Long time no post and i'm kinda going to clean this blog up from ashes and dust. Well, honestly, what i'm going to post something..that actually is my Indonesian task several days ago. But i'm just in sort of loving it. This is a story about him, someone i never regret knowing of, the one i never wanna say goodbyes.
----------------------------------
8 Agustus 2012
mungkin bukan merupakan hari yang indah untukku memulai hidup. Ketika mentari
enggan beranjak, ketika udara tak sesegar seharusnya, dan awan tak seteduh hari
yang lain. Walau aku tahu, seharusnya aku berbahagia karena ayahku sedang
berulang tahun di tanggal itu. Aku memulai hari dengan malas, namun aku mencoba
untuk menyemangati diriku, karena aku sadar satu perubahan besar akan datang kedalam
kehidupanku di hari esok.
Enam belas tahun bukan waktu yang sebentar. Namun juga
bukan waktu yang lama,setidaknya untukku,yang saat itu sedang berusaha
mengumpulkan kekuatan yang berceceran di berbagai sudut hati. Aku mengenalnya
bahkan tanpa berkenalan. Aku mengetahui namanya bahkan tanpa harus aku memulai
mengajaknya bicara. Semua terjadi begitu cepat. Sedemikian cepat hingga kami
sampai pada hari itu—hari dimana kami telah saling menyayangi dan memahami arti
kehadiran masing masing.
Mungkin dia tidak akan pernah tahu seberapa besar aku
menyukainya. Seberapa sering aku memperhatikannya, gerak-gerik langkahnya.
Bagaimana mungkin aku melupakan senyum aneh khas yang tersungging menutupi satu
gigi depannya yang patah karena terpeleset saat ia masih kecil dulu. Aku masih
ingat, bagaimana dia merengek memintaku untuk melihatnya memainkan kemampuannya
bermain gitar, bagaimana dia memintaku untuk menyanyikan lagu-lagu Paramore dan
dia dengan setia menjadi pengiringnya, bagaimana kami tertawa melihat Gumball
dan Darwin yang dewasa sebelum waktunya. Masih membekas di ingatanku, gaya rocker-nya yang selengean, kaus hitam
panjang—bertuliskan NILE bergambar kobra merah, celana jeans belel merek Injection warna abu-abu yang kubelikan di Jakarta
tahun 2009 lalu, sepatu basket League
warna putih harga diskon yang kupilihkan untuknya dari sebuah mal Matahari,
handphone nokia 3200 butut yang dibelinya sejak masih kelas 7, wajahnya yang
gelap namun menenangkan, rambut berantakannya yang mirip Elvis Presley,
tubuhnya yang kurus hingga membuat tulang-tulang rusuk melekat di kulitnya saat
dia mengulat, kuku-kuku jarinya yang tak pernah tersentuh gunting kuku—ia
menggunakan gigi-giginya untuk mengikis kuku-kukunya yang berantakan itu.. dan
semua hal yang takkan cukup kutulis satu-persatu di lembaran ini. Yang jelas,
aku sangat menyukainya. Rasa suka yang mutlak dan tak terbantahkan.
Kurasa aku pernah mengalami ini, dua tahun lalu. Hingga
kini rasa itu menghantuiku kembali. Bedanya, kali ini rasa itu lebih kuat, dan
susah untuk kulupakan. Aku sampai kesulitan menata hatiku sendiri. Rasa itu
pernah singgah ketika ia berkata akan meninggalkanku sejenak ke negeri orang,
“Aku mau berpetualang,” katanya. Kalimat itu mengiang di kepalaku berkali-kali,
hingga aku menemukan alas an untuk melepasnya pergi. Namun ketika kalimat itu
datang kali ini, aku merasakan hal yang berbeda. Kata-kata ‘berpetualang’
terdengar seperti kata ‘meninggalkanmu’. Empat tahun kedepan, yang akan seperti
selamanya bagiku. Aku masih mencoba menemukan alasan untuk melepasmu. Aku masih
mencoba…untuk menepis jauh pikiran bahwa kau tak akan kembali.
8 Agustus berakhir cepat. Pukul 21.30 malam sebuah Avanza putih
telah menunggu di halaman asramaku. Aku bergegas, menyiapkan segala sesuatu,
segala kebutuhan jiwa dan raga. Dan akhirnya aku berjalan untuk menemuinya. Kami
berjabatan tangan—jabat tangan yang terasa asing bagiku. Kemudian kami beranjak
ke Surabaya karena malam telah larut. Lagipula kue tart ulang tahun ayahku sudah kupasrahkan pada anak-anak asrama,
“Pasti akan habis,” pikirku. Waktu itu sekitar pukul sepuluh malam kami
menyusuri Ring Road Barat kearah Suarabaya.
Aku duduk disampingnya, dengan dia yang sedang asyik mendengar lagu-lagu
Panic! At The Disco dari headset ungu yang tersambung pada tabletnya. Setelah
kemudian aku mendapati diriku tertidur di bahunya, untuk pertama kalinya.
