16.4.14

11.21pm

Selamat tidur, masa kecilku...

Janji Sepotong Lilin



Pernahkah kau mengalami saat dimana kau bertemu seseorang, dan merasa 'dialah orang yang Tuhan maksudkan'?

***

Aku hampir ingin mempertegas kalimatku, hampir juga memperkuat alasanku. Demikian hebatnya keinginanku untuk pergi kesana hingga semua orang bertanya-tanya apa yang sebenarnya kuinginkan.Mungkin kalian juga, apa yang sebenarnya kuinginkan? Jika kalian ingin kejujuran, maka akan kuberikan kebenaran jawaban atas pertanyaan itu.

Kebenaran itu adalah...
Aku. Ingin. Mengejarnya.


Awalnya hanya itu. Alasan bodoh nan konyol ala gadis kecil ingusan yang sok tahu soal agama. Alasan terselubung dibalik 'Aku ingin memperbaiki kehidupanku' yang terpoles manis dan terucap indah didepan semua orang. Yang benar saja, mana mungkin aku mengatakan alasan sebenarnya dimuka umum?! Bukannya tidak masuk akal, itu sangat masuk akal untukku. Tapi aku hanya akan membenci respon mereka, aku akan membenci bagaimana mereka akan menganggap remeh perasaanku yang terlalu besar untuknya saat itu. Rasa yang tidak seharusnya dimiliki seorang gadis kecil. Dia begitu kuidolakan saat itu, bukan karena ketampanannya, atau dia pintar, atau kaya atau apapun. Hanya sekelumit perasaan senang saat aku diperhatikan olehnya atau saat mengetahui dia berada disekitarku. Aku hanya senang saat kita bernyanyi dan saling mengingatkan lirik kelanjutan yang kita lupa, saat tahu kita menyukai group band yang sama, saat kau bersedia membawakanku setumpuk buku untuk kupelajari sebelum lomba, saat aku bisa melihatmu bercanda dibalik rinai hujan di gedung seberang, saat kau menyapaku terlebih dahulu, saat kau menyontek PR Bahasa Inggrisku, dan semua hal-hal kecil yang membangkitkan semangatku. Singkat cerita, kuputuskan untuk mulai menyukaimu dalam diam. Sejak saat itu hidupku berubah, aku menjadi manusia yang lebih baik, jauh lebih baik hingga semua orang terpesona. Bintangku mulai bersinar karena kaulah energinya.

Hitam putih kulewati dan lambat laun perpisahan sudah didepan mata. Perasaanku bilang kau akan pergi jauh dan ternyata memang iya. Aku tidak bisa berpikir bagaimana hidupku selanjutnya saat kau tak lagi ada. Aku mulai jenuh dan sedih dan terus-terusan murung mengetahui bahwa begitu kecil kemungkinan kita akan bertemu lagi. Begitu jauh kau untuk kutemui, nomormu saja tak berani kusimpan. Hingga muncul satu ide gila suatu hari.


Teman, katakanlah kau ingin pergi ke suatu tempat dimana tempat itu sama sekali belum pernah kau kunjungi. Tempat itu begitu asing dan tak ada seorangpun disana yang mengenalmu. Waktu itu belum zamannya smartphone, hanya handphone. Biaya internet masih mahal dan Google Earth hanya bisa diakses di komputer dengan koneksi stabil. Andaikan aku berangkatpun mungkin akan terasa seperti backpacking, tapi 3-6 tahunan lamanya :p Karena benar-benar tak ada sanak saudara atau siapapun disana, karena jika aku benar-benar mengiyakannya aku akan benar-benar hidup sendirian jauh dari siapapun. Dan voila, proposalku ditolak. Membuatku putus asa dan akhirnya disinilah aku berdiri sekarang ini.



