Pernahkah kau mengalami saat dimana kau bertemu seseorang, dan merasa 'dialah orang yang Tuhan maksudkan'?
***
Kebenaran itu adalah...
Aku. Ingin. Mengejarnya.
Awalnya hanya itu. Alasan bodoh nan konyol ala gadis kecil ingusan yang sok tahu soal agama. Alasan terselubung dibalik 'Aku ingin memperbaiki kehidupanku' yang terpoles manis dan terucap indah didepan semua orang. Yang benar saja, mana mungkin aku mengatakan alasan sebenarnya dimuka umum?! Bukannya tidak masuk akal, itu sangat masuk akal untukku. Tapi aku hanya akan membenci respon mereka, aku akan membenci bagaimana mereka akan menganggap remeh perasaanku yang terlalu besar untuknya saat itu. Rasa yang tidak seharusnya dimiliki seorang gadis kecil. Dia begitu kuidolakan saat itu, bukan karena ketampanannya, atau dia pintar, atau kaya atau apapun. Hanya sekelumit perasaan senang saat aku diperhatikan olehnya atau saat mengetahui dia berada disekitarku. Aku hanya senang saat kita bernyanyi dan saling mengingatkan lirik kelanjutan yang kita lupa, saat tahu kita menyukai group band yang sama, saat kau bersedia membawakanku setumpuk buku untuk kupelajari sebelum lomba, saat aku bisa melihatmu bercanda dibalik rinai hujan di gedung seberang, saat kau menyapaku terlebih dahulu, saat kau menyontek PR Bahasa Inggrisku, dan semua hal-hal kecil yang membangkitkan semangatku. Singkat cerita, kuputuskan untuk mulai menyukaimu dalam diam. Sejak saat itu hidupku berubah, aku menjadi manusia yang lebih baik, jauh lebih baik hingga semua orang terpesona. Bintangku mulai bersinar karena kaulah energinya.
Hitam putih kulewati dan lambat laun perpisahan sudah didepan mata. Perasaanku bilang kau akan pergi jauh dan ternyata memang iya. Aku tidak bisa berpikir bagaimana hidupku selanjutnya saat kau tak lagi ada. Aku mulai jenuh dan sedih dan terus-terusan murung mengetahui bahwa begitu kecil kemungkinan kita akan bertemu lagi. Begitu jauh kau untuk kutemui, nomormu saja tak berani kusimpan. Hingga muncul satu ide gila suatu hari.
Teman, katakanlah kau ingin pergi ke suatu tempat dimana tempat itu sama sekali belum pernah kau kunjungi. Tempat itu begitu asing dan tak ada seorangpun disana yang mengenalmu. Waktu itu belum zamannya smartphone, hanya handphone. Biaya internet masih mahal dan Google Earth hanya bisa diakses di komputer dengan koneksi stabil. Andaikan aku berangkatpun mungkin akan terasa seperti backpacking, tapi 3-6 tahunan lamanya :p Karena benar-benar tak ada sanak saudara atau siapapun disana, karena jika aku benar-benar mengiyakannya aku akan benar-benar hidup sendirian jauh dari siapapun. Dan voila, proposalku ditolak. Membuatku putus asa dan akhirnya disinilah aku berdiri sekarang ini.
Menahun aku menunggu dan menjaga perasaan ini agar tidak luput dari tanganku. Menahun yang terasa selamanya. Menahun kutunggu kata-kata yang merangkum semua, dan kini kuharap ku dimengerti. Bertahun-tahun yang sedikit ngilu tapi menyenangkan, kuhabiskan waktuku mengenali wajah-wajah baru. Mempertahankan sinar bintangku, berusaha bersinar agar dapat kau lihat di langit tempat kau berada saat ini. Aku selalu tahu apa yang menyibukkanmu, entah bagaimana caranya. Aku mengenali wajah teman-teman barumu disana, yang begitu banyak hingga memusingkanku. Aku selalu terjaga hingga larut pada satu malam setiap tahun, berturut-turut, hanya untuk mengucapkan 'selamat ulang tahun' dan berharap kau membaca, bahkan membalasnya. Namun kau disana seakan tak peduli. Semua kulakukan dalam diam. Diam yang kian lama kian membuatku jengah.
Kemudian aku melakukan hal bodoh lainnya, kupalingkan hatiku dan mulai belajar menyukai hal lain. Aku belajar melupakanmu walau harus bertemu ibumu berkali-kali dan harus selalu melewati rumahmu saat aku akan kerumah temanku yang lain. Setelah kulakukan berulang-ulang, ternyata hal itu membunuhku perlahan. Beribu manusia yang kutemui selalu berhasil memesonaku, namun hanya sesaat setelah kemudian aku kembali teringat padamu. Tak peduli siapapun, apapun dan bagaimanapun aku berusaha berpaling, sungaiku selalu kembali bermuara padamu. Aku tak mengerti. Padahal kau tak peduli, oh, malahan kau mungkin sudah melupakanku. Tapi aku tetap saja begini, tetap selalu teringat olehmu yang begitu indah. Tetap selalu meneteskan airmata saat kulihat catatan-catatanmu di layar, betapa aku amat...sangat merindukanmu dan ingin kau berada disekitarku sekali lagi.
Tapi tetaplah waktu yang selanjutnya memberi jawaban. Kau kemudian menghilang begitu saja, dan kemudian kutemukan sedang duduk dibawah pohon dengannya--seseorang yang sangat kukenal. Aku tak mampu berkata-kata, tak mampu menyandingkan diriku dengannya. Segala ketidaksempurnaan itu milikku, dan dia hanyalah sosok yang sangat-sangat dirindukan masa depanmu. Maka patutlah aku berada disini sekarang ini, hanya berdua dengan buku catatanku, bertiga dengan catatan-catatanmu yang sekali lagi membuat mataku basah.
Oh, sosok yang selalu kuinginkan, yang tak pernah sedikitpun kubenci. Yang membawa mimpi dari kening ke sajadah. Yang sempurna dalam tiap kesederhanaannya, yang mencintai dengan sederhana pula. Yang mengajariku untuk dewasa. Karena jika seandainya bisa, aku tak akan menjadi serapuh ini. Jika seandainya bisa, aku tak harus berada disini dan hanya akan berkutat dengan buku-buku suci hingga tiba waktunya aku menemuimu lagi. Pria kecil berjiwa bocah, tetaplah seperti ini. Tetaplah jadi muara pelayaranku. Aku akan selalu singgah padamu sesekali, saat aku bosan atau merasa terlupa dari dunia ini. Tetaplah selalu menuntunku kembali dijalanNya dan tetaplah membuatku menyesal tak sepenuh hati mengejar kepergianmu di masa lalu. Ini aku, janji sepotong lilin yang terbakar habis demi terangmu.
Maulidia
No comments:
Post a Comment