9 Agustus 2012
pukul 02.00 dini hari, kami sampai di Surabaya, tepatnya dirumah Mbah Karyadi,
mbah cilik-ku, adik dari nenekku. Aku tak mengira perjalanan akan berlangsung
begitu cepat, mungkin karena jalan masih sepi jadi Pak Duki—yang mengemudikan
mobil—bisa sedikit ngebut untuk memburu waktu agar bisa sahur di rumah Mbah
Karyadi. Setelah sahur, kami memutuskan untuk tidur kembali. Aku berbaring di
sampingnya, ia menatap wajahku dan memegang dahiku.
“Kamu jerawatan deh...” katanya dengan nada mengejek. Aku
hanya tertawa. Aku menyadari ada beberapa koloni jerawat yang sedang apel di
dahiku.
“Ini lho udah aku obatin..” balasku kemudian.
“Tapi kan belum ilang. Sekarang baru kamu tahu rasanya
jerawatan itu kaya gimana..” ujarnya. Dan lagi-lagi aku hanya tersenyum.
“Bodo amat. Aku ngantuk..” kemudian aku berbalik, mengambil
satu bantal dan membekapkannya hingga menutupi seluruh wajahku. Kemudian kami
tertidur.
Pukul 05.00 pagi semuanya telah siap. Aku, ayah, ibu, dan
juga dia, kami berempat sudah siap. Kami menyusuri jalan-jalan sempit wilayah Waru
dengan gelisah, takut terlambat.
“Kamu dimana sih? Udah ditunggu, Naas, cepetan tho!” terdengar suara Mba Intan—pacar kakakku
dari telepon di seberang sana. Rupanya ia sudah lebih dulu sampai di bandara.
Padahal rumahnya Tulungagung. Jauh, pikirku. Berkali-kali ditelepon Mba Intan
membuat kakakku panik. Hingga akhirnya kami sampai di bandara sekitar tiga
puluh menit sebelum takeoff.
Ia berlari bergegas menuju departure gate sambil mengecek barang-barangnya. Saat itu hanya
aku, ibu, dan Mba Intan yang dapat menyusul lari kakakku. Sedangkan yang lain
masih tertinggal di belakang. Beban berat tas kakak yang kurangkul di
punggungku hampir tak terasa. Aku sudah terlalu siap, atau mungkin terlalu
tidak siap untuk ditinggalkan. Ditinggalkan seseorang seperti dia.
Petugas bandara mengecek paspor, visa, dan tiket
keberangkatan kakakku. Seorang pria lain menyarankan kakakku untuk segera
bergegas menuju pesawat, sebab pesawat akan segera berangkat dalam waktu dekat.
Ia kembali mengecek barang-barangnya. Semuanya sudah siap. Ia menjabat
tanganku, Ibuku, dan yang terakhir tangan Mba Intan.
“Intan, aku pergi dulu ya, kamu
jangan nakal. Sudah ya, semua. Assalamu’alaikum!”
Kemudian aku melihatnya. Melambaikan tangan. Dengan mantap
berjalan menatap depan, tanpa menoleh sedikitpun. Kemudian aku melihatnya lagi,
melihat tubuh kecilnya dibalut sweater ungu bertuliskan GALAXII—nama kelasnya
saat SMA, melihat bahunya menopang ransel berat yang tadi kubawakan, merasakan
langkahnya berderap menjauh dan semakin jauh, memandanginya hingga sweater ungu
itu menghilang dibalik megahnya Bandara Juanda, memandanginya hingga air mataku
beterjunan sedemikian deras tanpa sedikitpun kuminta. Aku berbalik, dan
mendapati Mba Intan yang berkaca-kaca, aku berlari memeluknya. Kurasa kita
sama-sama kehilangan saat itu. Kehilangan seseorang yang begitu berarti tanpa
pernah kami sadari. Seseorang yang tanpa sengaja terdaftar sebagai orang yang
kami sayangi. Kami berpelukan sedemikian erat, melepaskan segala sisa kekuatan
yang ada, hingga kerudung kami basah oleh air mata. Mba Intan berusaha
menguatkanku, meski ia tahu ia sendiri pun belum cukup kuat untuk bisa
menguatkan dirinya sendiri.
“Udah jangan nangis, dua tahun lagi dia janji bakalan
pulang kok..” Mba Intan tersenyum. Senyuman yang kubalas dengan pelukan hangat.
Kemudian aku berlari memeluk ibuku, menggenggam erat tangannya, memastikan
bahwa ia telah memilih keputusan yang tepat untuk semua ini.
Keluargaku dan keluarga Mba Intan berpisah beberapa menit
kemudian setelah sempat mengobrol sebentar. Kemudian aku berkumpul kembali
dengan keluargaku. Aku, ayah, ibu, tanpa dia. Sejenak waktu membeku. Dan
mencair lagi ketika kami menyadari betapa dia, telah dewasa,
memilih jalan hidupnya, menggapai ilmu di negeri nun jauh disana, dengan
membawa setangkup kebanggaan dari keluarga kecil ini. Entah kenapa kemudian aku
begitu yakin, kelak suatu hari ia akan pulang, disanjung, disegani,
dibanggakan, dan menunjukkan pada dunia kehebatannya. Dan kemudian aku yakin
suatu hari nanti ayah dan ibuku akan dengan bangga, berkata “Itu anakku.”. Hey yo United States, jaga dia baik-baik
ya..
----------------------------------
Haha, sorry you guys, i'm kinda romantic, i dramatized a little. :')