Satu, sejujurnya aku tidak ingin bertemu terlalu sering denganmu karena percakapan-percakapan itu menenggelamkanku, memaksaku untuk tahu diri dengan siapa aku berurusan. Aku lelah membandingkan diri denganmu yang selalu luar biasa. Semua yang kuucap selalu terbata-bata saking aku memantaskan diri untuk berbicara denganmu. Lihatlah, serendah hati inilah aku berusaha selama ini.
Dua, buku yang masih kupinjam...bahkan belum sempat kubaca. Aku tiba-tiba berpikir, jangan-jangan buku itu kau jadikan alasan untuk menemuiku. Dan meskipun aku telah menyadarinya, entah kenapa, buku itu masih tak kukembalikan juga. Bukankah aku ini menghindar dari bahagia?
Ketiga, Ia. Tertawalah padaku. Betapa seluruh pikiran dan tangan ini cepat-cepat ingin membahasnya. Bahkan aku mulai berkeringat saat ini. Dengan nada serendah mungkin, kuberanikan diri untuk memulai. Bagaimana dengannya? Kamu menatapku sejenak. Matamu berbinar, seperti yang sudah kuduga. "Kami masih saling menghubungi. Sayang sekali saat itu tidak ada waktu untuk bertemu. Padahal, kami berada di satu kawasan.". Aku diam menyimpulkan. "Kamu tidak perlu mengkhawatirkan kami.".
Siapa bilang kamu boleh menyebut 'kami' di depanku? Sekuat hati aku berusaha agar kalimat lancang itu tidak terlontar dari mulutku. Yang kutanyakan hanya Dia, jangan sekali-kali kau atasnamakan Dia sebagai bagian dari 'kami'mu. Cukup. Aku tidak tahan lagi.
Kuakhiri percakapan pagi itu dengan senyuman, sebagai pengecut yang amat sangat bahagia. Aku bahagia kamu tidak menyadari kepalsuan apapun yang kubuat.
Alhamdulillah. Kalian baik-baik, ya.
Kamu menjabat tanganku dan berpamitan. Kubukakan pagar rumahku untuk kesekian kalinya, untuk seorang sahabat yang--jauh di lubuk hatiku--ingin kusingkirkan.
Hati-hati di jalan, ya. Sampai bertemu lagi.
Mobilmu melaju pergi. Semakin kecil hingga tak terlihat lagi. Aku sangat bahagia hari itu. Aku telah mengorbankan diriku sendiri, dan seseorang...oh tidak, sepasang sahabatku, berbahagia karenanya.