28.7.15

Diamku bukan emas

Diabaikan. Dinomorduakan. Dikesampingkan. Tidak diajak bicara. Dimarah-marahi. Kadang merasa tidak diakui. Tidak dibutuhkan. Tidak terlalu berarti. Dan merasa bahwa jika tak ada pun mereka masih sangat lengkap dan bahagia.

Andai dia tahu bahwa semua yang dia lakukan sering membuatku merasa semakin kecil dan tidak berguna seperti saat ini. Dan di saat-saat seperti ini, ketika aku sangat marah seperti ini, yang aku mampu hanya diam, berpaling menjauh, dan menangis perlahan ketika kubasuh wajahku dengan air wudhu. Sedangkan ia, ia membanting segala sesuatu, mulai mengurutkan kekuranganku, seakan aku tidak pernah melakukan apapun untuknya. Padahal aku...aku yang setiap hari di sisinya, yang mendengarkan cerita-cerita tidak pentingnya, yang bersedia menemaninya, membantunya menyelesaikan hampir semua pekerjaan kecil, yang selalu menyisipkan namanya dalam doa sholat fardhuku, yang selalu mengutamakannya, yang selalu.....

Sudahlah. Masih banyak yang bisa kusyukuri. Mungkin benar bahwa kadang penderitaan orang lain menjadi hiburan bagi kita, untuk merasa lebih tinggi dari sesamanya.

25.7.15

At some points things seem so intriguing. About how parallel have we been yet we've been holding on the concept of a single-layered world. But think about it, how would you explain the fact that someone might be sitting on a bench in a park while his mind wanders--sneaking in my backyard? Would you believe me if I told you there's plenty of 'us'es inside us like mes in me?

21.7.15

Bahagia adalah saat kau simpulkan bahwa "Itu tidak menyakitkan."

Duduk berdua, berhadapan. Diatas kursi plastik merah dibalik jendela. Matahari sedang meninggi, sinarnya malu-malu menembus kaca dibelakang tubuh kami. Aku menatap lagi wajahmu yang nampak selalu basah terbasuh wudhu, kemudian berpikir. Betapa bahagianya Ia. Perasaan-perasaan itu selalu berkecamuk tiap kali kita bersitatap seperti ini, antara bahagia mengenalmu dan juga ego untuk pelan-pelan menusukmu dari belakang. Andai aku tega. Kemudian, lagi, kembali dengan percakapan bertopik usang--kita, tentu saja, dan orang-orang yang seharusnya berada di sekitar kita saat ini. Tentang kapan kita semestinya  bertemu lagi, buku yang belum kukembalikan, dan Ia--yang hanya padamu kuketahui kabarnya.

Satu, sejujurnya aku tidak ingin bertemu terlalu sering denganmu karena percakapan-percakapan itu menenggelamkanku, memaksaku untuk tahu diri dengan siapa aku berurusan. Aku lelah membandingkan diri denganmu yang selalu luar biasa. Semua yang kuucap selalu terbata-bata saking aku memantaskan diri untuk berbicara denganmu. Lihatlah, serendah hati inilah aku berusaha selama ini.

Dua, buku yang masih kupinjam...bahkan belum sempat kubaca. Aku tiba-tiba berpikir, jangan-jangan buku itu kau jadikan alasan untuk menemuiku. Dan meskipun aku telah menyadarinya, entah kenapa, buku itu masih tak kukembalikan juga. Bukankah aku ini menghindar dari bahagia?

Ketiga, Ia. Tertawalah padaku. Betapa seluruh pikiran dan tangan ini cepat-cepat ingin membahasnya. Bahkan aku mulai berkeringat saat ini. Dengan nada serendah mungkin, kuberanikan diri untuk memulai. Bagaimana dengannya? Kamu menatapku sejenak. Matamu berbinar, seperti yang sudah kuduga. "Kami masih saling menghubungi. Sayang sekali saat itu tidak ada waktu untuk bertemu. Padahal, kami berada di satu kawasan.". Aku diam menyimpulkan. "Kamu tidak perlu mengkhawatirkan kami.".


Siapa bilang kamu boleh menyebut 'kami' di depanku? Sekuat hati aku berusaha agar kalimat lancang itu tidak terlontar dari mulutku. Yang kutanyakan hanya Dia, jangan sekali-kali kau atasnamakan Dia sebagai bagian dari 'kami'mu. Cukup. Aku tidak tahan lagi.

Kuakhiri percakapan pagi itu dengan senyuman, sebagai pengecut yang amat sangat bahagia. Aku bahagia kamu tidak menyadari kepalsuan apapun yang kubuat.

