6.10.15

Kadang, kemapanan itu membosankan

Kali ini saya akan bercerita mengenai kosan saya. Satu kata untuk mendeskripsikannya: mapan. Kosan saya adalah dunia lain di hiruk pikuk Kukusan. Sangat damai, aman, nyaman, dan mapan. Makanya, setelah rutinitas kuliah dan tugas selesai, kalau kamu ngajak saya keluar untuk nugas lagi, kemungkinan besar akan saya tolak (kecuali kalau kamu ajak main HEHE). Saya bisa betah seharian ngungkung diri di kamar. Yang penting listrik nyala, kosan saya bagai surga. Sejuk, banyak makanan, dan wifi kenceng. Nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan?

Namun, dibalik nikmat itu muncul satu masalah. Saking nyamannya para penghuni kosan, mereka jadi kebetahan ngumpet di kamar. Pintu mereka hampir selalu tertutup. Saya bahkan baru tahu bahwa ada anak Psikologi yang ngekos TEPAT DI SEBERANG KAMAR SAYA setelah SEBULAN saya ngekos di sini. Kan, tau gitu bisa berangkat barengan biar capeknya jalan nggak kerasa, ada teman main, teman makan, teman ngerjain tugas ospek (iya dulu aku suka stres sendiri kalau lagi ngerjain tugas ospek), teman nyuci (this is so important bicoz basically nyuci isn't something you would possibly want to do on weekends, godaan laundry itu segitu hebatnya), dan barangkali bisa jadi teman dekat. Itu aja kami ketemunya nggak sengaja gara-gara pas malem saya lagi masak Indomie di dapur dekat kamar dan dia, sebut saja Jojo, baru pulang dari kampus kayaknya. Dia masih pakai jaket kuning waktu itu (peraturan masa inisiasi, di Psiko specificly we call it Agoge Period) dan our eyes met and we were like...

"Lo anak psiko ga sih?!"
"Iya, lo juga, kan?!"
"Oh my god kita sering sekelas!!"
"Oh my god iya!!"
"Kamar lo mana?!" dengan nada sedikit menodong. Kemudian dia menunjukkan kamarnya dengan telunjuknya. Kemudian aku menunjukkan kamarku dengan telunjukku.
"OH MY GOD JADI SELAMA INI ..."
"Pantesan kemarin gue lihat jakun makara biru muda dijemur disini!!"
"Iya itu punya gue.... oh God oh God besok-besok berangkat barengan aja yuk!"
"Iya iya sumpah gue seneng banget akhirnya punya temen hahahah"
"Iya gue juga hahahah"

Dan...ya. begitulah kira-kira percakapan kami malam itu.

See? People barely set out from their comfort zones. Even I, who religiously preach myself to stay out from my comfort zone, eventually got caught up inside it. Kadang, mengingatnya bikin saya malu harus makan kata-kata sendiri. Ya mau gimana pun juga, harus ngaku bahwa sejatinya saya sekuper dan se-nggak kenal itu sama lingkungan tempat saya tinggal. Which actually got me thinking, sesuatu yang sempurna itu ternyata membosankan. Karena ketika sesuatu sudah sempurna, ia tidak memiliki ruang untuk diisi oleh hal lain. Dalam hal kosan ini, dengan berada di kamar rasanya sudah sangat sempurna sehingga saya tidak perlu pergi keluar untuk mencari ini-itu. Ujung-ujungnya, saya jadi sangat kesepian seperti sekarang ini. And now you know, menjadi sempurna se-membosankan itu.

Meskipun ada satu-dua yang saya kenal, namun mereka sibuk dengan urusan mereka di kamar mereka masing-masing. Kosan saya bagaikan sebuah dunia, dan pintu-pintu kamar penghuninya adalah gerbang menuju dunia-dunia lain yang lebih besar--entah bagaimana. Kadang timbul suatu keberanian untuk mengetuk pintu, sekedar untuk mengajak makan malam atau berangkat bersama. Namun, tepat didepan pintu itu niat saya menciut. "Kalau mereka nggak sibuk, pasti pintunya kebuka dong..". Jadi, seringkali niat itu saya urungkan dan I ended up being a slight loner. Kemana-mana sendirian. Dan by the way, Jojo dan Nana (teman yang berhasil dekat, sebenarnya) sekarang sudah pindah kosan. Meninggalkan saya yang semakin sendirian. Namun apa daya, itu adalah hak mereka. Mungkin mereka mencari tempat lain yang lebih tidak sempurna. Mungkin mereka ingin jadi pelengkap ketidaksempurnaan itu. Atau mungkin alasan lainnya, saya tidak tahu.

Jadi, haruskah saya berlari mencari ketidaksempurnaan juga? Bagaimana menurut kalian?