Menahun aku menunggu dan menjaga perasaan ini agar tidak luput dari tanganku. Menahun yang terasa selamanya. Menahun kutunggu kata-kata yang merangkum semua, dan kini kuharap ku dimengerti. Bertahun-tahun yang sedikit ngilu tapi menyenangkan, kuhabiskan waktuku mengenali wajah-wajah baru. Mempertahankan sinar bintangku, berusaha bersinar agar dapat kau lihat di langit tempat kau berada saat ini. Aku selalu tahu apa yang menyibukkanmu, entah bagaimana caranya. Aku mengenali wajah teman-teman barumu disana, yang begitu banyak hingga memusingkanku. Aku selalu terjaga hingga larut pada satu malam setiap tahun, berturut-turut, hanya untuk mengucapkan 'selamat ulang tahun' dan berharap kau membaca, bahkan membalasnya. Namun kau disana seakan tak peduli. Semua kulakukan dalam diam. Diam yang kian lama kian membuatku jengah.

Kemudian aku melakukan hal bodoh lainnya, kupalingkan hatiku dan mulai belajar menyukai hal lain. Aku belajar melupakanmu walau harus bertemu ibumu berkali-kali dan harus selalu melewati rumahmu saat aku akan kerumah temanku yang lain. Setelah kulakukan berulang-ulang, ternyata hal itu membunuhku perlahan. Beribu manusia yang kutemui selalu berhasil memesonaku, namun hanya sesaat setelah kemudian aku kembali teringat padamu. Tak peduli siapapun, apapun dan bagaimanapun aku berusaha berpaling, sungaiku selalu kembali bermuara padamu. Aku tak mengerti. Padahal kau tak peduli, oh, malahan kau mungkin sudah melupakanku. Tapi aku tetap saja begini, tetap selalu teringat olehmu yang begitu indah. Tetap selalu meneteskan airmata saat kulihat catatan-catatanmu di layar, betapa aku amat...sangat merindukanmu dan ingin kau berada disekitarku sekali lagi.


Tapi tetaplah waktu yang selanjutnya memberi jawaban. Kau kemudian menghilang begitu saja, dan kemudian kutemukan sedang duduk dibawah pohon dengannya--seseorang yang sangat kukenal. Aku tak mampu berkata-kata, tak mampu menyandingkan diriku dengannya. Segala ketidaksempurnaan itu milikku, dan dia hanyalah sosok yang sangat-sangat dirindukan masa depanmu. Maka patutlah aku berada disini sekarang ini, hanya berdua dengan buku catatanku, bertiga dengan catatan-catatanmu yang sekali lagi membuat mataku basah.


Oh, sosok yang selalu kuinginkan, yang tak pernah sedikitpun kubenci. Yang membawa mimpi dari kening ke sajadah. Yang sempurna dalam tiap kesederhanaannya, yang mencintai dengan sederhana pula. Yang mengajariku untuk dewasa. Karena jika seandainya bisa, aku tak akan menjadi serapuh ini. Jika seandainya bisa, aku tak harus berada disini dan hanya akan berkutat dengan buku-buku suci hingga tiba waktunya aku menemuimu lagi. Pria kecil berjiwa bocah, tetaplah seperti ini. Tetaplah jadi muara pelayaranku. Aku akan selalu singgah padamu sesekali, saat aku bosan atau merasa terlupa dari dunia ini. Tetaplah selalu menuntunku kembali dijalanNya dan tetaplah membuatku menyesal tak sepenuh hati mengejar kepergianmu di masa lalu. Ini aku, janji sepotong lilin yang terbakar habis demi terangmu.


Maulidia


14.4.14

Hubungan Darah Kau dan Hujan

14 April 2014. Lydia Annisa.

Entah mengapa. Saat aku mendengar rintik hujan diluar jendela, aku selalu teringat akan sosokmu. Aku bahkan mulai berpikir, jangan-jangan kau saudaranya hujan. Karena entah mengapa, aku selalu begitu, kontan saja terbukakan kembali lembar-lembar silam saat mendengar hujan,

Mungkin iramanya yang menenangkan. 
Mengejek dan membuat siapapun hanyut akannya. Sebagian ingin bersembunyi sebab takut basah, sebagian memilih sengaja kehujanan. Sebagian malas berpikir hingga tertidur, sebagian lain berdiri di sudut jendela dan mulai menggambari kaca yang mengembun.
Aku ini tujuh belas. Tapi andai bisa, aku mau jadi anak kecil saja. Biar sepenuhnya aku terlepas dari semua omong kosong tentang rasa, biar aku membuat jejak warnaku tanpa pura-pura. Dan ditengah hujan aku akan mulai bernyanyi dan menari bagai putri dilepaskan dari sangkar emasnya. Bahagia tanpa cela.

