23.9.15

Takbir pertama di perantauan

Puasa hari ini sukses. Saya menyelamati diri saya sendiri yang telah menjalani puasa dengan baik meski tadi sahurnya kepotong azan Subuh. Haha, nggak apalah. Pengalaman. Jadwal kuliah yang padat serta segunung tugas mulai dapat saya syukuri. Dengan demikian, waktu berlalu begitu cepatnya hingga tiba-tiba sudah azan Maghrib saja. Suara takbir mulai diserukan di segala penjuru Kukusan. Menimbulkan rasa haru sekaligus nelangsa dalam hati. Biasanya, saat-saat seperti ini, saya tidak di kamar sendirian. Tidak menulis blog post, tidak meneteskan air mata sedih, dan tidak merindukan siapa-siapa. Basically, saya tidak pernah sekalipun merasa kesepian saat malam hari raya selama ini. Saya selalu sedang berada di dapur Mbah Uti, bersama Ibu, tante, mbak-mbak, dan mbah-mbah serta adik-adik saya, ramai-ramai memasak makanan takjil untuk dibagikan kepada jamaah shalat Ied keesokan harinya. Usai memasak, saya berkumpul dengan keluarga di selasar rumah joglo Mbah Uti, menyaksikan parade kembang api gratis di langit malam Desa Ngunut yang selalu cerah. Tidak pernah sekalipun langit Ngunut bersedih pada malam hari raya seperti malam ini. Dan mengingat segala hal tersebut, saya jadi lara sendiri. Ternyata, konsekuensi dari pilihan yang saya buat sebesar ini. Hidup saya berubah sedrastis ini hingga bisa saya rasakan saya yang sekarang bukanlah saya yang dulu. Saya menyadari bahwa merantau tidak semudah mengucapkannya. Menjadi perantau sama seperti berkelana dengan membawa tas ransel dimana pahit-manis masa lalu kamu letakkan di kantung-kantung kecilnya dan kamu sisakan ruang besar untuk pengalaman-pengalaman dan perasaan-perasaan baru. Perasaan yang ada dalam hati s saat ini adalah perasaan yang sepenuhnya baru. Saya harus terbiasa dengan rindu kampung tak terbalas semacam ini mau tidak mau. Saya berdoa, semoga bisa. Dan memang harus bisa. Saya sangat merindukan keluarga dan kucing saya saat ini. Semoga malam hari raya mereka masih indah meski kurang satu personil. Semoga mengingat saya tidak lantas membuat mereka bersedih.

10.9.15

Cukur (2014)

Rediscovering my old unreliable stuffed up cellphone that always says "Not enough memory", my eyes got this.

Dia kembali dengan senyuman,
lebar
Di kejauhan,
wajahnya berseri-seri
menuruni tangga
diiringi matahari siang hari 
Kemudian,
malu-malu ditunjukkannya
cukuran barunya

Aku pun tertawa

Enggan berkata,
sesungguhnya ia tampan juga

Ia menghambur padaku,
lalu kuikatkan ke tiang pancang
semoga tak lepas-lepas

7.9.15

Application of Logical Fallacy: Appeal to Ignorance

Tadi pagi nyampe di kampus setengah tujuh. Gils udah kayak anak SD aja, Lid. Maksud saya di sini setengah tujuh pagi itu masih dini hari. Sepi kering kerontang sepanjang jalan yang terbentang. Namun hari ini tadi lain cerita, saya ada jadwal mentoring dalam rangka kegiatan awal mahasiswa baru (read: ospek). Iyha sensitif banget kalo nyampe topik yang ini hahaha. Di dalam kegiatan ini saya dan teman-teman diberikan materi yang--alhamdulillah--bermanfaat bagi kelangsungan hidup saya and is very applicable. Hari ini materi yang dibahas adalah tentang logical fallacy atau bahasa udiknya yaitu sesat pikir.

Logical fallacy sendiri sebenarnya ada empat tipe. Straw man, slippery slope, red herring, dan yang satu lagi appeal to ignorance. (Try googling it ya.) Appeal to ignorance saya sebutkan terakhir karena saya ingin memberikan penekanan pada poin ini. Mengapa? Karena agaknya poin yang satu ini sangat berkaitan dengan apa yang akhir-akhir ini saya alami.

