Suatu hari, sang suami ingin bertemu anaknya. Alih-alih mengetuk pintu dengan sopan, lelaki ini menggedor-gedor pintu rumah sang wanita. Wanita ini jadi bimbang: di satu sisi, ia ingin membiarkan anaknya merasakan kasih sayang seorang bapak; namun di sisi lain, bapak ini bukanlah bapak yang diharapkannya untuk mengasuh anaknya. Ia kebingungan di balik pintu, mondar-mandir berusaha menyembunyikan si anak ini dari bapaknya. Kepanikan yang terjadi di rumah kontrakan yang tidak besar itu menarik perhatian warga sekitar. Berbondong-bondong mereka datang, hanya menyaksikan umpatan kemarahan sang suami terhadap istrinya juga anaknya. (Selanjutnya, ketika para tetangga tersebut diberikan pertanyaan terkait keengganan mereka untuk melerai pasangan tersebut, mereka menjawab "Biarin, kan emang bapaknya.")
Di tengah saat wanita itu memberikan penjelasan kepada anaknya, lelaki ini telah berhasil mendobrak pintu rumah si wanita. Pendobrakan selesai, kemudian pukulan bertubi-tubi hinggap di wajah cantik si wanita. Peristiwa tersebut disaksikan oleh sang anak. Dan setelah puas menyerang sang wanita, lelaki itu pergi membawa sang anak, meninggalkan sang wanita yang tak berdaya.
Selang beberapa minggu kemudian, wanita tersebut dikabarkan meninggal. Di tangan lelaki yang dulunya ia sebut suami, yang dulunya seharusnya ia cintai. Semenjak itu, kontrakan tersebut sepi. Si anak dan lelaki biadab itu tak pernah lagi datang mengunjungi.
***
Seseorang lain kemudian bercerita bahwa "Ada seorang wanita yang tewas dibunuh suaminya karena tidak menurut." -- yang mana hal itu mengajariku banyak hal soal perspektif. Soal betapa mudahnya manusia mengobrak-abrik cerita, mengubur detil-detil yang ada, dan membuatnya menarik untuk diceritakan kepada orang lain. Betapa mudahnya manusia menutup-nutupi fakta sehingga menjadikannya kebohongan yang dengan mudahnya disebarluaskan. Kebohongan yang selanjutnya diamini oleh orang lain--yang tentu akan membuat kebohongan lain yang lebih spektakuler dari kebohongan yang telah ada--yang kemudian diteruskan kepada orang-orang lain.
Lies. Inherited lies.
Lihatlah. Betapa mudahnya manusia mengubah korban menjadi tersangka. Hanya karena sudut pandang, fakta jadi opini dan opini jadi fakta.
Ketika pernyataan seorang saksi termasuk dalam daftar valid pencarian bukti, akankah saksi itu menceritakan yang sesungguhnya? Ya, menurut saksi itu. Sebab ia merasa melihat semuanya. Namun tidak, menurut sang wanita malang. Wanita itu tidak menurut karena suatu alasan, dan dengan tidak menurut seharusnya tidak menjadikan ia pantas untuk dibunuh.
Akankah saksi itu sama saja seperti kebanyakan manusia: gagal melihat dari sudut yang berbeda? Tentu saja. Karena mata cuma dua, dan biasanya, keduanya sudah puas melihat satu versi cerita saja.
Setidaknya, jika memang tidak benar-benar mengerti, jangan buat versimu sendiri.
Jangan sembarangan mempersingkat cerita, biasanya yang dipersingkat itu tidak apa adanya.
Terinspirasi dari kuliah Ibu Julia Suleeman, 23 November 2015
No comments:
Post a Comment