Dan andai bisa, hujan ini biar selamanya begitu. Mengetuk-ngetuk permukaan hati, meredam bara api dan menemani jiwa-jiwa sepi. Itu saja tak usah ada yang lain, tak usah terhubungkan denganmu.

Walau tiap aku dan kau menjelma dalam tiap bulir hujan yang kerap kali dirindukan bunga-bunga di terasku, aku ingin hujan ini tak begitu. Walau kertas putih kota ini (akhirnya) telah kau goresi tinta biru, aku berharap hujan melunturkannya begitu saja.


Aku ingin melepasmu andai aku bisa. Hingga tak harus lagi aku menggigil ketakutan mengintai badai dibalik selambu, dan hingga aku dikembalikan pada jiwa kecilku yang merindukan tarian dikala hujan. Hingga buliran hujan itu kembali bening…..tak terisi memori apapun, dan siapapun.



13.4.14

Cyberspace creates unreal you

Ding-dong!
Instead of pulling the bell i'd rather scream 'ding-dong' out loud so you could hear who's speaking outside your gate. Been thinking about this while i was waiting for Gumball and suddenly want to spit the words out now.

SO, lately people's been soooo drowned with the wave and everything seems to be nearly effortless to do. We know that our world is digitalized (can't find proper way to say that) that everything is possible in digital world. You just have to choose what you like by clicking it, shouldn't have moved your crossed feet on the way you're sitting now and BOOM! it arrives right in front of you in several days (or maybe faster than that). Well, I'm talking about the social medias that recently getting so damn popular among the societies. How it wholly influences our life to see people and to be seen by people we expect. Everything could happen in just a click, well, actually that's one miserable fact we'll soon understand.


bad influence of fast-paced technology to human beings

Socmeds removes the spaces, boundaries, obstacles and whatever takes people apart right away. It's amazing how you could talk to someone in the other side of the earth freely by your smartphones (that now seems to be the primary need of everyone, which implies if you have no smartphones or at least twitter or fb or instagram then you must live in the ice age). Can you imagine if internet connections, smartphones, or LINE, or WhatsApp were invented earlier in 1940s? It would be so much better that we don't need to waste our money doing such wars. Or if we're in the war, we could've won easily because we don't use telegram to talk to people which means there'll be less misunderstandings. Send direct messages to the other soldiers and even PING him/her if it's really urgent, group-chatting on WeChat about the tactic and strategy to bet the opposition, post the latest city condition via Instagram and even adding some filters to make it look outstanding, shop for AK-47 on the eBay, and so on. But sadly, social medias were found later in the 21st century, which gave huge impacts since then.

Nowadays, people just like getting on a race to register theirselves in as much socmeds as he can because they think the more socmeds, the more fellas, the more supporters, and the more you get known by people. Human beings are hungry of attention and this is where socmeds take big role in fulfilling it. Socmeds provide all of the facilities we expect in each of our interest. Photography, journalism, economic, politics, games, and so on. All of us with smartphone, internet connection, we could be the best in our sphere because socmeds anyway have given us a new way of competing with the others, only the range is being widened to the people throughout the world. Some of us take advantage of it, but some of us aren't. Maybe to them it's a good thing showing their cute faces so that people would start to chime in how pretty you are. But alas, I'm not that kind of person. I like taking pictures, but post my pictures eventually, because i think it would be a discomfort to my followers that they'd say 'why the hell do i have to see your face all the time'-things.

