26.10.12

Miles away from the surface i sing this song.


Hai, selamat bertemu lagi..
Aku sudah lama menghindarimu..

And again under the sun we stared, a tiny moment that seems so accidental. I didn’t know that I would even have this kind of feeling..this kind of missing. You never seemed to be looking for me. So I stayed away, for a while, times I wanted to die.

Sialkulah kau di sini..
Sungguh tak mudah bagiku
Rasanya tak ingin bernafas lagi
Tegak bediri di depanmu kini

Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Tolong beritahu aku. His eyes tried to kill me and I was killed from the very first time.

Sakitnya menusuk jantung ini..
Melawan cinta yang ada di hati..


But they know this song, they know exactly where this story going to ends. They know everything, me and you. How I loved you so much, or a way too much, and we can’t even call it love.
And..but you find her. You were seemed so fall for her..

Dan..upayaku tahu diri..
Tak slamanya berhasil..
Pabila kau muncul terus begini
Tanpa pernah kita bersama
Pergilah,menghilang sajalah lagi..

Bye, selamat berpisah lagi
Meski masih ingin memandangimu
Lebih baik kau tiada di sini
Sungguh tak mudah bagiku
Menghentikan sgala khayalan gila
Jika kau ada dan ku cuma bisa
Meradang menjadi yang di sisimu
Membenci nasibku yang tak berubah..

I cried. Would you hear it? My heart’s trying to talk to yours.. It’s trying to melt your freezing one.

Berkali-kali kau berkata
Kau cinta tapi tak bisa
Berkali-kali ku tlah berjanji
Menyerah....

I sigh. Watching you passing over me. And what a shame, I could only see you with no words came out from this mouth. Will you always stay this beautiful? Apa kamu akan selamanya seindah ini? Kapan kamu akan berubah? Kapan aku akan bisa melihatmu dengan mata yang lain? Aku benci perasaanku yang menyukaimu.

Dan..upayaku tahu diri..
Tak slamanya berhasil...

Aku menyerah. Kini aku disampingmu. Mendengar desah nafasmu. Menatap matamu. Mencoba mendengarkan detak nadimu. Nada bicara yang kukenal. Genggaman yang seakan tak terasa asing bagiku. Dan ketika seisi ruangan terasa begitu hening dalam kebekuan. Sedetik yang terasa selamanya. Tuhan..aku sungguh tak rela saat ini berakhir. Aku ingin terus menggenggam tangannya, sampai…sampai kapan pun aku tak tahu.



I hope you read this. Terima kasih telah membuat hidupku lebih berarti akhir-akhir ini. You know what?
I’ve fallen for so long…as I remember it was since the first time i saw you.

this sweetest feel of losing that 'someone'

Long time no post and i'm kinda going to clean this blog up from ashes and dust. Well, honestly, what i'm going to post something..that actually is my Indonesian task several days ago. But i'm just in sort of loving it. This is a story about him, someone i never regret knowing of, the one i never wanna say goodbyes.



