Jadi, senja waktu itu seperti senja terburuk. Senja yang tak indah seperti
semestinya. Senja yang kehilangan jingganya. Rea masih menunduk, membekap
wajahnya di pundak Megan. Serentetan kisah berputar satu demi satu di
kepalanya, bagai film tua yang kusut. Semuanya berkecamuk di dalam pikirannya,
buram dan berserakan. Rea tidak tahu dari mana dulu dia memulai, ia juga lebih
tidak tahu bagaimana caranya untuk
berhenti disana, saat itu juga.
“Ya Tuhan.. Ya Tuhan..”
kata-kata itu terus terucap dari mulutnya tanpa henti, senada dengan titik air
yang terlalu sulit untuk jatuh dari kedua bola matanya.
“Rea.. Maafin aku..” Megan
memeluk Rea yang mematung sedari tadi. Sementara itu separuh roh Rea melayang
entah kemana, hilang, kosong melompong tanpa isi. “Bukan salah kamu, Meg. Bukan
salah kamu. Aku yang salah, aku yang bodoh, aku yang buta, tuli..”
“Enggak, Rea.” Megan kembali
memeluknya. Kemudian Rea segera bangun dan menggamit tasnya serta membereskan
barang-barang yang tadi dikeluarkannya.
“Aku pulang dulu, Meg.”
“Rea! Kamu mau kemana?”
“Aku butuh sendiri dulu.
Makasih ya buat semuanya. Hari ini indah banget buat aku!” kata Rea sambil
tersenyum—yang tentu saja dipaksakan—kedua matanya berkaca-kaca.
Kemudian ia melaju motornya
dengan kencang. Meninggalkan Megan, yang sedikit menyesali dirinya atas semua
yang terjadi hari itu.
***
Sudah setahun sejak
peristiwa Rea duduk 12 jam tanpa bicara sedikitpun dengan seseorang yang berada
tepat disampingnya. Dan Rea juga tidak tahu bagaimana Adam, orang itu bisa
menemukannya di dunia seluas ini. Kini senyum manis menghiasi wajah Rea, dan Adam-lah
alasannya. Getaran yang menghampiri ponselnya belakangan ini semakin gencar.
Rea memandangi layar ponselnya, sebentar-sebentar tersenyum oleh candaan kecil
yang Adam buat.
Lama sekali Rea tidak
merasakan getaran-getaran seperti ini. Seakan hatinya telah mati untuk
merasakan suka terhadap lelaki. Rea adalah cewek tomboy yang menyukai basket,
memiliki selera tinggi soal cowok, suka memakai pakaian cowok dan benci
berdandan. Dan soal jatuh cinta...mungkin Rea tidak begitu peduli tentang hal
semacam itu. Dia merasa perlu di-training
habis-habisan soal cinta. Dan bagaimana sosok satu ini membuatnya merasakan
getaran itu lagi, Rea belum tahu, mungkin juga tidak mau tahu. Rea bahkan tidak
tahu bagaimana cara mengatakan bahwa dia menyukainya.
“Tapi kamu suka, kan, sama
dia?” tanya Karin suatu hari.
“Kamu ini apaan sih?!
Sekarang kamu bayangin ya, aku, sama dia, beda kota. Aku nggak bisa lihat dia
setiap hari. Nggak bisa tahu dia sekarang lagi apa, sama siapa, gimana
kabarnya..”
“Emang kalau kita suka sama
seseorang, jarak itu berarti ya?”
“Banyak ngomong kamu. Udah
ya aku basket dulu. Bye!” potong Rea
sembari mengencangkan tali sepatunya dan beranjak pergi.
“Hati-hati, Re!” sahut Karin
dari kejauhan.
Dan gadis itu selalu menjauh
dari apa yang seharusnya dia miliki.
***
Rea dan Karin sedang berkumpul di
kamar Megan. Esoknya mereka akan ulangan Bahasa Jepang. Bukan kabar baik,
tentunya. Berjam-jam berlalu dengan tanpa suara ketika selanjutnya..
“AAAAAARGH!”
“Re, kenapa?!” tanya Karin
dan Megan hampir bersamaan.
“Mm-hmm” Rea menggeleng
sambil memegangi lututnya. Dia terlihat gemas dengan dirinya sendiri sampai
membekap mulutnya erat. Namun Karin dan Megan tahu anak itu menyembunyikan
sesuatu.
“Re..” Megan mendekat ke
hadapan Rea, disusul dengan Karin. “Kalian ngapain sih, hah?” tanya Rea yang
merasa aneh dengan perlakuan dua sahabatnya itu.
“Ada yang kamu sembunyiin
dari kita.” Karin menatap mata Rea dengan tajam.