Nevertheless, still related to racing on socmeds, people started to race about how well-tech their devices are. Well, to me it's useless putting yourself on such kind of racing, why? Because technology keeps moving on as well as our life getting more complicated. Since technology invented for a more efficient life of human beings, somehow it removes our burdens little by little. But still, we should not label ourselves outdated if we have no latest type of Galaxy or even iPhone. And this is to be my problem living among people with their desires to always have the newest type of smartphones with well-equipped front camera and even monopod (in Indonesia known as TONGSIS), again, to distribute their power of cuteness with the caption 'good morning :)' on Instagram. To me, that's pretty embarassing. Some people out there suffer of malnutrition and here what you do is just wasting your money having such device you don't even understand how it works.
It's better for us having gadgets properly, i mean here gadgets that fulfill our needs in our occupations or daily livings, not to have them just to be known by 'the girl with the iPhone 5' and so on. Knowing that our country is not able to produce those gadgets yet (still not yet, but soon it will), which means that the more we buy branded gadgets it also increases the import rate of our country. And it's no good news.


But, the worst thing of all. Socmeds are medias to show the other side of someone, maybe the untold one. To some bunch of people it's a good news, but to some others taken it wrong.  Me myself, i take it as a good news since i'm not good in storytelling and i'm tight-lipped and an anxiety dork and whatever i'm no good at real life, i show it through social media. I think that's why everyone keeps on telling me 'is this really you?' or 'you can't be the one posted this' because I'm being a-rather-rude-and-a-bit-radical me on socmeds. Sorry.

The other people would start to abuse the power of socmed itself. I mean, how can people who is literally 'quiet' on the real life could be so noisy on the socmeds?! It's like we have to know what they're doing right now, like the Earth has to know that you're taking shower on the bathroom, you're eating salad on the most expensive restaurant on town and sooo on. It's normal doing it sometimes, BUT NOT ALL THE TIME. Just a reminder that not all of your followers really want to follow you, i mean, following behind your back everywhere you go. Some of them just curious dweebs who only want to be stalkers of your life. If so, then let them be, but never let your privacy being threatened because you share way TOO MUCH on an unreal world that they will possibly think the unthinkable of us, making wrong perceptions which soon create misunderstandings. Because nobody would be responsible of it, nobody but you. Well, we don't want this to happen.



Sooo, teenagers why don't we start to be a bit wiser?
Using socmeds properly means taking care of ourselves, our privacy aaand doing it won't hurt anybody. Don't let the technology break our personalities down, take the advantages it provides, once again properly, and you'll really get helped. Don't let anybody hate you, don't let me hate you :p

Hitam Putih Kita

Akhirnya, setelah merangkai titik-titik lain, kita sampai di titik ini. Dimana kita saling bersitatap, memandangi lekat satu sama lain dan mencari sesuatu untuk dibanggakan. 

Giliranku. Rambut itu kembali memanjang setelah berkali-kali dicukur, dan kau terlihat sama seperti saat pertama kali kita bertemu dulu. Mata itu sudah banyak berubah sejak pertama kali kuajak bicara, bagai dua bintang kembar terambil cahayanya, tak lagi menerangi malam-malamku. Mungkin terlalu banyak terjaga dan kurang tidur. Dua lesung pipit itu masih disana, masih selalu setia membuat tawanya lebih enak dilihat orang. Aku akan selalu ingat kode lesung pipit itu, kalau ditunjukkan sebelah, berarti pemiliknya sedang tak begitu ingin bercanda. Kalau ditunjukkan keduanya, berarti pemiliknya sedang ingin melemahkan iman wanita. Tapi kalau tak ditunjukkan sama sekali, berarti pemiliknya sedang siap membakar kota. Kemudian bahunya, masih kurus seperti orang kekurangan gizi, yang sepertinya bukan tempat nyaman untuk bersandar. Seakan hal paling bagus adalah melihat kedua bahu itu ditutupi jaket yang kebetulan tak pernah mau lepas darinya. Namun aku ingat betapa sering aku menggunakan bahu itu untuk memanggilnya...hanya untuk melihatnya menoleh ke belakang, untukku. Aku ingat betapa aku pernah berharap kedua bahu itu akan menjadi pelindungku, kemudian aku terhenyak. Kaki-kaki itu juga masih sama, sepatu yang ia kenakan juga masih sama. Sepasang sepatu yang selalu menemaninya saat ia bermain di jalanan, diatas panggung, dan juga sepatu yang menemaninya berlari dari kenyataan..denganku. Kemudian aku berbalik menatapnya, dan aku sadar apa yang kulewatkan. Caranya menatapku.