----------------------------------



8 Agustus 2012 mungkin bukan merupakan hari yang indah untukku memulai hidup. Ketika mentari enggan beranjak, ketika udara tak sesegar seharusnya, dan awan tak seteduh hari yang lain. Walau aku tahu, seharusnya aku berbahagia karena ayahku sedang berulang tahun di tanggal itu. Aku memulai hari dengan malas, namun aku mencoba untuk menyemangati diriku, karena aku sadar satu perubahan besar akan datang kedalam kehidupanku di hari esok.
Enam belas tahun bukan waktu yang sebentar. Namun juga bukan waktu yang lama,setidaknya untukku,yang saat itu sedang berusaha mengumpulkan kekuatan yang berceceran di berbagai sudut hati. Aku mengenalnya bahkan tanpa berkenalan. Aku mengetahui namanya bahkan tanpa harus aku memulai mengajaknya bicara. Semua terjadi begitu cepat. Sedemikian cepat hingga kami sampai pada hari itu—hari dimana kami telah saling menyayangi dan memahami arti kehadiran masing masing.
Mungkin dia tidak akan pernah tahu seberapa besar aku menyukainya. Seberapa sering aku memperhatikannya, gerak-gerik langkahnya. Bagaimana mungkin aku melupakan senyum aneh khas yang tersungging menutupi satu gigi depannya yang patah karena terpeleset saat ia masih kecil dulu. Aku masih ingat, bagaimana dia merengek memintaku untuk melihatnya memainkan kemampuannya bermain gitar, bagaimana dia memintaku untuk menyanyikan lagu-lagu Paramore dan dia dengan setia menjadi pengiringnya, bagaimana kami tertawa melihat Gumball dan Darwin yang dewasa sebelum waktunya. Masih membekas di ingatanku, gaya rocker-nya yang selengean, kaus hitam panjang—bertuliskan NILE bergambar kobra merah, celana jeans belel merek Injection warna abu-abu yang kubelikan di Jakarta tahun 2009 lalu, sepatu basket League warna putih harga diskon yang kupilihkan untuknya dari sebuah mal Matahari, handphone nokia 3200 butut yang dibelinya sejak masih kelas 7, wajahnya yang gelap namun menenangkan, rambut berantakannya yang mirip Elvis Presley, tubuhnya yang kurus hingga membuat tulang-tulang rusuk melekat di kulitnya saat dia mengulat, kuku-kuku jarinya yang tak pernah tersentuh gunting kuku—ia menggunakan gigi-giginya untuk mengikis kuku-kukunya yang berantakan itu.. dan semua hal yang takkan cukup kutulis satu-persatu di lembaran ini. Yang jelas, aku sangat menyukainya. Rasa suka yang mutlak dan tak terbantahkan.

Kurasa aku pernah mengalami ini, dua tahun lalu. Hingga kini rasa itu menghantuiku kembali. Bedanya, kali ini rasa itu lebih kuat, dan susah untuk kulupakan. Aku sampai kesulitan menata hatiku sendiri. Rasa itu pernah singgah ketika ia berkata akan meninggalkanku sejenak ke negeri orang, “Aku mau berpetualang,” katanya. Kalimat itu mengiang di kepalaku berkali-kali, hingga aku menemukan alas an untuk melepasnya pergi. Namun ketika kalimat itu datang kali ini, aku merasakan hal yang berbeda. Kata-kata ‘berpetualang’ terdengar seperti kata ‘meninggalkanmu’. Empat tahun kedepan, yang akan seperti selamanya bagiku. Aku masih mencoba menemukan alasan untuk melepasmu. Aku masih mencoba…untuk menepis jauh pikiran bahwa kau tak akan kembali.
8 Agustus berakhir cepat. Pukul 21.30 malam sebuah Avanza putih telah menunggu di halaman asramaku. Aku bergegas, menyiapkan segala sesuatu, segala kebutuhan jiwa dan raga. Dan akhirnya aku berjalan untuk menemuinya. Kami berjabatan tangan—jabat tangan yang terasa asing bagiku. Kemudian kami beranjak ke Surabaya karena malam telah larut. Lagipula kue tart ulang tahun ayahku sudah kupasrahkan pada anak-anak asrama, “Pasti akan habis,” pikirku. Waktu itu sekitar pukul sepuluh malam kami menyusuri Ring Road Barat kearah Suarabaya.  Aku duduk disampingnya, dengan dia yang sedang asyik mendengar lagu-lagu Panic! At The Disco dari headset ungu yang tersambung pada tabletnya. Setelah kemudian aku mendapati diriku tertidur di bahunya, untuk pertama kalinya.

