14 April 2014. Lydia Annisa.
Entah mengapa. Saat aku mendengar rintik hujan diluar jendela, aku selalu teringat akan sosokmu. Aku bahkan mulai berpikir, jangan-jangan kau saudaranya hujan. Karena entah mengapa, aku selalu begitu, kontan saja terbukakan kembali lembar-lembar silam saat mendengar hujan,
Mungkin iramanya yang menenangkan.
Mengejek dan membuat siapapun hanyut akannya. Sebagian ingin bersembunyi sebab takut basah, sebagian memilih sengaja kehujanan. Sebagian malas berpikir hingga tertidur, sebagian lain berdiri di sudut jendela dan mulai menggambari kaca yang mengembun.
Aku ini tujuh belas. Tapi andai bisa, aku mau jadi anak kecil saja. Biar sepenuhnya aku terlepas dari semua omong kosong tentang rasa, biar aku membuat jejak warnaku tanpa pura-pura. Dan ditengah hujan aku akan mulai bernyanyi dan menari bagai putri dilepaskan dari sangkar emasnya. Bahagia tanpa cela.
Dan andai bisa, hujan ini biar selamanya begitu. Mengetuk-ngetuk permukaan hati, meredam bara api dan menemani jiwa-jiwa sepi. Itu saja tak usah ada yang lain, tak usah terhubungkan denganmu.
Walau tiap aku dan kau menjelma dalam tiap bulir hujan yang kerap kali dirindukan bunga-bunga di terasku, aku ingin hujan ini tak begitu. Walau kertas putih kota ini (akhirnya) telah kau goresi tinta biru, aku berharap hujan melunturkannya begitu saja.
Aku ingin melepasmu andai aku bisa. Hingga tak harus lagi aku menggigil ketakutan mengintai badai dibalik selambu, dan hingga aku dikembalikan pada jiwa kecilku yang merindukan tarian dikala hujan. Hingga buliran hujan itu kembali bening…..tak terisi memori apapun, dan siapapun.
No comments:
Post a Comment