Jadi, hai lagi, Kamu. Biasanya kita jumpa di tulisan saja,
ya. Menjadi terasa aneh ketika akhirnya harus bertegur sapa. Canggung, mungkin
itu kata yang tepat. Malu-malu kau palingkan wajahmu, dan aku hanya duduk
disana. Menyimak, menikmati keindahan sesaat.
Meski gelap, meski gemuruh. Kemudian muncul kabar dari seorang teman
lama. Waktu pun kutipu demi membacanya. Meski mahal kesempatan ini kubeli. Sedetik
selanjutnya, aku tersipu sendiri mengeja kata. Adakah kau saksikan? Adakah kau
rasakan?
Getar itu.
Nyata meski malu-malu.
Bagai sosok yang pergi, lalu minta dikejar.
Sesederhana itu.
Kamu adalah, bahasa kentara yang takkan kuterjemahkan.
Kubiarkan menari-nari, bergejolak liar menggerayangi tubuhku. Kau ‘kan lihat
resahmu sirna, sedang bahagia dan dosa tiada bedanya. Kau ‘kan temui
Aku
di celah waktu penuh harimu,
bersamanya.
Aku pun bahagia, dengan sederhana. Sebab akulah yang pernah
kau sambangi ketika dunia beranjak membosankan. Ketika berlari melelahkan, dan
ketika hidup hanya menuai peluh. Dapatlah kiranya aku ini kedai kecil di tepi
jalan bagi seorang perantau yang kelelahan. Dan dapatlah kiranya kita ini,
adalah malam yang kau curi, yang berakhir pada percakapan singkat-singkat, juga
secangkir kopi. Hangat. Hingga sanggup dirasa jantungmu.
Begitu seterusnya.
Cukup lama hingga kau sadari aku hanya semu dan sementara.
Empat, Dua Ribu Lima Belas