Truth, cries, and lies. If they're never spoken, how could I know?
Adalah sebuah pelarian. Distraksi. Semua ini, jika kau sadari.
Sadarkah kamu bahwa yang sedang kita lakukan hanyalah dan semata-mata membunuh waktu saja? Bahkan tidak hanya menyiksa waktu. Kita membuatnya menderita, kemudian kita membunuhnya. Kemudian, kita buang mayatnya. Tanpa mau menguburnya. Maksudmu apa? Biar orang-orang melihatnya?
Mungkin saja, suatu hari nanti ketika kita sudah tak ada, membunuh waktu akan jadi kejahatan moral yang paling sadis diantara yang lainnya.
Sedangkan kita, adalah yang pertama memulainya.
Lalu, jika memang begitu, mengapa kau membunuhnya?
Karena keadaan, Kawanku, adalah satu-satunya penjelasan. Jika kamu bertanya padaku, jawabanku akan benar-benar klise. Dan membosankan. Karena pada akhirnya, aku juga tahu bahwa satu hal tentang diriku tak pernah semisterius itu. Berapapun aku coba menutup-nutupinya. Berapapun kami mencoba untuk menutup-nutupinya dari dunia yang selalu ingin tahu ini.
Maka, kau bertanyalah pada keadaan-yang-maha-kuasa yang mengetahui segala-galanya. Ia akan menceritakan padamu semuanya, hingga kamu tertidur lelap dalam pelukannya. Tertidur, dalam tangis, jika perlu. Jangan terkejut jika nantinya, mungkin, kau akan menemukan cerita-cerita yang tak pernah kaudengar dari mulutku. Namun, jika memang ia mengatakannya, berarti hal itu benar-benar ada dan kau harus memercayainya dengan segenap jiwa.
Keadaan, kawanku, adalah yang merubah segalanya. Perasaanku, tak terkecuali.
Wah. Memangnya, apa yang berbeda dari perasaanmu yang dulu dan yang sekarang?
Sejujurnya, perasaanku tidak pernah benar-benar berbeda. Hanya saja, saat ini, konteksnya sudah berbeda.
Dulu, aku merasakan sesuatu dan percaya bahwa harapan itu ada meski hanya secercah cahaya di langit yang gelap. Meski hanya sinar lentera ketika gulita. Dan bagian yang terbaik dari hari-hariku yang lalu, adalah pengharapan itu.
Kini, aku masih juga merasakan sesuatu itu dan aku tahu bahwa harapan itu ada meski hanya secercah cahaya di langit yang gelap. Oh, dan kurasa kamu juga perlu membaca ulang beberapa kalimatku barusan. Kamu akan menyadari bahwa ada perbedaan antara pengharapan dan pengetahuan, dan betapa dua hal itu merupakan faktor determinan.
Mengharapkan adalah, suatu kegiatan delusional dimana kamu menciptakan fantasi-fantasimu sendiri terhadap sesuatu. Hanya meyakini bahwa sesuatu itu ada, entah dimana dan bagaimana cara mendapatkannya. Berharap adalah ketika semua yang kamu lakukan hanyalah meraba-raba tanpa pernah bisa menyentuhnya.
Mengetahui adalah pertanda bahwa kamu telah selangkah lebih cerdas dari, semata-mata, mengharapkan. Kamu telah mendapatkan informasi, bukti empirik, remah roti, jejak kaki, atau apapun tentang pengharapanmu itu. Secara teknis, kamu memang sudah lebih dekat dengan tujuan inisialmu. Namun, dalam tahap mengetahui, tidak ada yang menjamin bahwa pengetahuan yang kamu dapatkan adalah pengetahuan yang kamu inginkan. Jadi, pada akhirnya, pengetahuan itu sendiri akan membuatmu menahan langkah, berjalan mundur beberapa petak, atau bahkan kembali ke tempatmu memulai segalanya. (Untuk saat ini, aku beruntung hanya perlu menahan langkah.) Setidaknya, kini kamu sudah bisa menyentuhnya. Kebenaran yang selama ini kamu cari-cari.
Maka, sadarkah kamu bahwa yang sedang kita lakukan hanyalah dan semata-mata membunuh waktu saja?
Pada akhirnya, mungkin saja semua itu akan kembali seperti sediakala. Meskipun ada pula kemungkinan "mungkin tidak seperti itu", tetap saja. Kita berdua, berharap, bukan? Namun, bodohnya (as I've always been), aku akan selalu jadi pahlawan kesiangan. Aku akan selalu menyesali semua keputusan yang kubuat secara tergesa-gesa. Aku akan selalu menemukan kebenaran sesaat setelah aku kalah. Dan kali ini, Kawan, adalah kekalahanku yang paling sempurna.
Sebab kali ini,
aku lupa memintamu
untuk tetap
tinggal.
aku lupa memintamu
untuk tetap
tinggal.
No comments:
Post a Comment