Duduk berdua, berhadapan. Diatas kursi plastik merah dibalik jendela. Matahari sedang meninggi, sinarnya malu-malu menembus kaca dibelakang tubuh kami. Aku menatap lagi wajahmu yang nampak selalu basah terbasuh wudhu, kemudian berpikir.
Betapa bahagianya Ia. Perasaan-perasaan itu selalu berkecamuk tiap kali kita bersitatap seperti ini, antara bahagia mengenalmu dan juga ego untuk pelan-pelan menusukmu dari belakang.
Andai aku tega. Kemudian, lagi, kembali dengan percakapan bertopik usang--kita, tentu saja, dan orang-orang yang seharusnya berada di sekitar kita saat ini. Tentang kapan kita
semestinya bertemu lagi, buku yang belum kukembalikan, dan
Ia--yang hanya padamu kuketahui kabarnya.
Satu, sejujurnya aku tidak ingin bertemu terlalu sering denganmu karena percakapan-percakapan itu menenggelamkanku, memaksaku untuk tahu diri dengan siapa aku berurusan. Aku lelah membandingkan diri denganmu yang selalu luar biasa. Semua yang kuucap selalu terbata-bata saking aku memantaskan diri untuk berbicara denganmu. Lihatlah, serendah hati inilah aku berusaha selama ini.
Dua, buku yang masih kupinjam...bahkan belum sempat kubaca. Aku tiba-tiba berpikir, jangan-jangan buku itu kau jadikan alasan untuk menemuiku. Dan meskipun aku telah menyadarinya, entah kenapa, buku itu masih tak kukembalikan juga. Bukankah aku ini menghindar dari bahagia?
Ketiga, Ia. Tertawalah padaku. Betapa seluruh pikiran dan tangan ini cepat-cepat ingin membahasnya. Bahkan aku mulai berkeringat saat ini. Dengan nada serendah mungkin, kuberanikan diri untuk memulai. Bagaimana dengannya? Kamu menatapku sejenak. Matamu berbinar, seperti yang sudah kuduga. "Kami masih saling menghubungi. Sayang sekali saat itu tidak ada waktu untuk bertemu. Padahal, kami berada di satu kawasan.". Aku diam menyimpulkan. "Kamu tidak perlu mengkhawatirkan kami.".
Siapa bilang kamu boleh menyebut 'kami' di depanku? Sekuat hati aku berusaha agar kalimat lancang itu tidak terlontar dari mulutku. Yang kutanyakan hanya Dia, jangan sekali-kali kau atasnamakan Dia sebagai bagian dari 'kami'mu. Cukup. Aku tidak tahan lagi.
Kuakhiri percakapan pagi itu dengan senyuman, sebagai pengecut yang amat sangat bahagia. Aku bahagia kamu tidak menyadari kepalsuan apapun yang kubuat.
Alhamdulillah. Kalian baik-baik, ya.
Kamu menjabat tanganku dan berpamitan. Kubukakan pagar rumahku untuk kesekian kalinya, untuk seorang sahabat yang--jauh di lubuk hatiku--ingin kusingkirkan.
Hati-hati di jalan, ya. Sampai bertemu lagi.
Mobilmu melaju pergi. Semakin kecil hingga tak terlihat lagi. Aku sangat bahagia hari itu. Aku telah mengorbankan diriku sendiri, dan seseorang...oh tidak, sepasang sahabatku, berbahagia karenanya.