Appeal to ignorance merupakan sebuah keadaan dimana seseorang memutlakkan ketiadaan atau keadaan sesuatu yang kebenarannya belum teruji secara ilmiah. Hal ini diindikasikan dengan penyimpulan cepat atas segala tanda-tanda kasat mata tanpa disertai data yang valid. Seseorang dengan kecenderungan appeal to ignorance menggeneralisasikan apa yang dia ketahui sebagai segala yang dia ketahui. Padahal everything you see is not everything you see. Oh iya, dan ada lagi quotes dari seseorang (saya lupa namanya) yang bilang kalau the absence of evidence is not the evidence of absence. Yang kemudian kalau saya ingat-ingat si wise man kayaknya namanya Carl Sagan or something wkwk google it for clarity.

Contoh dari kasus appeal to ignorance ini kayak gini.

Carl dikirim berkeliling tata surya untuk menemukan tanda-tanda adanya alien atau makhluk cerdas dari planet lain. Namun dalam pengembaraannya tersebut Carl tidak dapat membuktikan bahwa alien itu ada. Sekembalinya ia ke Bumi, Carl membuat pernyataan bahwa tidak ada yang namanya 'alien' karena semasa ia berada di ruang angkasa ia tidak mendapat respon yang diharapkannya dari sosok alien atau makhluk cerdas lainnya.

Kemudian muncul pertanyaan: Apakah pernyataan tersebut valid?
Sepengertian saya, jawabannya adalah tidak. Meskipun sekilas pernyataan tersebut nampak benar, namun jika kalian telaah sekali lagi, apa yang disampaikan Carl merupakan sebuah pernyataan yang sifatnya subjektif. Sebab kembali kepada quotes absence of evidence is not the evidence of absence. I mean, this is a huge huge scale of universe that we're talking about. Ketika Carl menyimpulkan bahwa tidak ada yang namanya alien, secara tidak langsung ia menggeneralisasikan bahwa tidak ada sama sekali alien. Tidak di tata surya maupun jagat raya. Padahal, Carl belum mengeksplorasi jagat raya ini. Ia hanya telah menelusuri tata surya, namun tidak jagat raya. Bisa saja makhluk cerdas bernama alien memang ada wujudnya seperti di film-film barat. Mengingat jumlah bintang yang milyaran, maka jumlah planet pun jelas akan akan lebih banyak dari itu. Dan oleh karena itu terdapat milyaran probabilitas pula tentang adanya kehidupan lain yang menunjukkan bahwa manusia sejatinya tidak sendiri di jagat raya ini.




Dari materi ini saya belajar banyak hal bahwa nggak selamanya hal yang kita anggap benar itu sepenuhnya benar. Clarify. Cari tahu kebenarannya biar nggak sesat dalam berpikir. Karena nggak cuma dalam perkuliahan aja lho, dalam percintaan pun bisa terjadi logical fallacy seperti ini. Love is a total fallacy. Coba simak cuplikan drama berjudul Closer (Shulman, 1951) ini:

"My dear," I said, favouring her with a smile, "we have now spent five evenings together. we have gotten along splendidly. It is clear that we are well matched."
"Hasty Generalization," said Polly brightly.
"I beg your pardon," said I.
"Hasty Generalization," she repeated. "How can you say that we are well matched on the basis of only five dates?"
I chuckled with amusement. The dear child had learned her lessons well. "My dear," I said., patting her hand in a tolerant manner, "five dates is plenty. After all, you don't have to eat a whole cake to know that it's good."
"False Analogy," said Polly promptly. "I'm not a cake. I'm a girl."
See? Because you're gonna get sucked once you try to rationalize love. Bukannya ingin mencampuradukkan antara cinta dan akademia (?) namun apa salahnya sih kita terapkan prinsip-prinsip kecil sesederhana menghindari appeal to ignorance dalam cinta?
Selain menghindari prasangka, baik juga untuk menjaga perasaan kita sendiri agar terhindar dari pikiran-pikiran buruk yang akhirnya bikin pusing sendiri. So I think you're now a step ahead for loving someone, right?



Here, procrastinators die

Mengapa? Sebab tugasnya banyak, tuntutan juga banyak. Sesuatu bernama tradisi juga masih mengiringi hari-hari perdana perkuliahan yang seharusnya dapat dinikmati. Maka mengeluhlah sebab tiada gunanya. Tidurlah itupun kalaupun waktu tersedia. Mata menghitam sudah biasa. Ke kampus berpakaian dekil di antara ribuan bidadari-jatuh-dari-surga juga sudah biasa. Dan... selama ini masih berusaha mengesampingkan kafein, yang penting makan bergizi. No. Makan selagi masih bisa makan dan ada yang dimakan.

Because here, time shrinks or intentionally shrinked. What a genious way to eradicate procrastinators, huh. Digowo santai ae lah.



(Bonus foto ketawa ala-ala dengan background bata-bata yang konon hanya ada di kampus saya dan merupakan spot foto wajib buat maba hahaha wallahu a'lam)