29.11.15

Aleika Mencinta




Lagi, tentang cinta yang selalu rumit.

Sekali lagi, Tuhan mengirimkan malaikat dengan kantung-kantung pikiran tersampir di kedua pundaknya. Malaikat itu akhirnya kuketahui bernama Aleika. Ia menyuruhku memanggilnya Leika. Sebelumnya, kukira ia hanyalah manusia biasa sebab dari perawakan, pakaian, dan caranya memperlakukan sesama, ia benar-benar sangat seperti manusia. Sudah lama aku berteman dengannya, sudah hampir empat tahun ini. Waktu mendewasakan raga dan juga persahabatan yang kami miliki, semakin baik setiap harinya. Dan jujur saja, sejauh ini, persahabatanku dengan Leika merupakan persahabatan terbaik dan terideal yang pernah kumiliki sepanjang usiaku. Kami bertukar banyak cerita melalui setiap isapan kopi dan susu jahe hangat. Namun bukan itu yang terpenting. Dari cerita itu, kami berpendapat. Dan dengan berpendapat, kami saling meminjamkan dunia yang kami miliki. Begitu hangat dan ringan secara bersamaan. Saat-saat bersama Leika merupakan waktu yang sangat kuhargai. Bersamanya, aku lupa tentang ocehan lelaki basa-basi untuk dituliskan di buku nikahku kelak. Bersamanya, yang ada hanya sekarang, aku dan dia. Bersamanya, tidak ada yang namanya pura-pura, dan hidup ini indah begini adanya. Bersamanya, adalah sempurna. Selama kurang lebih empat tahun ini, begitulah persahabatan kami berlangsung.

Malam itu, tidak seperti biasanya, Leika memintaku untuk meluangkan waktu sebentar. Ia bilang bahwa ia ingin bercerita tentang segala hal yang memberatkan hatinya. Tak pernah aku melihat Leika segusar itu selama ini. Ia hampir tak pernah memohon untuk meminta bantuan. Seluruh hidupnya ia habiskan untuk memberi. Ia selalu nampak sebagai pria yang keasyikan bermain di dunia fantasinya hingga sering lupa diri, lupa rumah. Namun kali ini sepertinya ia lelah bermain dan ingin pulang, barangkali minta dipijit kaki-kakinya yang lelah.

“Aku ingin kamu mendengarkan ceritaku. Tolong ya luangkan waktumu.” Katanya.

Aku, yang sejujurnya hari itu banyak rencana, segera menanggalkan beberapa demi Leikaku satu-satunya ini. Demi melihat sepatah-dua patah kata darinya, demi mendengar dia mengeluh untuk kedua kalinya, setelah keluhan pertamanya saat masih jadi mahasiswa baru dulu.

“Aku nggak jadi pergi, buruan cerita.”
“Ah oke aku selebrasi dulu.”

Yah, itulah Leikaku. Entah apa yang dimaksudnya dengan selebrasi, yang jelas ia meninggalkanku dan membuatku menunggu selama kurang lebih lima menit sebelum pesannya selanjutnya menggetarkan ponselku.

“Hei, aku bingung mulai dari mana.” Entahlah. Hari ini Leika aneh sekali. Ia tidak pernah bingung sebelumnya.
“Dari awal lah.” Sahutku kemudian yang…tentu saja. Ayolah.

Dan selanjutnya yang aku tahu, ia bercerita tentang Alena. Gadis yang sejak lama menarik perhatiannya. Tanpa tedeng aling-aling, ia pun bercerita tentang kegundahannya dan akulah yang harus merenungi tiap kata yang diucapkannya..

“Setelah melalui sebuah rangkaian kontemplasi yang panjang, dengan kesadaran penuh akan rintangan dan halangan yang ada, dengan menyebutkan kemungkinan pesaing yang cukup berat berupa junior tampan dengan mobil mewah, Saya Leika, memutuskan untuk kembali ke jalan perjuangan atas gadis yang selama ini saya tahu saya cinta, yaitu Alena.”

“Saya tidak akan muluk-muluk dalam perjuangan ini mengingat kemungkinan berhasil yang amat kecil. Oleh sebab itu, saya hanya akan melakukan segala upaya terbaik. Contohnya, saya mau berada di sekitar dia ketika dia butuh sesuatu, berusaha menjadi superman dia, meskipun ya…kecil kemungkinan dia melihat saya. Namun saya tidak peduli.”

