24.11.15

Semudah itu, Rindu




Aku hobi memendam perasaan. Aku sendiri sempat kesulitan ketika dia bertanya sejatinya aku ini punya perasaan atau tidak: apa aku tidak tertekan, atau berusaha menutup-nutupi bahwa sebenarnya aku tertekan? Nampaknya, aku sudah terlalu terbiasa menyublimasi semua repressed feelings hingga tidak tahu lagi rimba dari perasaan itu sendiri itu apa, atau bagaimana seharusnya perasaan tersebut dieskpresikan. Aku seringkali terlalu asyik bermain peran 'gadis bahagia', sehingga selalu terlihat tidak apa-apa.

Namun malam ini perasaan itu datang lagi, lebih kuat dari yang sebelumnya. Rasa yang lama sudah tidak kuucapkan--bahkan cenderung kuhindari sebab memikirkannya sering membuatku lara sendiri. Namun ia datang lagi, dan kali ini tidak bisa kupungkiri.

Rasa itu,
Rindu namanya.

Rindu adalah ketika kamu membuka puluhan folder berisikan foto-foto nggak jelas di laptopmu. Foto-foto sadar kamera berisikan wajah-wajah bahagia, kamu dan seorang yang (sesungguhnya) berusaha kamu lupakan karena terlalu jauh dari jangkauan, dan jalan kalian saling berbeda haluan. Di foto itu, tersirat tawa tulus menandakan kebahagiaan yang amat sangat, bukan pura-pura apalagi ala-ala. Waktu itu, kalian belum tau apa itu sakit hati sehingga hari-hari kalian hanya berisi suka hati. Begitu banyak tawa dan cerita untuk dibagi-bagi, rasanya tidak ada sesuatu pun untuk ditangisi. Waktu itu, yang kamu tahu hanya bahagia. Disitu, kamu tersenyum.

Rindu adalah ketika kamu membuka puluhan folder lain berisikan foto-foto nggak jelas di laptopmu. Foto-foto candid kamu dan seorang lain, candid yang sesungguhnya--dan sekali lagi bukan ala-ala. Wajah menggerutu, wajah sedih, marah, tersipu, yang sengaja kamu intip dari balik kamera. Di dalam foto-foto tersebut, ada ekspresi yang bercerita, tentang perasaan sejujur-jujurnya. Melihatnya membuatmu tercenung lebih lama dari foto-foto sebelumnya, karena kamu mulai mengingat kenapa ekspresi tersebut muncul. Dan kereta ingatan pun berangsur-angsur datang memberikanmu jawabannya, kamu kemudian menertawakan kenaifan kalian waktu itu. Namun setelah kamu amat-amati lagi, semuanya sudah usang sekali, dua ribu dua belas, dua ribu tiga belas, dan setelah itu hampir tak ada lagi. Setelah itu, yang kamu temui hanya fotomu sendiri. Sendiri sekali, tanpa orang lain itu. Dan disitu, kamu mulai meneteskan air mata.

Flashbulb memories. 
The memory of emotionally significant events that people often recall with more accuracy and vivid imagery than everyday events (King, 2014)

"Ada yang membawa hanyut segala sesuatu. Bukan air, tapi waktu."


Dalam doaku sore tadi, aku bercerita pada Tuhan tentang semuanya. Kali ini, aku menangis lebih keras dari yang seharusnya karena the pain is overwhelming. It's intangible. Yet it's inevitable. It's everywhere. Aku bilang sama Tuhan.

"Tuhan, dulu aku punya semuanya. Dulu rasanya hidupku sempurna sekali dengan mereka di sekitarku. Aku dulu nggak kebal perasaan kaya gini. Kalau lagi bawa perasaan ya nangis, kalau lagi seneng banget ya ketawa karena aku tahu ada mereka yang peduli sama aku. Sekarang aku udah gede, Tuhan, makasih banyak untuk umurnya. Tapi kenapa justru mereka Engkau jauhkan dariku, Tuhan? Iya aku percaya bahwa rencana-Mu selalu lebih besar dari milikku, namun rasanya berat gitu lho, Tuhan, buat meng-admit bahwa aku bisa hidup dengan itu. Maaf ya, Tuhan, aku ngeluh melulu, tapi emang berat rasanya dan aku nggak mau bohong sama Tuhan soal ini. Dan Tuhan tahu sendiri bahwa dengan dijauhkannya mereka, aku jadi kayak monster gini. Kenapa justru aku jadi insensitive kaya gini, Tuhan? Masa katanya aku nggak punya perasaan lho, Tuhan, kan nyebelin.
Tuhan, mungkin nggak sih buat mereka berada di sini lagi sama aku? Kalau memang mungkin, dan semuanya kembali, apakah bakal sama seperti yang dulu-dulu?
Suer, Tuhan, lagi kangen banget nggak ketulungan nih. Maaf ya, Tuhan, Ulid mintanya macem-macem...
Tapi kalau emang nggak mungkin banget, aku mau minta mereka dikasih kesehatan aja, Tuhan. Aku berdoa setulus-tulusnya juga semoga mereka selalu semangat kuliah, dan tujuan kuliahnya tercapai. Oh iya, semoga mereka selalu dikelilingi orang-orang yang sayang sama mereka, seenggaknya sesayang aku sama mereka. Kalau kadar sayang orang-orangnya masih dibawahku, udah jauhin aja, Tuhan. Aku nggak mau banget mereka dapet cinta kualitas KW. Titip mereka ya, Tuhan. Makasih banyak, I love you."



Sejujurnya, konseptualisasi waktu telah merugikan banyak orang. Banyak sekali yang menyatakan kutukan terhadapnya karena sifatnya yang selalu bergerak maju tak peduli apa yang ditinggalkannya. Aku, tak terkecuali, telah mengutukinya berkali-kali.
Dan segera, aku menginginkan semua yang dicuri waktu. Aku iri pada waktu yang bisa membawa hanyut segala sesuatu yang berhamburan ke segala arah dan di saat bersamaan bisa mengikutinya satu-satu, tanpa terlewatkan. Aku iri karena waktu selalu tahu, selalu mengiringi kamu.





Aku iri karena waktu,
meninggalkan aku
dalam rindu
semudah
itu.



Sedang kita,
tak kunjung bertemu.

No comments:

Post a Comment