“Apaan? Enggak!”
“Iya. Ada yang kamu
sembunyiin. Mata kamu nggak bisa bohongin kita, Re. Kamu tahu itu..” todong
Megan selanjutnya.
“Aaaa.. Tapi aku.. Uhh.. Sebenarnya..”
“Kenapa? Cerita dong.. Aku
kepo nih!” ucap Megan memelas.
“Kamu ditembak?”
“Hah, beneran kamu
ditembak?”
“Mmm...”
“Re..”
“Aaaa... Aku bingung kenapa
bisa kaya gini.. Semua ini cepet banget buat aku!”
“AAAA!!” teriak Megan dan Karin
bersamaan.
“Kok jadi kalian yang heboh
sih?! Uhh, aku harus gimana dong?”
“Ya teri..”
“Nggak bisa Meg!” potong Rea
cepat. “Belum bisa..”
“Kenapa?” tanya Karin
kemudian.
“Aku juga nggak tahu kenapa.
Seperti ada sesuatu yang nyegah aku buat kesana..”
Pernyataan itu disambut
keheningan yang menyelimuti seisi kamar Megan. Karin dan Megan juga sama
khawatirnya dengan Rea. Di satu sisi, mereka bahagia akhirnya ada seseorang
yang mampu menerima Rea dengan tulus. Namun di sisi lain, kekhawatiran akan
lelaki buaya juga masih belum bisa
mereka elak. Mereka takut akhir dari cerita Rea dan Adam tak sejalan dengan
harapan.
“Mungkin lebih baik nggak
aku jawab dulu..”
***
Dua bulan berlalu, Rea dan
Adam masih seperti dulu. Dua orang yang saling suka namun terperangkap dalam hubungan
‘bukan apa-apa’. Rea masih takut mengambil keputusan, entah mengapa seperti ada
sesuatu yang membisikinya untuk berkata tidak pada Adam. Rea selalu menghindar
dari pertanyaan itu. Ia membiarkan kalimat itu menghantuinya setiap saat, tanpa
ia mau mencari jawabnya. Karin dan Megan pun telah letih meyakinkannya untuk
membuka hati bagi Adam, mereka tahu betul Rea adalah si kepala batu. Terlalu
sulit mengubah argumen yang dimilikinya. Sementara bagi Megan ataupun
Karin...Adam pun masih seperti orang lain, tentu saja, mereka tidak pernah
bertemu. Sekolah adam berada 40 kilometer jauhnya dari tempat Rea tinggal saat
ini. Hanya cerita Rea lah yang membuat Megan dan Karin tak lagi asing di
kehidupan Adam. Dan hanya Rea yang tahu apa yang seharusnya ia lakukan.
Megan dan Karin tak pernah
begitu tahu bagaimana Adam memperlakukan Rea selama ini. Hingga pada suatu sore
yang gerimis, Megan dan Rea baru saja turun dari bis. Perjalanan dari Kota
Pramanegara—kota asal Megan, Karin dan Rea—ke Kota Purabaya memakan waktu satu
jam lamanya.
“Tadi dia SMS aku. Alay banget tahu, Meg.”
“Alay gimana? Coba aku lihat.”
Baru kali ini Rea
mengizinkan Megan membaca pesan dari Adam untuk Rea. Terlihat kira-kira 3 pages pesan teks berisi puisi yang
indah. Kalimatnya begitu rapi, penuh makna, dan menyiratkan kekaguman di tiap
baitnya. Megan merasakan haru oleh lelaki tak dikenal yang ternyata begitu
tulus terhadap sahabatnya. Dan puisi itu berakhir dengan kalimat “Aku sayang
kamu, Re :)”
Megan akhirnya yakin orang
ini ditakdirkan untuk Rea. Cepat-cepat ia memberitahu Karin akan hal ini.
***
“Re, aku mau ngomong sesuatu
sama kamu.”
“Apa Meg? Aku nggak denger!”
Rea mendekatkan telinganya ke Megan. Kemudian Megan menambah volume suaranya.
“Nanti aku mau ngomong sama
kamu!”
“Iya ngomong aja nggak
apa-apa..”
“Tapi aku nggak mau disini.
Ini penting. Menyangkut hidup dan mati kamu, Re.”
“Alay kamu, Meg. Iya deh,
kemana? Ke Mister Juice, ya? Habis
ini? Oke?”
“Uhh.. Iya oke.” Jawab Megan
pasrah. Rea bahkan tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya. Rea dan
Megan serta Linda, teman sekolahnya sedang menonton pertandingan tim basket
sekolahnya, SMA Merah Putih, melawan SMA dari kota tetangga. Megan paham
sekali, Rea jika dipertemukan dengan pertandingan basket, pasti sudah lupa
diri, lupa makan, lupa tidur. Maka dari itu Megan memilih mengajaknya bicara
diluar pertandingan basket saja.