“Mencintai Alena telah mengubah hidup saya menjadi lebih baik, demikian kepribadian saya sebagai seorang pria, telah menjadi lebih baik pula. Dengan mencintai Alena, saya mulai mengurangi segala kebiasaan buruk saya.”

“Memang jika dibandingkan dengan junior tersebut, saya terlihat tidak ada apa-apanya. Namun saya berpikir demikian, oke, ada junior yang tinggi, besar, good looking, bawa mobil dan keren. Namun kita tidak tahu apakah dia memberi segala yang dia punya untuk Ale. Semisal dia punya lima apel, apakah dia akan ngasih kelima-limanya untuk Ale? Sebab yang saya tahu, saya cuma punya dua, namun semuanya saya kasih untuk Ale. Demikian analoginya.”

“Mawar yang dia kasih ke saya setelah kami berdansa malam itu, saya simpan baik-baik di kamar saya. Meski layu, akan saya rawat mawar itu. Akan saya kasih ke dia lagi suatu hari ketika saya jujur. Bunganya, dia tanyakan ada dimana. Dan saya jawab bahwa bunganya hilang, padahal aslinya saya bawa pulang dan saya rawat. Saya ganti airnya setiap hari. Dengan mawar yang saya curi itu saya ingin menunjukkan pada Ale bahwa meski kita nggak bisa melawan ketentuan alam, saya tetap bisa merawatnya. Tidak saya buang begitu saja, karena saya tahu ada sesuatu yang spesial di dalam ketidakmungkinan yang patut diperjuangkan itu. Persis seperti keadaan Ale dan saya sekarang ini.”

“Dan dengan demikian cinta saya terhadap Ale tulus, tanpa pernah saya harapkan balasannya. Dengan mencintai Ale saya percaya bahwa cinta itu menguatkan. Tidak pernah saya marah karena hal receh-receh, saya malas sakit hati lagi. Saya hanya ingin lakukan semua yang saya bisa untuk bikin Ale bahagia. Saya melakuakan semuanya untuk Ale tanpa karena.”

“Memang terlihat picisan, namun persetan! Saya tidak pernah jatuh sedalam ini. Sekian.”


Malam itu, aku melihat Leika sebagai seorang yang berbeda. Aku memuji diriku sendiri karena telah menjadi seorang yang setia, melihat Leika tumbuh menjadi seorang pria sejati yang sanggup mencintai seseorang tanpa karena. Tiga tahun lalu, Leika masih suka merengek soal kekasihnya yang lalu, yang kini sudah mulai mencinta lagi. Sedang ia merana mencari seseorang untuk dicinta lagi. Enam bulan lalu, melalui sesapan kopi dan susu jahe hangat di malam yang dingin bekas hujan, akhirnya Leika mengajukan sebuah nama. Nama itu adalah Alena. Nama yang sanggup menenggelamkan seluruh hatinya hingga jatuh sedalam-dalamnya.

Malam itu, Leika menerapkan konsep mencintai yang selalu kami agung-agungkan di hari-hari lalu. Konsep yang menjadi dasar tolok ukur bagaimana manusia seharusnya mencintai. Konsep yang membuat kami berani mati daripada menjalani hidup dengan cinta ala-ala.

Selama ini, Leika kira aku yang akan lebih dulu menemui pria itu. Namun kamu salah, Leika. Nyatanya, kamu duluan yang menemukan gadis itu. You little lucky bastard. You who loves with all your flaws, proudly. Selamat mencintai, Leika. Ale adalah wanita paling beruntung karena dicintai oleh orang seperti kamu. Kuharap, Tuhan menyisakan satu Leika lagi di belahan bumi manapun khusus untukku.

Sebab aku bisa, dan aku ingin, mencintai seperti Leika.




26.11.15

Siapkah kau 'tuk jatuh cinta lagi?

Aku teringat lagi sama kata-katanya seorang senior, dulu dulu banget waktu aku tanya sudahkah ia jatuh cinta lagi. Jawabannya sederhana, dan intinya begini:

"Belum. Aku emang naksir cewek berkali-kali, naksir yang tipis-tipis aja. Tapi rasanya belum ada yang bisa bikin aku tenggelam, truly madly deeply fall for her. Susah banget ya nyari cewek yang kaya gitu. Sering tuh udah banyak yang tahu, terus nyuruh aku macarin doi, tapi entah kenapa rasanya selalu ada sesuatu yang menghalangi. Rasanya selalu ada sesuatu yang kurang, dan biasanya karena aku ngerasa my fall wasn't deep enough and she deserves more than that."

