5 menit 20 detik kita,
dibalik gerobak siomay,
pada senja Jumat yang bisu.
28.3.15
Sengaja
Jadi kau menyebutnya pengabaian. Sedang aku menyebutnya kesengajaan. Ya, kau memang sengaja membuatku merana. Sebuah balasan dendamkah? Haha, lucu sekali. Aku bahkan tak ingat apa yang harus kau balas dari sekelumit kisah sebentar itu. Aku-kau hanya dua noktah yang tak pernah saling terhubung oleh secoret garis.
Namun jika kau ingin aku bermain dalam lagamu, akan kutaruhkan diri. Ketika kusebar kartuku di mejamu, akan kubiarkan kau menelaahnya satu persatu. Dan jangan menatapku seperti itu, aku tahu beberapa taruhanku memang menggiurkan. Menggoda, meski enggan kau akui dengan gengsimu yang lebih besar dari kepalamu itu.
Lanjutkanlah permainanmu.
Juga drama yang kausengaja.
Aku akan menikmati peranku,
sambil menyengajakan diri untuk pelan-pelan membunuhmu.
12.3.15
Menjadi Pemberontak
SEPANJANG hidup rasanya jarang sekali saya memberontak. Mungkin karena semenjak kecil saya dibiasakan untuk taat pada aturan dan pelanggaran menjadi sesuatu yang tabu. Lingkungan saya pun mendukung kepribadian saya yang cenderung takut salah tersebut. Namun, alhamdulillah, semua itu berubah sejak kira-kira 5 tahun yang lalu. Bapak dan Ibu memutuskan untuk saya bersekolah di SMP Terpadu. Sebuah sekolah swasta yang kualitasnya tidak kalah dengan sekolah-sekolah negeri lainnya di kota tempat tinggal saya waktu itu. Saya yang dasarnya memang penurut (beda dengan kakak saya yang berani melawan), manut saja dengan titah orang tua. Lagi pula restu mereka akan membukakan jalan bagi saya kelak.
Pernah sekali saya bertanya pada Ibu saya untuk menyekolahkan saya di salah satu sekolah negeri yang--bisa dikatakan--terbaik di kota itu. Dan betapa terkejutnya saya, karena jawaban Ibu adalah tidak. Beliau malah menyarankan agar saya bersekolah di sekolah RSBI yang jauh di pinggiran kota. Yang mana hal itu berarti setiap hari saya harus naik bus mini untuk bisa sampai disana. "Tidak, tidak sekarang, Bu." jawabku. Memang sejak kecil saya selalu suka ide-ide tentang merantau. Namun rasanya ide yang satu tersebut kurang tepat. Kemudian suatu hari, percakapan berikut terjadi.
"Bu, mengapa saya tidak boleh bersekolah di situ?" tanya saya.
"Karena tempat itu sekolah semua orang, Nduk. Jika kamu sekolah disana, maka kamu akan memiliki pemikiran seperti kebanyakan orang juga. Ibu ingin kamu punya pemikiran diluar yang semua orang pikir." jawab Ibu.
Sebuah jawaban yang sangat cukup--satu-satunya yang ingin didengar oleh telinga dan hati kecil saya. Mampu membungkam saya untuk kemudian maju dan berani untuk tidak menjadi kebanyakan orang.
Berawal dari situlah perjalanan saya dalam memahami hidup dimulai. Dari sebuah bangunan kecil yang waktu itu statusnya masih pinjam, saya menimba ilmu. Bertemu dengan orang-orang luar biasa yang tidak mampu saya balas jasanya melalui materi. Tempat yang saya sebut sekolah, atau SMP itu, telah membawa saya naik turun menjalani masa transisi saya dari bocah ingusan ke ABG. Kelas tujuh, dimana saya masih alay dan super-melankolis. Kelas delapan, dimana saya belajar nakal, marung, ngeband, bersahabat dengan berandal, pernah semalem gak pulang kerumah, sampai akhirnya juara OSN Fisika. Kelas sembilan, dimana saya mulai memahami bagaimana cinta dan realita dapat bergerak bersama secara harmonis. Sekaligus dimana saya memahami bahwa semua yang terbaik bagi manusia kadang bukanlah yang terbaik bagi Tuhan. Singkat cerita, saya lulus dengan predikat 'Alumni Paling Bahagia'.
