13.4.14

Hitam Putih Kita

Akhirnya, setelah merangkai titik-titik lain, kita sampai di titik ini. Dimana kita saling bersitatap, memandangi lekat satu sama lain dan mencari sesuatu untuk dibanggakan. 

Giliranku. Rambut itu kembali memanjang setelah berkali-kali dicukur, dan kau terlihat sama seperti saat pertama kali kita bertemu dulu. Mata itu sudah banyak berubah sejak pertama kali kuajak bicara, bagai dua bintang kembar terambil cahayanya, tak lagi menerangi malam-malamku. Mungkin terlalu banyak terjaga dan kurang tidur. Dua lesung pipit itu masih disana, masih selalu setia membuat tawanya lebih enak dilihat orang. Aku akan selalu ingat kode lesung pipit itu, kalau ditunjukkan sebelah, berarti pemiliknya sedang tak begitu ingin bercanda. Kalau ditunjukkan keduanya, berarti pemiliknya sedang ingin melemahkan iman wanita. Tapi kalau tak ditunjukkan sama sekali, berarti pemiliknya sedang siap membakar kota. Kemudian bahunya, masih kurus seperti orang kekurangan gizi, yang sepertinya bukan tempat nyaman untuk bersandar. Seakan hal paling bagus adalah melihat kedua bahu itu ditutupi jaket yang kebetulan tak pernah mau lepas darinya. Namun aku ingat betapa sering aku menggunakan bahu itu untuk memanggilnya...hanya untuk melihatnya menoleh ke belakang, untukku. Aku ingat betapa aku pernah berharap kedua bahu itu akan menjadi pelindungku, kemudian aku terhenyak. Kaki-kaki itu juga masih sama, sepatu yang ia kenakan juga masih sama. Sepasang sepatu yang selalu menemaninya saat ia bermain di jalanan, diatas panggung, dan juga sepatu yang menemaninya berlari dari kenyataan..denganku. Kemudian aku berbalik menatapnya, dan aku sadar apa yang kulewatkan. Caranya menatapku.

Giliranmu. Aku tak pernah tahu apa yang terlintas di pikiranmu saat kau menatapku, apakah aku masih jadi ‘gadis itu’?. Sebab yang aku tahu hanyalah kita tak saling mengenal lagi. Dan kau, juga aku hanyalah orang lain saat ini. Kita tak lagi saling merindukan, tak lagi saling menelepon, saling bertegur sapa, atau apapun. Hanya salah satu, mungkin aku atau kamu saja, itupun kadang-kadang. Aku begitu menyadari bahwa mungkin aku yang seperti ini, jiwaku yang menua ini telah mudah lelah hingga tertinggal jauh dibelakangmu. Dulu kita mulai berlari di start yang sama dan mulai saling mengerti sejak saat itu. Bodohnya, waktu itu kita berlari pakai penutup mata.

"Kalau kamu jatuh bilang ya, aku bakal bantu kamu berdiri" katamu sesaat sesudah penutup mata itu terpasang melingkari pelipis kita. Aku bahkan merasakan kau tersenyum saat itu. Kita berpegangan tangan, kemudian mulai berlari.


Awalnya semua begitu menyenangkan saat itu.Kita hanya melambatkan langkah sesekali dan mulai berbicara tentang apapun. Soal mata ditutup pun kita merasa itu bukanlah masalah, sebab kita tak usah melihat orang lain lagi hanya hatimu dan hatiku yang sudah saling mengenal, saling memiliki satu sama lain tanpa cela tanpa dera. Saat kita merindu, kita hanya harus membayangkan wajah satu sama lain tersenyum, kemudian kembali berenergi untuk terus berlari. Semuanya indah saat itu. Semua pit-stop terasa begitu mudah dilewati dan dunia hanyalah setitik abu dibawah kaki-kaki kita. Rodaku melaju kencang dan berada dibawah pun tak begitu terasa, karena kamu terus-terusan menguatkanku. Kuakui, aku begitu mencintaimu saat itu, dan mungkin sudah buta akan semuanya.

Namun seiring berjalannya waktu, kau dan aku pun terus bertumbuh. Kita mulai lelah, dan mulai saling tak peduli. Tak saling berbicara lagi karena kita tahu itu hanya akan buang-buang tenaga. Aku mulai merasa semua ini tak ada gunanya, semua ini tak ada ujungnya.....oh, danbahkan aku mulai mencari ujung jalan ini. Lingkaran itu terasa menjemukan dan aku sudah ingin berjalan disatu garis lurus, diantara A dan B saja dimana aku akan segera membuka mata dan melihatmu lagi. Kita menua kian harinya, dan masih tak mendapat jawaban tentang apa yang sebenarnya kita perjuangkan. Kita mulai menyalahkan satu sama lain, bertengkar, saling acuh-tak acuh, saling merasa diri paling benar, dan saling menguras energi...berharap salah satu dari kita akan kehabisan daya dan mati duluan hingga akhirnya maraton ini ada klimaks, atau mungkin endingnya. Membenci dan terus mencari kesalahan, itulah yang setiap hari kita lakukan. Kau mulai jemu membimbingku dan mulai berpikir mencari objek lain untuk dibahagiakan. Hingga suatu hari kita sadar semua ini penuh keterpaksaan dan kepura-puraan. Seberapa keras kita mencoba, tak akan ada hasilnya. Dan akhirnya, aku jatuh tersungkur, tak meminta bantuanmu lagi. Aku membiarkanmu terus berlari sendiri karena aku yakin kau lebih kuat dariku dan bahkan kau bisa hidup seribu tahun lagi tanpa bantuan siapapun termasuk diriku.