Hmm, and now it gets me thinking.
Apakah harus sedalam itu untuk bisa dibilang cinta?
Jika ya, sedalam apa kita harus cinta?
Kapan kita tahu bahwa kita sudah sampai cukup dalam untuk bisa cinta?



Kan, seringkali kita terlalu nyaman sama seseorang. Kamu tahu bahwa kamu suka sama dia, tapi kalau mau dibilang sayang...rasanya nggak juga. Kamu cuma senang aja sama hidup dia yang warna-warni, dan kamu ingin untuk terlibat jadi salah satu warna itu. Sering waktu main, kalian tiba-tiba larut dalam deep insightful conversation upon something dan berujung berantem sampe besok paginya. Sering juga kamu ngabarin dia kamu lagi apa, lagi sibuk apa, nemenin dia pergi kemana-mana berdua, solve almost everything together, video call each other for hours and just randomly send picture of each other's doing whenever you guys are away...dan ketika ada yang tanya "Emang buat apa?" kamu juga merasa susah untuk menjawabnya. Dia jelas diluar tanggung jawab kamu, dan bukan orang seharusnya untuk dikasih kabar. But anyway, you just feel right to do so. Dan sekali lagi, untuk dibilang sayang apalagi cinta, rasanya nggak juga.

Maka sampai batas apa kedalaman itu bisa diukur? Karena di sini kamu jadi sadar, bahwa kamu dan dia sedangkal itu.

Tapi ketika kamu pakai penjelasan 'feels right to do so', will depth matter anymore? And even if it's far from deep, won't you refuse it when some other people claim it's never been meaningful to you? Well, you decide. Maybe love should indeed be deep and shallow at once.




Aku belum bisa menyimpulkan.



25.11.15

Berhati-hati dengan sudut pandang



Alkisah, seorang wanita hidup sengsara. Suaminya tak lagi mencintainya. Mereka hidup secara terpisah. Di sisi wanita itu hanya ada anaknya, muara segala harap yang ia tempa sehari-harinya. Tanpa keluh, tanpa alpa. Berharap suatu hari sang anak bakal tumbuh lebih manusiawi daripada bapaknya.

Suatu hari, sang suami ingin bertemu anaknya. Alih-alih mengetuk pintu dengan sopan, lelaki ini menggedor-gedor pintu rumah sang wanita. Wanita ini jadi bimbang: di satu sisi, ia ingin membiarkan anaknya merasakan kasih sayang seorang bapak; namun di sisi lain, bapak ini bukanlah bapak yang diharapkannya untuk mengasuh anaknya. Ia kebingungan di balik pintu, mondar-mandir berusaha menyembunyikan si anak ini dari bapaknya. Kepanikan yang terjadi di rumah kontrakan yang tidak besar itu menarik perhatian warga sekitar. Berbondong-bondong mereka datang, hanya menyaksikan umpatan kemarahan sang suami terhadap istrinya juga anaknya. (Selanjutnya, ketika para tetangga tersebut diberikan pertanyaan terkait keengganan mereka untuk melerai pasangan tersebut, mereka menjawab "Biarin, kan emang bapaknya.")

Di tengah saat wanita itu memberikan penjelasan kepada anaknya, lelaki ini telah berhasil mendobrak pintu rumah si wanita. Pendobrakan selesai, kemudian pukulan bertubi-tubi hinggap di wajah cantik si wanita. Peristiwa tersebut disaksikan oleh sang anak. Dan setelah puas menyerang sang wanita, lelaki itu pergi membawa sang anak, meninggalkan sang wanita yang tak berdaya.

Selang beberapa minggu kemudian, wanita tersebut dikabarkan meninggal. Di tangan lelaki yang dulunya ia sebut suami, yang dulunya seharusnya ia cintai. Semenjak itu, kontrakan tersebut sepi. Si anak dan lelaki biadab itu tak pernah lagi datang mengunjungi.


***


Seseorang lain kemudian bercerita bahwa "Ada seorang wanita yang tewas dibunuh suaminya karena tidak menurut." -- yang mana hal itu mengajariku banyak hal soal perspektif. Soal betapa mudahnya manusia mengobrak-abrik cerita, mengubur detil-detil yang ada, dan membuatnya menarik untuk diceritakan kepada orang lain. Betapa mudahnya manusia menutup-nutupi fakta sehingga menjadikannya kebohongan yang dengan mudahnya disebarluaskan. Kebohongan yang selanjutnya diamini oleh orang lain--yang tentu akan membuat kebohongan lain yang lebih spektakuler dari kebohongan yang telah ada--yang kemudian diteruskan kepada orang-orang lain.