Berlainan dengan masa SMP, masa SMA saya berjalan sangat cepat. Rasanya baru kemarin saya berseragam SMP, masuk ke ruang daftar ulang dan menunggu. Masih kuat ingatan saya ketika memandang keluar jendela kelas 12A1 dan menyaksikan daun-daun trembesi berguguran diterpa angin kemarau yang panas. Waktu itu taman SMA 3 belum ada kolam ikannya, belum indah dan belum hijau seperti sekarang. Bahkan bisa dikatakan bahwa waktu itu pemandangannya menyedihkan sekali. SMA 3 bagaikan istana yang berdiri angkuh ditengah sawah.
Lihat betapa hijaunya SMA 3 sekarang. Waktu itu rumputnya belum tumbuh. Jalan setapak belum dibuat. Bunga-bungaan belum ada. Tidak ada kandang ayam bekisar, tidak juga kolam. Hanya pohon-pohon besar disekitar tanah yang hampa. Kini, halaman tengah SMA 3 sudah menjadi kebun sekolah. Terima kasih program Adiwiyata :D
Kehidupan saya di SMA pun berlangsung nyaman dan tergolong sejuk. Artinya tidak terlalu bergejolak seperti kehidupan SMP saya. Masalah yang datang silih berganti pun dapat ditangani dengan kepala dingin, sehingga terkesan easy come easy go. Tidak hanya masalah, orang pun berlaku easy come easy go di kehidupan SMA saya ini. Hingga tanpa terasa, masa sekolah saya hampir berakhir.
DAN disinilah saya sekarang, menatap layar notebook dengan pasrah sembari komat-kamit meminta hujan. Eh nggak. Antara yakin dan tidak, antara maju atau mundur. Antara hidup dan mati. Dikarenakan oleh kejadian yang lalu-lalu, kadang hal itu membuat saya takut untuk memulai cerita baru. Termasuk takut bermimpi. Namun saya bosan, hidup saya flat dan saya butuh mimpi baru. Saya rasa saya siap disakiti lagi. Jatuh bangun dan tertawa dalam hujan karena mengejar mimpi. Dan saya harus punya mimpi baru.
Mimpi saya yang baru ini merupakan pemberontakan terbesar pertama dalam sejarah eksistensi saya. Sebab pilihan yang saya ambil membutuhkan satu langkah besar. Ibarat harus mbabat alas, saya harus bisa membukakan jalan bagi pengikut-pengikut saya. Sehingga kelak mereka tidak kesusahan dalam perjalanan menuju tempat yang mereka idamkan. Memang, tidak ada yang menjamin saya bisa berhasil. Saya pun menutup mata dan telinga atas apa yang dikatakan orang lain karena menurut saya omongan mereka semua omong kosong. Mereka coba bicara tentang sistem namun sejatinya mereka tidak memahami kinerja sistem tersebut. Maka saya hanya percaya pada diri saya dan kepada Tuhan. Saya biarkan tangan Tuhan menari-nari di udara, memainkan keputusan saya. Jika itu terbaik bagi saya, maka Tuhan akan mengizinkan saya. Namun jika bukan, maka Tuhan akan mencemplungkan saya di mangkuk yang lain dan belajar lebih banyak lagi. Berpikir diluar batas lagi. Sedangkan untuk saat ini, kekuatan saya hanya ada pada doa.
Maka dari itu, saya sangat bahagia ketika untuk pertama kalinya Ibu menandatangani proposal pemberontakan saya. Sebab hal itu berarti jika saya salah dan saya diterima, maka Ibulah yang sejatinya menyelamatkan saya. Saya selalu ragu dan cenderung skeptikal atas berbagai hal. Namun kekuatan doa beliaulah yang tidak pernah saya ragukan. Semoga dengan mimpi lima senti di depan kening saya dan doa yang melindungi tangan-kaki-punggung saya, saya bisa melakukan pemberontakan saya dengan baik dan benar. Dan untuk kalian yang juga sedang memberontak, semoga sukses berperang. :)