30.4.15

Tercengang-cengang.
Beritahu aku jika ada kata yang lebih pantas.

27.4.15

Di batas doa

Tentang menarik batas, memisah dua dunia. Semoga kamu tidak pernah menyadari bahwa hal itu salah. Seluruhnya. Bahwa batas membuat kita selalu berdiri di tempat yang berbeda. Yang paling menyedihkan, kita telah selalu saling berkebalikan. Jika aku disini maka kau di sisi lainnya. Seperti depan-belakang, seperti gelap-terang. Mengerikan.

Tuhan, aku masih berharap Engkau mengingat doaku waktu itu. Tentang mimpi-mimpi yang sempat tertunda, tentang janji yang belum terlaksana.

Izinkan kurapal sekali lagi, Tuhan. Tentang betapa aku akan selalu mengagumi hidupnya yang bukan untukku. Betapa ia akan selalu jadi seseorang itu, yang membangunkanku ketika hujan semakin menderas. Yang terbangun sendirian di pagi buta, asyik menceritakan mimpi-mimpiku padaMu dan merengek agar Kau mengabulkannya sedang untuk mimpinya sendiri ia lupa cerita saking asyiknya.

Kuharap,
Setiap nafasnya, degup jantungnya, langkah gugupnya, selalu diiringi cahaya. Ia tahu, ia selalu tahu aku sanggup merasa..meski enggan bicara.

Kuharap, kamu tidak mendengarnya.
Aku malu
pada diriku.

-R

24.4.15

Beri aku jeda

Merataplah. Tentang betapa menyedihkannya manusia ketika dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang sama-sama memabukkan. Haha, aku mengerti bagaimana rasanya terjebak diantara dua kata. Beberapa kali pernah aku kesana. Karena aku peduli terhadapmu, maka saranku mulailah berlari. Sebab tak bisa kau miliki keduanya. Kau tak bisa bolak-balik pulang pergi dari neraka ke surga. Atau dari surga ke neraka. Anggap saja segitiga ini berakhir, diurai menjadi selurus garis saja. Agak sadis, agak melankolis. Namun memang ini adanya,
Jangan bilang aku tidak pernah memperingatkanmu. Sekali lagi, berlarilah. Berlarilah sekuat tenagamu. Sebelum kau hancur dan menganggap aku sebagai penghancur, karena pada dasarnya aku memang berpotensi jadi penghancur. Sebelum 'Kau' dalam sajak-sajak sedihmu tertuju padaku. Sebelum aku datang dan mengharuskanmu untuk memilih. Bukan dua, tapi satu. Dan harus aku.




Jadi, sampai dimana kita?




23.4.15

Waktu harus jadi pecundang

Ketika berjalan, saya tinggalkan dibalik punggung banyak sekali pertanyaan. Ditinggalkan pun dengan alasan: tidak ada yang sanggup menjawab. Tidak juga waktu. Seringkali saya mencemooh waktu hingga lelah sendiri. Waktu telah mengkhianati saya dalam berbagai perjanjian. Dimana ia menjanjikan kebenaran, dan pembuktian. Pada intinya, Waktu menawarkan saya hal manis yakni fakta--sesuatu yang tak sanggup disangkal dan dielak. Namun tak hanya sekali Waktu membuat saya terlihat bak pecundang. Waktu begitu egois dan sok tahu dan sok pintar. "Biarlah Waktu yang menjawab." hanya omong kosong. Selama ini saya percaya pada Waktu dan jalan yang kami lalui tidak membawa kami kemanapun. Biarlah, saya telah muak menunggu. Saya akan berjalan duluan, balik mengkhianati Waktu. Akan saya balaskan dendam saya, Waktu harus jadi pecundang--abu kremasi dibawah kaki kaki saya. Saya sendiri yang akan menjawab sekian pertanyaan yang tak sanggup ia jawab. Waktu terlalu bodoh. Sebab pertanyaan saya terlalu sederhana: mengapa?

4.4.15

Surat surat dari malaikat

Sampaikah padamu surat surat itu? Gurat gurat lirih yang kulukis-kubayang di muka jemari. Lalu kulayangkan ke udara dini hari. Kala itu aku hanya mampu menuliskanmu rima sederhana. Sederhana yang sulit kuucap dengan bersuara. Sebab suara membuai air di mata 'tuk jatuh, meski pelan pelan dan sepi sekali. Dan maka aku diam. Bersembunyi dalam bayang, hanya untuk menemui kamu. Hanya untuk berbisik lirih dalam jarak, untuk "Hai" yang menyatukan lagi puing puing rasa dan mempertajam siluetku meski sementara. Sampai kau mampu melihat, bayang hitam tempat malaikatmu bercermin, berbunga-bunga. Bersemi tak tahu musim apa. Merapal tak tahu lelah "Semoga kau bahagia".