Lies. Inherited lies.

Lihatlah. Betapa mudahnya manusia mengubah korban menjadi tersangka. Hanya karena sudut pandang, fakta jadi opini dan opini jadi fakta.
Ketika pernyataan seorang saksi termasuk dalam daftar valid pencarian bukti, akankah saksi itu menceritakan yang sesungguhnya? Ya, menurut saksi itu. Sebab ia merasa melihat semuanya. Namun tidak, menurut sang wanita malang. Wanita itu tidak menurut karena suatu alasan, dan dengan tidak menurut seharusnya tidak menjadikan ia pantas untuk dibunuh.
Akankah saksi itu sama saja seperti kebanyakan manusia: gagal melihat dari sudut yang berbeda? Tentu saja. Karena mata cuma dua, dan biasanya, keduanya sudah puas melihat satu versi cerita saja.

Setidaknya, jika memang tidak benar-benar mengerti, jangan buat versimu sendiri.
Jangan sembarangan mempersingkat cerita, biasanya yang dipersingkat itu tidak apa adanya.



Terinspirasi dari kuliah Ibu Julia Suleeman, 23 November 2015

24.11.15

Semudah itu, Rindu




Aku hobi memendam perasaan. Aku sendiri sempat kesulitan ketika dia bertanya sejatinya aku ini punya perasaan atau tidak: apa aku tidak tertekan, atau berusaha menutup-nutupi bahwa sebenarnya aku tertekan? Nampaknya, aku sudah terlalu terbiasa menyublimasi semua repressed feelings hingga tidak tahu lagi rimba dari perasaan itu sendiri itu apa, atau bagaimana seharusnya perasaan tersebut dieskpresikan. Aku seringkali terlalu asyik bermain peran 'gadis bahagia', sehingga selalu terlihat tidak apa-apa.

Namun malam ini perasaan itu datang lagi, lebih kuat dari yang sebelumnya. Rasa yang lama sudah tidak kuucapkan--bahkan cenderung kuhindari sebab memikirkannya sering membuatku lara sendiri. Namun ia datang lagi, dan kali ini tidak bisa kupungkiri.

Rasa itu,
Rindu namanya.

Rindu adalah ketika kamu membuka puluhan folder berisikan foto-foto nggak jelas di laptopmu. Foto-foto sadar kamera berisikan wajah-wajah bahagia, kamu dan seorang yang (sesungguhnya) berusaha kamu lupakan karena terlalu jauh dari jangkauan, dan jalan kalian saling berbeda haluan. Di foto itu, tersirat tawa tulus menandakan kebahagiaan yang amat sangat, bukan pura-pura apalagi ala-ala. Waktu itu, kalian belum tau apa itu sakit hati sehingga hari-hari kalian hanya berisi suka hati. Begitu banyak tawa dan cerita untuk dibagi-bagi, rasanya tidak ada sesuatu pun untuk ditangisi. Waktu itu, yang kamu tahu hanya bahagia. Disitu, kamu tersenyum.

Rindu adalah ketika kamu membuka puluhan folder lain berisikan foto-foto nggak jelas di laptopmu. Foto-foto candid kamu dan seorang lain, candid yang sesungguhnya--dan sekali lagi bukan ala-ala. Wajah menggerutu, wajah sedih, marah, tersipu, yang sengaja kamu intip dari balik kamera. Di dalam foto-foto tersebut, ada ekspresi yang bercerita, tentang perasaan sejujur-jujurnya. Melihatnya membuatmu tercenung lebih lama dari foto-foto sebelumnya, karena kamu mulai mengingat kenapa ekspresi tersebut muncul. Dan kereta ingatan pun berangsur-angsur datang memberikanmu jawabannya, kamu kemudian menertawakan kenaifan kalian waktu itu. Namun setelah kamu amat-amati lagi, semuanya sudah usang sekali, dua ribu dua belas, dua ribu tiga belas, dan setelah itu hampir tak ada lagi. Setelah itu, yang kamu temui hanya fotomu sendiri. Sendiri sekali, tanpa orang lain itu. Dan disitu, kamu mulai meneteskan air mata.

