26.8.11

A Fiction



Semlikum everyone. How's life? I haven't better yet and actually don't really want it.

Yes, ucapkan selamat pada si bodoh bermood biru dan bersepatu Converse biru ini. karena apa? Sepatu indah yang sangat saya sayangi setengah hidup itu telah tertangkap BP untuk kedua kalinya. Sebenarnya baru kedua kali, tapi gue ngerasa kasihan, sama kaki gue. Nyesek. Nyaris gak bisa pulang gara-gara tersitanya sepatu oleh Mister Pujo yang baik hati dan diktator itu. Ngah, selfmad. Hehe

Sebelumnya memang saya menuliskan sekalimat untuk mem-bersambung-kan postingan sebelum ini. Tapi, yah, gue lupa mau nulis apaan. Jadi, jalanbuntunya, buat postingan baru. Betapa labil.

Udah 26 hari Ramadhan. Begitu banyak. Bahkan terlalu banyak untuk bisa ditulis disini. Banyak senengnya, dan juga banyak pelajarannya. Ah, too much to say sih sebenarnya. Satu clue di postingan ini: Banyak.



Pertama, banyak waktu dan perubahan.

Sadar atau enggak, percaya atau enggak. Satu hari, satu minggu, satu bulan, satu tahun, atau bertahun-tahun sekalipun gak akan kerasa kalau kita udah ngejalaninnya. Kadang kita terlalu hiperbolis dalam mengambil suatu keputusan, seperti halnya perpisahan. Ada saat dimana kita saling berjanji kita tidak akan berpisah, tidak akan saling menjauh. Ada saat dimana kita menangisi sebuah kehilangan, dan menyadari bahwa waktu berlalu terlalu cepat. Kemudian muncul sebuah pertanyaan, waktu kah yang berjalan terlalu cepat? Atau kita yang tidak sempat melakukan apa yang kita inginkan, bahkan butuhkan, dalam jangka waktu sedemikian tersebut? Atau bahkan terlalu banyak waktu yang kita habiskan untuk memenuhi keinginan-kebutuhan kita itu sehingga kita terlalu takut untuk melepasnya? Entahlah, jujur gue belum bisa ngejawab pertanyaan-pertanyaan itu. Karena mungkin gue akan ngerasa lebih baik jika gue simpan sendiri jawabannya.

Gue bocah yang suka membandingkan masa lalu dan apa yang sekarang ada pada diri seseorang, diri elo, tapi fatalnya, gue jarang mau ngebandingin masa lalu dan masa kini gue. Karena gue manusia rendah memori yang selalu memilih untuk membuang apa yang harus dibuang dan menyimpan hanya apa aja yang bener-bener pantes untuk disimpan. Mungkin salah satu alasan pintas untuk pelupa.

Dunia peka dengan perubahan, semakin banyak waktu yang berjalan padanya, semakin banyak juga yang berubah, baik secara sengaja ataupun dengan sendirinya. Dan semuanya nggak berjalan tiba-tiba, pasti ada proses untuk itu. Kalau kita merasa itu adalah sebuah perubahan tiba-tiba, mungkin itu karena kita yang jarang perhatiin sesuatu sebelum berubah. Atau mungkin, sesuatu tersebut terlupakan? Misalnya aja, tanggal 1 Juli elo pergi ke kebun binatang dan nemuin kepompong, dan tanggal 1 Agustus elo kesana, kepomong itu udah jatoh dan ada kupu-kupu yang keluar. Dan elo bilang “Kok cepet banget berubahnya?”. Iyalah, orang elo gak bener-bener perhatiin gimana metamorfosis si kupu-kupu itu sendiri. Elo Cuma ngeliat awalan dan akhiran dari cerita pembodohan tentang si kupu-kupu itu.

Yak, sebuah cerita yang gue banget, dimana gue ngelupain proses perubahan seseorang dari waktu kewaktu, gue cuman tahu opening dan ending-nya. Karena itu, semuanya terasa tiba-tiba. Gara-gara waktu. Maju maju maju maju, terus.



Kedua dan terakhir, banyak alasan dan keputusan.

Terkait dari uraian geje diatas, elo bisa liat, gak ada perubahan yang gak disertai alasan. Dan semua alasan-alasan itu kadang sulit dijelasin, terlalu sulit, karena ada alasan yang langsung, dan yang enggak langsung. Dan apa? Gue punya terlalu banyak alasan untuk sesuatu yang gue lakuin. Kemudian karena alasan-alasan itu, gue musti menghadapi terlalu banyak keputusan. Keputusan-keputusan yang kadang bisa bikin gue niat bunuh diri.




Sebenarnya, semua ini Cuma soal elo dan gue. Cerita horor-misterius yang belum berhasil kita pecahin, bertahun-tahun.



Apa harus ada kesengajaan untuk sebuah alasan akan perubahan? Karena semuanya cuman soal waktu, waktu yang berlalu dan harus selalu menyisakan sebuah keputusan. Yang kadang pahit.



Apa hidup ini cuma fiksi? Kadang gue ngerasa dunia terlalu palsu. Dan terlalu nyata untuk gue dan elo hadapin. Apa mungkin kita harus hidup dalam mimpi, di mimpi tingkat ketiga dimana Cuma ada gue dan elo, membangun dunia kita sendiri, dimana Cuma ada elo dan gue, dimana mimpi elo dan gue gak berujung, dimana kita mati bersama dalam mimpi, dan mungkin gak ada yang bisa bangunin gue lagi di dunia nyata. Dimana gue temuin kedamaian atas elegi Mati dalam Mimpi.



No comments:

Post a Comment