Giliranmu. Aku tak pernah tahu apa yang terlintas di pikiranmu saat kau menatapku, apakah aku masih jadi ‘gadis itu’?. Sebab yang aku tahu hanyalah kita tak saling mengenal lagi. Dan kau, juga aku hanyalah orang lain saat ini. Kita tak lagi saling merindukan, tak lagi saling menelepon, saling bertegur sapa, atau apapun. Hanya salah satu, mungkin aku atau kamu saja, itupun kadang-kadang. Aku begitu menyadari bahwa mungkin aku yang seperti ini, jiwaku yang menua ini telah mudah lelah hingga tertinggal jauh dibelakangmu. Dulu kita mulai berlari di start yang sama dan mulai saling mengerti sejak saat itu. Bodohnya, waktu itu kita berlari pakai penutup mata.

"Kalau kamu jatuh bilang ya, aku bakal bantu kamu berdiri" katamu sesaat sesudah penutup mata itu terpasang melingkari pelipis kita. Aku bahkan merasakan kau tersenyum saat itu. Kita berpegangan tangan, kemudian mulai berlari.


Awalnya semua begitu menyenangkan saat itu.Kita hanya melambatkan langkah sesekali dan mulai berbicara tentang apapun. Soal mata ditutup pun kita merasa itu bukanlah masalah, sebab kita tak usah melihat orang lain lagi hanya hatimu dan hatiku yang sudah saling mengenal, saling memiliki satu sama lain tanpa cela tanpa dera. Saat kita merindu, kita hanya harus membayangkan wajah satu sama lain tersenyum, kemudian kembali berenergi untuk terus berlari. Semuanya indah saat itu. Semua pit-stop terasa begitu mudah dilewati dan dunia hanyalah setitik abu dibawah kaki-kaki kita. Rodaku melaju kencang dan berada dibawah pun tak begitu terasa, karena kamu terus-terusan menguatkanku. Kuakui, aku begitu mencintaimu saat itu, dan mungkin sudah buta akan semuanya.

Namun seiring berjalannya waktu, kau dan aku pun terus bertumbuh. Kita mulai lelah, dan mulai saling tak peduli. Tak saling berbicara lagi karena kita tahu itu hanya akan buang-buang tenaga. Aku mulai merasa semua ini tak ada gunanya, semua ini tak ada ujungnya.....oh, danbahkan aku mulai mencari ujung jalan ini. Lingkaran itu terasa menjemukan dan aku sudah ingin berjalan disatu garis lurus, diantara A dan B saja dimana aku akan segera membuka mata dan melihatmu lagi. Kita menua kian harinya, dan masih tak mendapat jawaban tentang apa yang sebenarnya kita perjuangkan. Kita mulai menyalahkan satu sama lain, bertengkar, saling acuh-tak acuh, saling merasa diri paling benar, dan saling menguras energi...berharap salah satu dari kita akan kehabisan daya dan mati duluan hingga akhirnya maraton ini ada klimaks, atau mungkin endingnya. Membenci dan terus mencari kesalahan, itulah yang setiap hari kita lakukan. Kau mulai jemu membimbingku dan mulai berpikir mencari objek lain untuk dibahagiakan. Hingga suatu hari kita sadar semua ini penuh keterpaksaan dan kepura-puraan. Seberapa keras kita mencoba, tak akan ada hasilnya. Dan akhirnya, aku jatuh tersungkur, tak meminta bantuanmu lagi. Aku membiarkanmu terus berlari sendiri karena aku yakin kau lebih kuat dariku dan bahkan kau bisa hidup seribu tahun lagi tanpa bantuan siapapun termasuk diriku.

Namun pada akhirnya, aku sadar kau akan sangat kesepian...dan aku telah terlanjur tak berdaya.
Ha, mungkin memang benar bahwa segala sesuatu selalu terlihat indah pada awalnya.  



Kini kita berdiri saling berhadapan, dan yang kau lakukan hanyalah diam, tersenyum dengan dua lesung pipit menawan, kemudian menunduk.

“I’m sorry” katamu.
“Not your fault,” aku membalasnya dengan tersenyum, pahit. “It’s ours.”



 “The only way out of the labyrinth of suffering is to forgive.” 