Flashbulb memories. 
The memory of emotionally significant events that people often recall with more accuracy and vivid imagery than everyday events (King, 2014)

"Ada yang membawa hanyut segala sesuatu. Bukan air, tapi waktu."


Dalam doaku sore tadi, aku bercerita pada Tuhan tentang semuanya. Kali ini, aku menangis lebih keras dari yang seharusnya karena the pain is overwhelming. It's intangible. Yet it's inevitable. It's everywhere. Aku bilang sama Tuhan.

"Tuhan, dulu aku punya semuanya. Dulu rasanya hidupku sempurna sekali dengan mereka di sekitarku. Aku dulu nggak kebal perasaan kaya gini. Kalau lagi bawa perasaan ya nangis, kalau lagi seneng banget ya ketawa karena aku tahu ada mereka yang peduli sama aku. Sekarang aku udah gede, Tuhan, makasih banyak untuk umurnya. Tapi kenapa justru mereka Engkau jauhkan dariku, Tuhan? Iya aku percaya bahwa rencana-Mu selalu lebih besar dari milikku, namun rasanya berat gitu lho, Tuhan, buat meng-admit bahwa aku bisa hidup dengan itu. Maaf ya, Tuhan, aku ngeluh melulu, tapi emang berat rasanya dan aku nggak mau bohong sama Tuhan soal ini. Dan Tuhan tahu sendiri bahwa dengan dijauhkannya mereka, aku jadi kayak monster gini. Kenapa justru aku jadi insensitive kaya gini, Tuhan? Masa katanya aku nggak punya perasaan lho, Tuhan, kan nyebelin.
Tuhan, mungkin nggak sih buat mereka berada di sini lagi sama aku? Kalau memang mungkin, dan semuanya kembali, apakah bakal sama seperti yang dulu-dulu?
Suer, Tuhan, lagi kangen banget nggak ketulungan nih. Maaf ya, Tuhan, Ulid mintanya macem-macem...
Tapi kalau emang nggak mungkin banget, aku mau minta mereka dikasih kesehatan aja, Tuhan. Aku berdoa setulus-tulusnya juga semoga mereka selalu semangat kuliah, dan tujuan kuliahnya tercapai. Oh iya, semoga mereka selalu dikelilingi orang-orang yang sayang sama mereka, seenggaknya sesayang aku sama mereka. Kalau kadar sayang orang-orangnya masih dibawahku, udah jauhin aja, Tuhan. Aku nggak mau banget mereka dapet cinta kualitas KW. Titip mereka ya, Tuhan. Makasih banyak, I love you."



Sejujurnya, konseptualisasi waktu telah merugikan banyak orang. Banyak sekali yang menyatakan kutukan terhadapnya karena sifatnya yang selalu bergerak maju tak peduli apa yang ditinggalkannya. Aku, tak terkecuali, telah mengutukinya berkali-kali.
Dan segera, aku menginginkan semua yang dicuri waktu. Aku iri pada waktu yang bisa membawa hanyut segala sesuatu yang berhamburan ke segala arah dan di saat bersamaan bisa mengikutinya satu-satu, tanpa terlewatkan. Aku iri karena waktu selalu tahu, selalu mengiringi kamu.





Aku iri karena waktu,
meninggalkan aku
dalam rindu
semudah
itu.



Sedang kita,
tak kunjung bertemu.

16.11.15

When you try your best but you don't succeed

"Kamu itu, kita semua ini sudah terlanjur didoktrin bahwa jika kamu nangis maka kamu lemah. Padahal memang sakit kok, masa nggak boleh nangis. Relakanlah endorfin-mu jika memang sudah waktunya."

Katanya Mas Eko, yang selalu kuingat-ingat di kepala.





Karena aku mahasiswa yang baik, maka kuturuti perkataannya.
Dan menangislah aku sekarang.

13.11.15

A fiction comes true: a blessing or a curse?


This time, we would talk about fiction. So, how many of you loves fictional stories? Tell me how interesting they are, tell me how it thrills you out imagining something impossible to happen in real life. And how many of you have tried making your own version of fiction? For those who raise your hands, well I did too, long ago. It was such fun, I know. But you'll see the fun is no longer when that fiction slowly slips through your wish and prayers and eventually comes true. The fun is no longer knowing that, now that the thing is real, it looks creepy and weird even to see it around. It is right there now, right under your nose like how a reality should be. 