Alhamdulillah. Kalian baik-baik, ya.

Kamu menjabat tanganku dan berpamitan. Kubukakan pagar rumahku untuk kesekian kalinya, untuk seorang sahabat yang--jauh di lubuk hatiku--ingin kusingkirkan.

Hati-hati di jalan, ya. Sampai bertemu lagi.

Mobilmu melaju pergi. Semakin kecil hingga tak terlihat lagi. Aku sangat bahagia hari itu. Aku telah mengorbankan diriku sendiri, dan seseorang...oh tidak, sepasang sahabatku, berbahagia karenanya.

20.7.15

Tidak semua yang kamu baca adalah kamu. Tidak semua yang kamu baca adalah bukan kamu. Karena seperti halnya aku dalam kehidupanmu, kamu hanyalah seorang pemeran dari segelintir pemeran lain. Kamu tidak memikirkan aku saja, dan kamu juga bukan satu-satunya yang kutuliskan. Aku menulis tentang banyak hal, manusia, dan tentang hatiku sendiri yang (sejujurnya) belum sepenuhnya kukenali. Jika kamu sedang membaca, kumohon, membacalah saja. Jangan berpikir semua ini semata-mata untukmu, atas namamu, dan semua 'kamu' atau 'dia' tertuju padamu. Sebab ini duniaku, selamat datang. Disini akan kamu temukan orang-orang yang kukenal sedekat nadi maupun orang-orang yang tidak pernah kuharapkan untuk datang. Sekali lagi, orang-orang. Hidupku bukan hanya kamu, seperti hidupmu yang bukan hanya aku. Kuharap kamu tidak memaksakan diri menjadi pemeran utama dalam skenarioku.
Aku tidak punya pemeran utama. Semuanya sama, semuanya memberikan pengaruh dalam ceritaku baik jangka panjang ataupun pendek. Yang jelas saat ini aku hanya tidak tahu kamu termasuk golongan mana. Jadi, membacalah saja tanpa merasa sedang diadili.

16.7.15

Di sela gema takbir

Tiga tahun sudah kita lewati malam seperti ini. Saat itu, saat kemarin dan saat ini tidak berubah. Segalanya masih sama. Kamu dan aku di ruang semu, dengan percakapan-percakapan singkat yang enggan untuk kita akhiri. Yang berbeda hanyalah, kita yang tiap harinya menjadi semakin dewasa. Kadang semakin mudah tersinggung. Namun satu hal yang kusyukuri, aku sudah mengenalmu sejauh ini. Haha. Kamu yang dulunya sangat jauh dari genggaman dan pandangan. Lihatlah betapa Waktu sudah membesarkan kita dengan cara yang tidak biasa. Bukan melalui suka, namun lebih melalui lara. Lara yang membuat kita selalu berhubungan kembali, untuk sekedar menanyakan 'Gimana?' atau 'Kenapa?'. Aku juga nggak tahu. Padahal kamu kayak gitu, aku masih kayak gini. Semuanya stagnan pada tempatnya. Nggak pernah pindah kemana mana. Tapi anehnya, aku menyukainya. Kita berdua menyukainya, bukan?
Haha. Aneh sekali.

Hmm. Tahu nggak? Aku hanya akan berharap satu tahun lagi (dan semoga satu tahun-satu tahun yang lainnya), seperti doamu, semoga kita masih akan bertemu lagi. Di ruang yang sama. Membagi cerita. Tawa. Dan semuanya.

Bukankah aku sudah mempertaruhkan segalanya? Tidakkah itu cukup untukmu melihatnya?

Sebab yang kuinginkan sederhana, hanya sepucuk pesan "Mohon maaf lahir batin ya" darimu. Dan lagi, percakapan-percakapan singkat. Dan malam yang terasa amat panjang. Yang selalu enggan kita akhiri.

Semoga keinginanku tidak terlalu tinggi.
Selamat tiga tahun malam lebaran bersama :)

4.7.15

Dua ribu tiga belas

Yang menciptakan dua hal: jarak dan ruang permanen.
Jaraknya sih nggak masalah, ruangnya juga. Yang jadi masalah adalah permanennya. Karena permanen berarti abadi, dan keabadian itu nyatanya sekarang menjerumuskan. Jarak dan ruang itu kini menjelma menjadi jurang. Menganga diantara kita. Dengan dua mulut, disana dan disini tanpa ada yang menjembatani.

Dan Ya Tuhan, kamu..
kamu tega-tega saja kita seperti ini.