***
Sudahlah akui saja. Seindah apapun alasan yang kamu buat untuk mengakhiri suatu hubungan, sebaik apapun itu, namun pasti ada satu kata yang enggan kamu sebutkan dengan dalih untuk tidak mengecewakan pihak lain. Kata itu adalah bosan. Karena jika kamu bosan, maka kamu akan menganggap semua yang dia lakukan biasa saja, semua hal yang ia perjuangkan tidak penting (kamu berpikir ‘bahkan aku bisa melakukannya sendiri kalau aku mau’), dan yang terburuk...kamu akan mulai mencari seseorang yang tidak membosankan.

Memang ini salahku dan dia, dia datang saat aku bosan dengan apa yang aku miliki, dan dia meninggalkanku saat aku sudah terlalu membosankan baginya.
Namun ini jadi salah satu hal yang akhirnya kusesali, mungkin juga dia. Karena semua yang pernah kita lalui sarat dengan kesesaatan. Semua terjadi begitu cepat tanpa sempat didokumentasikan, hingga akhirnya ia berakhir tanpa pesan..tak bisa dikejar lagi. Dan sesal itu ada karena sesuatu yang kita lewatkan, “Kenapa aku tidak melakukannya?”, “Seharusnya aku bisa lebih baik dari itu..”. Namun apa yang bisa kamu lakukan saat sesal itu datang? Tidak ada kecuali kata maaf. Seakan berapapun kamu mencoba untuk menyusun kembali puing-puing ceritamu, seseorang itu bukanlah dia yang dulu. Begitupun kamu, kamu bukanlah kamu yang dulu. Menyadari bahwa sejak awal kalian adalah kesalahan, yang menunggu untuk terjadi. Sebuah bencana yang sudah diramalkan tanpa tindakan pencegahan.

Begitupun aku, semua kenangan itu berputar di kepalaku seperti kaset rusak. Bermain berulang-ulang seakan ingin membolak-bailkkan hatiku. Betapa kita telah jauh terombang-ambing ditengah lautan, memandang hari-hari, melawan badai, lelah bertahan hingga akhirnya tenggelam perlahan. Jujur aku tak ingin semua cerita ini memiliki ujung, aku ingin kita berjalan diatas lingkaran dalam keabadian. Namun kita tak bisa begitu, bagaimanapun kita ini manusiawi. Aku terlalu naif, berpikiran bahwa kamu bagai malaikat jatuh yang menunggu untuk diselamatkan. Parahnya aku lupa kamu juga manusia dengan segala kemanusiawiannya. Kita terus saja berangan tentang apa yang akan kita lakukan di masa depan. Betapa indahnya dunia saat itu, yang seakan hanya milik kita berdua. Namun percayalah kawan, semua hal memang indah pada awalnya dan berubah jadi bencana tidak pada waktunya. Jadi kurasa, kita harus mulai membuka hati dan pikiran selebar-lebarnya. Bersiap untuk segala kemungkinan. Karena jika kamu berani mencintai, maka harus berani patah hati. Kalau tak berani, berarti kamu tidak siap akan kemungkinan terburuk yang bisa datang kapan saja. Dan jika kamu tidak siap dengan kemungkinan terburuk, maka kamu juga tidak akan siap untuk melupakan. Dan jika kamu tidak siap melupakan, maka kamu akan menjadi manusia stagnan. And being stagnant won't take you anywhere but left behind in the past when everyone's being so damn selfish feeding their curiousities.






This world is not a wish-granting factory.

When you gotta stop scrolling your eyes to the other words

"May I see you again?" he asked. There was an endearing nervousness in his voice.

I smiled. "Sure."

"Tomorrow?" he asked.

"Patience, grasshopper," I counseled. "You don't want to seem overeager. 

"Right, that's why I said tomorrow," he said. "I want to see you again tonight. But I'm willing to wait all night and much of tomorrow." I rolled my eyes. "I'm serious," he said. 

"You don't even know me," I said. I grabbed the book from the center console. "How about I call you when I finish this?"

"But you don't even have my phone number," he said.

"I strongly suspect you wrote it in this book." 

He broke out into that goofy smile. "And you say we don't know each other.”