Awalnya sih cuma iseng. I happened to have this period of spare time and tried to think of something to be written. Aku memikirkan sesuatu yang kelihatannya sangat mustahil mengingat kemungkinan untuk terjadi dalam ruang dan waktu yang kutentukan tersebut amat sangat sedikit. Waktu itu, tempatnya bahkan fiksional sekali. Setting tempatnya di sini, dan waktu itu tempat ini masih hanyalah angan-angan belaka. Kemudian, subjeknya, adalah kamu.

Kamu yang saat itu hanya kuketahui namanya tanpa tahu asal-usulnya. Kamu yang sering bertemu denganku, always dying to talk to me, but chose to be silent. Kamu yang aku sama sekali nggak kenali. Hanya nama, dan hanya keping-keping cerita tentangmu yang kudapat entah dari teman atau akun-akun media sosialmu yang sengaja aku stalk for the sake of curiosity. And then I found you were so mysteriously interesting and you know I like mysterious people. Jadi, berbekal pengetahuanku yang demikian miskin, I started to write about you. Typed it, saved it, re-read it occasionally, and that's all. I never expect anything, not a single thing about the story to become true someday.

But then, reality hit me hard on my face. There was a time when I had to literally move my little self on and get a prosperous life. There was a time when I had to move out from that city, and going back to my hometown--means I couldn't have any chance to see you twice a week just like I used to. Means I had to leave you, for my own good. It was quite sad, actually, but I didn't take it seriously. And so I packed my stuffs and making new possibilities for myself to achieve. I even forgot about that story, that fiction, and even you. And that was just okay, I had nothing to lose.

I continued living my life cheerfully. Being ambitious, full of dreams, being a role figure of every motivational books. Fed myself with books like literally 24/7, had a boring life for months (I have to admit), and it was still okay. But, you know what? Everytime I get bored, I always look up to my notes, find that fiction, quickly reading it, and somehow it makes me re-energized. It became my source of power whenever I get down. My crazy thoughts of you, somehow, they keep me sane. Then slowly, that fiction became addictive to me. I read and read and read it all over again and get strengths in some ridiculous ways I couldn't explain. And soon, away from consciousness, you slip into my wishes. Between my cries on my night prayers, under my pillow when I was about to dream, a vague layer beneath a reason of my aim. Maybe because I got engaged to it, maybe because I spent much more time than I did reading that fiction. Maybe, I've just proven the proverb "bisa karena terbiasa" on this case. I just don't have a proper explanation about how unconsciousness can take lead of our behaviors.


Months passed by, clarity happened. I was no longer a sad girl stuck in the circle of boredom. I was happy and free, but eventually, shocked to death. Knowing that the fiction were revealed, transformed into reality, and you too. It was not just it, not only the subjects, not only the places I've set, but also the circumstances and every conversation that we have. It somehow makes me feel like it's meant to be, like we were destined to be met. 

Am I a good writer or a bad writer, a good person or a bad person, for having this chance of seeing a wish being granted by Her Maker?

I got lost in words, I lost my compass on how to behave toward this granted wish because you are just so...unreal to me. You must have still been in my notes, being that person I imagined, not physically exist and engage with me in my daily basis. You got me on hard times coping with everything surrounds me. Indeed, this situation is unreal. But you, making it even harder to believe! You eventually being the reason I keep afraid that all of these are just dreams on a long-sweet-night sleep. You eventually are the one who makes me scared of being awaken someday in the future just to realize all these things never happened!

You, are a wish turning into curse really soon.
You, are better off being a fiction.

***
Now here I am, learning the hard way to be very careful when writing a fiction because this phenomenon scares me a little bit to start writing another fiction. It was fun, indeed, to write such things you like and to imagine a certain circumstance of impossibility. But you have to realize that, impossibility is somehow a negation of possibility--which means it's a part of it. You also have heard their tale of this Earth and its people, telling you everything can happen and the best to do is anticipate. My thing finally happened, and I have to work a little harder to cope and fit myself into this kind of a TOTAL weird situation where awkwardness is everywhere and I couldn't help it. 

I also have learned that not every wish is worth wishing. Take a very good care of it because you'll never know whose and which prayers are going to be granted. You may not speak them through words, but God knows every single thought you have in your mind, every single name you silently write on your heart, and every single look you lay on in a blink of an eye. He's watching you all along, so be careful with everything that you do. Get yourself prepared to various surprises lying ahead because, if you are a type of person like me who's basically not fond to surprises, things like these will shake your legs.

God is that great.