9 Agustus 2012 pukul 02.00 dini hari, kami sampai di Surabaya, tepatnya dirumah Mbah Karyadi, mbah cilik-ku, adik dari nenekku. Aku tak mengira perjalanan akan berlangsung begitu cepat, mungkin karena jalan masih sepi jadi Pak Duki—yang mengemudikan mobil—bisa sedikit ngebut untuk memburu waktu agar bisa sahur di rumah Mbah Karyadi. Setelah sahur, kami memutuskan untuk tidur kembali. Aku berbaring di sampingnya, ia menatap wajahku dan memegang dahiku.
“Kamu jerawatan deh...” katanya dengan nada mengejek. Aku hanya tertawa. Aku menyadari ada beberapa koloni jerawat yang sedang apel di dahiku.
“Ini lho udah aku obatin..” balasku kemudian.
“Tapi kan belum ilang. Sekarang baru kamu tahu rasanya jerawatan itu kaya gimana..” ujarnya. Dan lagi-lagi aku hanya tersenyum.
“Bodo amat. Aku ngantuk..” kemudian aku berbalik, mengambil satu bantal dan membekapkannya hingga menutupi seluruh wajahku. Kemudian kami tertidur.
Pukul 05.00 pagi semuanya telah siap. Aku, ayah, ibu, dan juga dia, kami berempat sudah siap. Kami  menyusuri jalan-jalan sempit wilayah Waru dengan gelisah, takut terlambat.
“Kamu dimana sih? Udah ditunggu, Naas, cepetan tho!” terdengar suara Mba Intan—pacar kakakku dari telepon di seberang sana. Rupanya ia sudah lebih dulu sampai di bandara. Padahal rumahnya Tulungagung. Jauh, pikirku. Berkali-kali ditelepon Mba Intan membuat kakakku panik. Hingga akhirnya kami sampai di bandara sekitar tiga puluh menit sebelum takeoff.
Ia berlari bergegas menuju departure gate sambil mengecek barang-barangnya. Saat itu hanya aku, ibu, dan Mba Intan yang dapat menyusul lari kakakku. Sedangkan yang lain masih tertinggal di belakang. Beban berat tas kakak yang kurangkul di punggungku hampir tak terasa. Aku sudah terlalu siap, atau mungkin terlalu tidak siap untuk ditinggalkan. Ditinggalkan seseorang seperti dia.
Petugas bandara mengecek paspor, visa, dan tiket keberangkatan kakakku. Seorang pria lain menyarankan kakakku untuk segera bergegas menuju pesawat, sebab pesawat akan segera berangkat dalam waktu dekat. Ia kembali mengecek barang-barangnya. Semuanya sudah siap. Ia menjabat tanganku, Ibuku, dan yang terakhir tangan Mba Intan.
                “Intan, aku pergi dulu ya, kamu jangan nakal. Sudah ya, semua. Assalamu’alaikum!”
Kemudian aku melihatnya. Melambaikan tangan. Dengan mantap berjalan menatap depan, tanpa menoleh sedikitpun. Kemudian aku melihatnya lagi, melihat tubuh kecilnya dibalut sweater ungu bertuliskan GALAXII—nama kelasnya saat SMA, melihat bahunya menopang ransel berat yang tadi kubawakan, merasakan langkahnya berderap menjauh dan semakin jauh, memandanginya hingga sweater ungu itu menghilang dibalik megahnya Bandara Juanda, memandanginya hingga air mataku beterjunan sedemikian deras tanpa sedikitpun kuminta. Aku berbalik, dan mendapati Mba Intan yang berkaca-kaca, aku berlari memeluknya. Kurasa kita sama-sama kehilangan saat itu. Kehilangan seseorang yang begitu berarti tanpa pernah kami sadari. Seseorang yang tanpa sengaja terdaftar sebagai orang yang kami sayangi. Kami berpelukan sedemikian erat, melepaskan segala sisa kekuatan yang ada, hingga kerudung kami basah oleh air mata. Mba Intan berusaha menguatkanku, meski ia tahu ia sendiri pun belum cukup kuat untuk bisa menguatkan dirinya sendiri.
“Udah jangan nangis, dua tahun lagi dia janji bakalan pulang kok..” Mba Intan tersenyum. Senyuman yang kubalas dengan pelukan hangat. Kemudian aku berlari memeluk ibuku, menggenggam erat tangannya, memastikan bahwa ia telah memilih keputusan yang tepat untuk semua ini.

Keluargaku dan keluarga Mba Intan berpisah beberapa menit kemudian setelah sempat mengobrol sebentar. Kemudian aku berkumpul kembali dengan keluargaku. Aku, ayah, ibu, tanpa dia. Sejenak waktu membeku. Dan mencair lagi ketika kami menyadari betapa dia, telah dewasa, memilih jalan hidupnya, menggapai ilmu di negeri nun jauh disana, dengan membawa setangkup kebanggaan dari keluarga kecil ini. Entah kenapa kemudian aku begitu yakin, kelak suatu hari ia akan pulang, disanjung, disegani, dibanggakan, dan menunjukkan pada dunia kehebatannya. Dan kemudian aku yakin suatu hari nanti ayah dan ibuku akan dengan bangga, berkata “Itu anakku.”. Hey yo United States, jaga dia baik-baik ya..

----------------------------------

Haha, sorry you guys, i'm kinda romantic, i dramatized a little. :')