“Yuk, Meg! Jadi nggak nih
kita rapat menyangkut hidup dan matiku?”
“Umm.. Hehe.. Jadi dong!
Kita berangkat sekarang ya. Aku ambil motor dulu.”
Mereka berdua kemudian
segera sampai di Mister Juice. Megan
telah siap memulai dengan jus jambunya, sedangkan Rea masih sibuk dengan jus
melonnya.
“Mau ngomongin apa sih, Meg?
Serius banget..” tanya Rea sambil sibuk mengaduk-aduk gelas jus melonnya.
“Aku bingung harus mulai
dari mana..” tiba-tiba raut Megan menjadi serius. Megan menunduk, menghela
nafas. Dan bersiap mengatakan hal terpahit pada sahabat yang paling
dicintainya.
“Kenapa sih?” akhirnya Rea
memperhatikan Megan.
“Kamu..sama Adam..udah
sejauh mana?”
“Mm.. Aku belum jadian kok.
Kenapa?”
“Serius? Kok kemarin aku
lihat..”
“Enggak. Aku nggak jadian.
Kenapa, Meg?” potong Rea cepat. Megan menatap Rea dan menggenggam tangannya,
perlahan.
“Jangan diterusin, Re.”
Megan tersenyum, dipaksakan.
“Tapi..kenapa?” Rea kembali
menatap Megan—orang yang tidak tahu harus menjawab pertanyaan itu dengan
kalimat dan tenaga apa lagi. Megan begitu tahu Rea sudah jatuh untuk orang itu.
Dan yang kini harus dihadapi Rea hanya...entahlah. Hari mulai senja. Langit
menggelap dan lampu-lampu jalanan mulai saling berkedip. Namun entah mengapa,
suasana disana seakan beku dan sunyi, seakan hanya tersisa suara Megan dan Rea
saja. “Dia udah punya pacar?”
Kalimat itu terasa seperti
bom di hati Megan. Harusnya dia mengangguk. Tapi dia hanya terdiam, tak
melakukan apa-apa. Megan hanya bisa tersenyum, dan memegang pundak Rea. “Apa
aku pernah cerita kalau Widy, temenku SMP, pernah deket sama Adam?”
Rea hanya mengangguk, menahan
airmata yang ingin jatuh dari pelupuk matanya.
“Aku tadi ketemu Widy. Dia
tanya apa Rea lagi deket sama Adam? Terus aku jawab iya. Pikirku, mungkin Adam
cerita ke Widy. Terus Widy bilang, ini gawat. Aku tanya kenapa, terus dia
bilang...selama ini..” Megan mengumpulkan nafasnya. “Adam udah sama orang
lain.”
“Siapa orang itu, Meg? Aku
harus tahu.” dengan pasrah Rea masih memberanikan diri menanyakan hal itu pada
Megan.
“Namanya Maya. Alina Fitri
Mayasanti, satu sekolah sama dia.” Jawab Megan dengan berat hati. Ia tak tahu
betapa hancur hati Rea akan hal ini. Namun Megan berpikir lebih baik Rea tahu
kebenaran, walau pahit. Daripada Megan harus melihat Rea tertawa dalam
kebahagiaan yang palsu.
“Ya Tuhan.. Ya Tuhan..”
kata-kata itu terus terucap dari mulutnya tanpa henti, senada dengan titik air
yang terlalu sulit untuk jatuh dari kedua bola matanya.
“Rea.. Maafin aku..” Megan
memeluk Rea yang mematung sedari tadi. Sementara itu separuh roh Rea melayang
entah kemana, hilang, kosong melompong tanpa isi. “Bukan salah kamu, Meg. Bukan
salah kamu. Aku yang salah, aku yang bodoh, aku yang buta, tuli..”
“Enggak, Rea.” Megan kembali
memeluknya. Kemudian Rea segera bangun dan menggamit tasnya serta membereskan
barang-barang yang tadi dikeluarkannya.
“Aku pulang dulu, Meg.”
“Rea! Kamu mau kemana?”
“Aku butuh sendiri dulu.
Makasih ya buat semuanya. Hari ini indah banget buat aku!” kata Rea sambil
tersenyum—yang tentu saja dipaksakan—kedua matanya berkaca-kaca.
Kemudian ia melaju motornya
dengan kencang. Meninggalkan Megan, yang sedikit menyesali dirinya atas semua
yang terjadi hari itu.
