Kopi panas, dituangkan dari cerek besi yang mengkilat.
Cangkir yang semula kosong mulai terisi, perlahan tapi pasti.
Kopi itu berjatuhan teratur, mengayun lembut, menggemericik, menggelitik telinga.
Asapnya mengepul menari-nari.
Cangkirku pun terisi setengah penuh, menyisakan aku yang ragu-ragu. Haruskah kubiarkan saja?
Segera kulepas bimbang dan membiarkan sang kopi mengisi cangkirku hingga penuh.
Ia meluap sedikit, meluber ke meja-meja.
Kubiarkan saja.
Kupandangi cangkirku yang penuh.
Ingin kuicip namun kepul panasnya membuatku enggan.
Kubiarkan saja,
biar kutunggu hingga hangat.
Asap itu kemudian menghilang.
Terlalu cepat berubah wujud menjadi titik-titik air di udara.
Panasnya terlalu segera ingin lepas bebas di angkasa.
Kopiku mendingin.
Tak tertolong lagi.
Aku...
sudah enggan menikmatinya.
Barangkali kita pun hanya sesingkat rentang antara kopi panas dan berubahnya ia menjadi angin.
Yang lalu kita hirup dan menyesakkan dada.
Begitu singkatnya hingga tak sempat kunikmati.
Barangkali jika kau kopi, bolehlah aku menjadi cangkir.
Tempatmu bernaung meski sementara.
No comments:
Post a Comment