Sepasang mata bola, lama menatapmu di kejauhan. Mengagum dalam diam, membenci pun dalam diam. Mendengar hal tak pantas didengar, melihat hal tak pantas dilihat.
Sepasang mata bola, lama menatapmu di kejauhan. Dibawah sinaran bohlam temaram, tangisnya sedih tertusuk duri tajam. Menyisir gelap malam dengan sejuta mimpi kelam. Berperang batin tanpa senjata tanpa bela bala tentara.
Sepasang mata bola, menatapmu di kejauhan. Di segala kesendirian, kadang ia mendekat, berpura jadi sobat terbaik untuknya. Tiadakah tempat larimu menuju, anak muda? Memang--tiada lebih indah dibanding jumpa tempat berteduh kala badai menerpa.
Sepasang mata bola, menatapmu di kejauhan. Ia sedang duduk-duduk bersantai, tak sendirian. Si sempurna nyata telah lama ada disana. Serasi sekali mereka hingga semua orang berkata-kata tiada habisnya. Si sempurna dengan segala kesempurnaannya yang sempurna mencintainya dengan sempurna.
Lalu, sepasang mata bola, berlari melepas pandangnya darimu. Kau berantakan mencarinya, tak lagi ada yang awas akanmu. Air mukamu tertegun penuh sesal, dan hujan turun membasahimu. Kau kini kehilangannya, tiada peta tiada arah tujuan yang 'kan menuntunmu padanya. Selama ini ada yang hilang darimu, kau tak tahu itu apa. Jadi biar kuberitahu, sepasang mata bola, telah mencuri secuil hatimu yang kaujaga. Sepasang mata bola telah membobol sandi hidupmu yang kaukira berharga, namun ternyata tak terlalu berharga.
Kini sepasang mata bola terusir pergi, sebab mata yang lain hanya bisa melihat apa yang sempurna. Kini sepasang mata bola tersenyum girang, hati curian telah ada di genggamannya, dan ada yang menangis mencari-carinya.
"Seperti syair tak beraksara, seperi puisi tak berima. Seperti itu aku padamu.."
- Lydia Annisa -
No comments:
Post a Comment