Hai. Sudah lama sekali nggak nulis, rasanya canggung mau memulai. Belakangan ini memang jarang nulis karena
1) Sebulan lebih di Ponorogo, di rumah yang tidak ada wifi dan untuk tether dari hp rasanya eman sekali sama kuota
2) Di Ponorogo nggak banyak peristiwa. Kalaupun ada nggak worth posting. (Lah terus yang ini worth gitu -_-)
3) Sesampainya di Depok dan dapat wifi, malah sulit meluangkan waktu buat menulis. Alhasil, hanya tulisan macam inilah yang bisa kalian baca.
Btw, aku sekarang sudah masuk semester dua. Sekarang sudah jarang ikut latreg debate, sudah jarang jalan-jalan ke perpusat, dah jarang beli tempe mendoan ke MUI, apalagi sekadar membaca di selasar di tepi danau. Dulu, rasanya semua itu gampang sekali kulakukan. Pulang kuliah selalu masih siang dan malas pulang ke kosan, alhasil pulang kuliah hampir selalu take a walk dulu ke tempat-tempat favorit seperti yang aku tunjukkan di post sebelumnya. Sekarang, jadwalku tight sekali. Hanya satu hari dalam seminggu aku bisa pulang siang, sisanya selalu pulang kesorean. Itu pun hanya untuk kuliah, belum acara-acara lainnya. Mungkin karena beberapa hari aku masuk siang, jadi jam pulangnya harus mundur. Entahlah.
Tapi, meski jadwalku kurang bersahabat, matkul-matkulku yang sekarang jauh lebih keren daripada semester lalu. And thanks God I passed Sejarah Aliran Psikologi last term! Aku selalu takut dan males kalo harus ngulang matkul yang satu itu. Sekarang ini, aku ketemu dengan Neuroscience, Psychology of Learning, Social Psychology, sama Research Methods (meski masih deskriptif-statistik hehehe), sama satu lagi matkul wajib univ MPKT B (matkul kolaborasi multidisiplin ilmu like geografi biologi astronomi matematika filsafat dll all in one). Dosen-dosenku juga alhamdulillah asik-asik semua. Aku yang jebolan IPA sih ambiz pengen psikologi klinis jadi yha bayangkan betapa senangnya bertemu Neuroscience di semester ini meski sedikit rumit seperti hubungan kita ya nggak. Dan juga, berdua bersama matkul MPKT B mengajarkanku apa artinya kenyamanan kesempurnaan e-learning dan indahnya ngumpulin tugas tanpa harus ke kampus.
Oh iya, semester ini aku ada matkul wajib seni dan aku ambil Karawitan Jawa yoi because Imma Javanese lad. Sebenarnya agak lucu juga sih karena aku orang Jawa yang belajar Karawitan Jawa di tanah Sunda tapi ya udahlah. Teman-teman sekelasku di kelas seni kebanyakan dari luar Jawa, mostly Jakarta dan daerah-daerah Sumatera dan Lampung. Banyak dari mereka yang pengen belajar karawitan which I found myself so pitiful karena aku bahkan dulu nggak kepikiran buat nyeriusin belajar karawitan. Now that I really do belajar karawitan, ternyata nggak sesimpel yang aku bayangkan. Aku juga baru tau ternyata notes gamelan itu beda dari notes piano yang diatonis. DAN MAIN GENDER GA SEGAMPANG MAIN KEYBOARD LID WKWK SKREW U. Tapi overall, aku suka banget mainin gamelan! Sekarang udah apal dong jenis-jenis gamelan apa aja hehehe. Musik karawitan itu menghasilkan bunyi yang khas dan harmonis, dan dengung gong agengnya itu lho....it resonates sampe ke tulang-tulang. Membuat kelas ini worth taking banget.
And I think it sums up that semester ini padat dan menyenangkan. Aku suka.
Terlepas dari kehidupan kampus, sebenarnya banyak hal terjadi belakangan ini. Cuma, aku selalu nggak tau gimana caranya menuangkan dalam kata-kata. Aku bingung mulai dari mana bercerita, dan belum yakin mana hikmah yang bisa aku timba.
Mungkin kamu bisa bantu memilihkan?
Haha, canda. Diamlah dan membacalah saja. Gaenak kan dibercandain?
Beberapa waktu lalu aku habis nonton film Paper Towns.
Rada nyesek juga kenapa endingnya para lakon nggak barengan. Instead, pas Quentin menyatakan cinta Margo malah bilang "I don't even know who I am". Sedih sih. Karena sebagai penonton, we demand something more. Something bigger than just a "No" from an asking to be together. Bayangkan, perjalanan Quentin yang sudah sebegitu jauhnya, bahkan dia sudah mengorbankan sahabat-sahabatnya, cuma dibalas dengan penolakan Margo. Kan sakidh all over the air.
NAMUN.
Film itu berhasil membuatku penasaran. Akhirnya aku menonton lagi untuk kedua, dan ketiga kalinya. Aku mencoba untuk menemukan true meaning dari ending film tersebut. Dan kurasa, aku berhasil.
Keberhasilanku itu bukan karena aku nonton film sebanyak tiga kali sih, namun karena hal itu, hal yang terjadi pada Margo, terjadi padaku juga. And this time it was for real. It was when someone you trust claimed to have known so much about you, and you became angry. Kenapa harus marah? Ya iyalah, karena in the end kamu sadar bahwa seseorang yang kamu percayai itu sudah terlampau sok tau soal hidup kamu. Dia ngejudge kamu dan bilang bahwa kamu bakal gini dan gitu kalau kamu gini dan gitu. And in fact, dia nggak tahu apa-apa, every single damn thing. I was like, hello, who are you to say such things? Are you a god?
Dia bahkan nggak ada di sana saat kamu berada di masa-masa sulit. Di saat kamu lagi down-downnya jadi orang dan dia nggak bisa diajak berbagi, itukah yang dimaksud sangat mengenalmu? Karena nyatanya, lo nggak pernah bener-bener kenal siapa gue, men. Lo cuma tau apa yang lo tau dari gue. Itu yang pertama.
Kedua, tentang orang-orang di sekeliling kita yang demand more, kadang kita emang harus ambil risiko ya. Nggak selamanya yang banyak orang pikir baik, bakal baik buat diri kita juga. Kayak kalo mau beli barang, meskipun testimoninya banyak dan bagus-bagus, in the end kita sendiri yang bakal memutuskan mau beli atau enggaknya. Emang sih, pada awalnya mereka mungkin bakalan slightly benci kamu karena kamu nggak memenuhi ekspektasi mereka. Tapi aku yakin at some points they're gonna look back and understand why we did what we did. Dan kadang, mereka bakalan nyesel karena pernah memaksakan keyakinan mereka kepada kita. We all will eventually see the truth. Emang waktu yang dibutuhkan buat kejujuran rada lama sih, nunggunya juga rada capek, tapi efek leganya itu yang everlasting.
Jadi dari film tersebut dapat kita simpulkan bahwa
1) Nyatakanlah cinta, tapi jangan memaksa untuk dimiliki
2) Apa yang banyak orang pikir cocok buat kita nggak selalu cocok buat kita
Well..
Kira-kira demikian dulu. Jangan cap aku sebagai tukang baper ya, because I really am not. Sisi baper itu sekali-kali juga harus muncul sebagai pertanda bahwa kita, manusia, memiliki hati untuk merasa. Meski aku gak yakin kamu punya hati dan perasaan buat aku hmm Okay bye!
No comments:
Post a Comment