Namun pada akhirnya, aku sadar kau akan sangat kesepian...dan aku telah terlanjur tak berdaya.
Ha, mungkin memang benar bahwa segala sesuatu selalu terlihat indah pada awalnya.  



Kini kita berdiri saling berhadapan, dan yang kau lakukan hanyalah diam, tersenyum dengan dua lesung pipit menawan, kemudian menunduk.

“I’m sorry” katamu.
“Not your fault,” aku membalasnya dengan tersenyum, pahit. “It’s ours.”



 “The only way out of the labyrinth of suffering is to forgive.” 


***
Sudahlah akui saja. Seindah apapun alasan yang kamu buat untuk mengakhiri suatu hubungan, sebaik apapun itu, namun pasti ada satu kata yang enggan kamu sebutkan dengan dalih untuk tidak mengecewakan pihak lain. Kata itu adalah bosan. Karena jika kamu bosan, maka kamu akan menganggap semua yang dia lakukan biasa saja, semua hal yang ia perjuangkan tidak penting (kamu berpikir ‘bahkan aku bisa melakukannya sendiri kalau aku mau’), dan yang terburuk...kamu akan mulai mencari seseorang yang tidak membosankan.

Memang ini salahku dan dia, dia datang saat aku bosan dengan apa yang aku miliki, dan dia meninggalkanku saat aku sudah terlalu membosankan baginya.
Namun ini jadi salah satu hal yang akhirnya kusesali, mungkin juga dia. Karena semua yang pernah kita lalui sarat dengan kesesaatan. Semua terjadi begitu cepat tanpa sempat didokumentasikan, hingga akhirnya ia berakhir tanpa pesan..tak bisa dikejar lagi. Dan sesal itu ada karena sesuatu yang kita lewatkan, “Kenapa aku tidak melakukannya?”, “Seharusnya aku bisa lebih baik dari itu..”. Namun apa yang bisa kamu lakukan saat sesal itu datang? Tidak ada kecuali kata maaf. Seakan berapapun kamu mencoba untuk menyusun kembali puing-puing ceritamu, seseorang itu bukanlah dia yang dulu. Begitupun kamu, kamu bukanlah kamu yang dulu. Menyadari bahwa sejak awal kalian adalah kesalahan, yang menunggu untuk terjadi. Sebuah bencana yang sudah diramalkan tanpa tindakan pencegahan.

Begitupun aku, semua kenangan itu berputar di kepalaku seperti kaset rusak. Bermain berulang-ulang seakan ingin membolak-bailkkan hatiku. Betapa kita telah jauh terombang-ambing ditengah lautan, memandang hari-hari, melawan badai, lelah bertahan hingga akhirnya tenggelam perlahan. Jujur aku tak ingin semua cerita ini memiliki ujung, aku ingin kita berjalan diatas lingkaran dalam keabadian. Namun kita tak bisa begitu, bagaimanapun kita ini manusiawi. Aku terlalu naif, berpikiran bahwa kamu bagai malaikat jatuh yang menunggu untuk diselamatkan. Parahnya aku lupa kamu juga manusia dengan segala kemanusiawiannya. Kita terus saja berangan tentang apa yang akan kita lakukan di masa depan. Betapa indahnya dunia saat itu, yang seakan hanya milik kita berdua. Namun percayalah kawan, semua hal memang indah pada awalnya dan berubah jadi bencana tidak pada waktunya. Jadi kurasa, kita harus mulai membuka hati dan pikiran selebar-lebarnya. Bersiap untuk segala kemungkinan. Karena jika kamu berani mencintai, maka harus berani patah hati. Kalau tak berani, berarti kamu tidak siap akan kemungkinan terburuk yang bisa datang kapan saja. Dan jika kamu tidak siap dengan kemungkinan terburuk, maka kamu juga tidak akan siap untuk melupakan. Dan jika kamu tidak siap melupakan, maka kamu akan menjadi manusia stagnan. And being stagnant won't take you anywhere but left behind in the past when everyone's being so damn selfish feeding their curiousities.






This world is not a wish-granting factory.

No comments:

Post a Comment