“Terima kasih ya, Mas Aktor. Aktingnya bagus sekali, segera bikin film
aja :)”
Begitu kata Rea di akun
twitternya.
Karin segera tahu akan hal
ini. Namun baik Karin dan Megan, mereka sama-sama tidak tahu harus bagaimana
mengerti keadaan Rea sekarang. Karena mereka tahu kekhawatiran Rea selama ini
baru saja terbukti. Membiarkannya sendirian sebentar mungkin lebih baik. Rea
butuh itu. Setidaknya untuk saat ini.
***
Diatas ranjang di kamarnya, Rea
membolak-balik gitar kecil yang ada di tangannya. Dan berpikir sejauh mana ia
telah berjalan. Dua minggu sudah ia menjalin hubungan dengan Yodi—seseorang
yang sebenarnya selama ini selalu menunggunya. Namun mungkin ia masih terlalu
sibuk menelusuri puzzle Adam, sampai
ia melupakan apa yang ternyata sudah dipersiapkan Tuhan untuknya. Yodi adalah
lelaki baik, tampan, dan pintar memainkan gitar. Memang tipikal cowok idaman. Rea
membawa semua kenangannya dengan Adam, membungkusnya rapat-rapat, dan
membuangnya bersama Yodi. Ia sudah menganggap dirinya bahagia, tanpa Adam. Karena
semenjak peristiwa senja itu Adam memutuskan untuk pergi dari kehidupan Rea,
karena ia sadar semakin ia menyayangi Rea, yang ada ia hanya menyakiti
orang-orang yang sama sekali tak ingin ia sakiti.
Sudah pukul 00.02 dini hari.
Dan mata Rea belum mau terpejam.
“Halo, Rea?” terdengar suara
seseorang setelah Rea mengangkat panggilan di ponselnya. Sepertinya Adam-lah
yang berada di ujung sana. “Rea, kamu belum tidur?”
“Belum.” dan entah kenapa
getaran itu selalu bermunculan seperti bom waktu tiap Rea teringat tentang
Adam. “Kenapa?”
“Kenapa belum tidur? Mikirin
aku ya? Hehe-he..” Adam tertawa kecil.
“Haha.. Enggak lah.” jawab
Rea singkat.
“Rea..” suara Adam memberat.
“Kamu tahu nggak rasanya terjebak? Kamu sayang banget sama seseorang, tapi orang
yang sekarang ada disamping kamu, bukan orang yang kamu sayang..”
“..Rea, aku tahu, kamu tahu
maksudku. Aku bakal ngerti banget kalau kamu nggak mau dengerin aku lagi. Tapi
izinin aku ngomong disini. Sekali aja.”
“Iya..” seperti biasa.
Kata-kata Adam selalu mengunci Rea.
“Rea.. Kita..masih bisa
temenan kan, ya?”
“..Aku tahu aku berengsek. Aku
tahu aku buang-buang waktu bicara kaya gini. Tapi aku cuma pengen jadi temen
kamu, kaya dulu waktu pertama kita ketemu. Aku benci ingat kalau aku adalah
orang yang gak pernah pengen kamu temuin lagi. Aku pengen sayang kamu sebagai
teman, Re. Aku gak bisa jauh dari kamu..”
Rea menjauhkan ponselnya
dari telinganya sejenak. Terdiam, berpikir, lalu mendekatkannya lagi.
“..Aku ngerti. Harusnya aku
bahagia punya Maya. Harusnya aku bersyukur ya punya pacar bodoh yang nggak
pernah tahu kalau aku sebenarnya nggak pernah suka sama dia.” Kini baik Rea
maupun Adam terdiam. “..Tapi buat kamu, aku akan belajar, Re. Aku yakin suatu
hari aku bisa sayang sama Maya, entah gimana caranya. Tapi aku ingin kamu juga
bahagia nantinya. Jadi kita sama-sama bahagia, gitu. Kan seru tuh..” suara itu
kian lama kian dipaksakan. Adam diam sejenak.
“Kamu..bahagia ya.”
Kemudian kata-kata itu
menghilang. Menjelma menjadi isak tangis yang Rea dengar dari ujung sana. Itu
Adam. Adam berengsek yang sedang menangisi Rea. Rea terdiam sekali lagi,
menjauhkan ponselnya. Membiarkan rasa dan air mata itu turun silih berganti. Mereka
saling menyayangi dan saling tak bisa memiliki.
“Aku bahagia kok. Kamu
tenang aja.”
Dan air mata itu terus
menemani mereka. Di ujung satu dan ujung yang lain. Rea terus mendengarkan
suara Adam hingga terlelap. Mungkin hati mereka saling menjaga, walau hanya
dalam doa.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
P. S.
Jangan tanya ini kisahnya siapa.