31.12.13

Sorry

Hey :)
No i'm not coming to ruin your life any worse. Neither to show off any stuffs like a saleswoman, i know you hate me already. I'm here just want to make everything clear, that maybe..you were right. Maybe all these time, you've been absolutely right about everything. About myself who is somehow overdramatic, childish, arrogant, selfish, stubborn, introvert, take things without any concern to its risk, see something just from where I stand, maybe it's all wrong but one thing... You're wrong about me hating you. Cause i never did. Not even once.

I know you've been staring in the mirror, asking it 'what thing is possibly wrong in me?'. But you got no answers, up until now. And i know you'll never find that bravery to tell everyone what's been wrong inside of you. I know you've been wondering how could you be in this place, standing alone, watching me preaching 'bout goodbyes all day long. I know you don't know how to explain things to me, and that one creature. Everything that you think i don't know, i quietly know without letting you know that i know.

Honestly, i'm just a person just like you. I'm a homeless and hopeless wanderer. I've nobody that maybe waits me anywhere. I'm just a lonely wanderer, talking to my notes. Nobody to share, nobody will care. They think their life is just too precious to be touched by a wanderer's story. I also don't know where to run, where to go right now, because you're no longer here. You were the person i found when i was on the road, finding who i am. But right here when i already know myself, i don't even realize that you've been gone for so long. I drowned into my dreams of happy ending, too much 'til I left everyone i used to know.


You know what?
Have you ever think how do i feel when i saw you having a new life with someone else? I thought i felt broken, i thought i felt like it was all useless...and goddamn someone named 'you'. But finally i realize what life has taught me. I've being let by it to met you, to know you more. You maybe can't believe that i didn't even know that you exist. Then, one day you came around and walked into my life and got together in my journey. You were a heal for every pain i felt. I should've thank you for being there at that time and suddenly be my everything. I didn't know how, but you just did

But look at me, i'm just a failed Cinderella. I'm not a princess and this ain't a fairy tale. You are not supposed to be my prince that now it's too late for you to chase me by all of your white horses. I know that i will never be good enough for you. Maybe i'm just a fool girl. But sorry, i'm not Rihanna and i don't love the way you lie to me. I only hope that you'll be happy with everything you have now, cause i'm happy with it. You'll be forever my secret. This will just be for you and me til the end. I'm sorry for everything i put you through. I'm happy now living with regrets everyday, everyday i asleep thinking of you and woke up just the same. I won't do it anymore, i'm done with everything about you. I should've know i've just been being a burden to you.

I'm sorry I have to walk out from your life. I wish this is the rightest time to say these things to you. We'll meet again somewhere in the future if He let us to.




I'm sorry. Now set me free.


24.12.13

Love Me Like Money



Hello, tell her what you know, tell her how you figure her out.
Is it a girl who dresses like a playgroup kiddos?
Is she the one who shouts on things tickling her heart?

Look , She has been through some things
Seen a little sunshine seen a little rain
Her heart's been through some pain
And she doesn't wanna go back through it again

Itchy. It's getting so itchy, seeing people come and go heartlessly. Seeing people breathe in for luck, breathe in so deep in the morning they awake. This little girl is mad, growling around with her daddy's suit and tie, just like a walking dead. She doesn't want the world, as she wants just a little piece that everyone thinks it is too big for her tiny corpse. She's so naive that she thinks everything's always gonna be alright--whether life isn't that simple. She's a fire whose the anger is one loud nuclear disaster, don't play with her or you're already killed in her head. 'No it isn't anger. It's rage' said she, chewing bubblegum among her lips. The rage is all noise, the louder, the better.


Don't feed into her lies.
She is the one who never lies, yet she is one drama queen. She wears masker on her face, so you don't need to pretend like you care on her scars. She doesn't apologize for her mistake, no good at it, but she forgives at best. She's one your best friend, your best enemy, depends on how you treat her. She's fragile as a thin layer of Pole's ice, step on her and she breaks you down freezing beneath the sea. She wants you to be happy in everything that you do, but if you don't care then she will just hope that you die hit by trucks or buried by quicksand. She will say anything to shake your confidence, and even if she doesn't believe it, i bet you 5 bucks that she would after.

Living with her is simple. But don't you think her life is simple.
Treat her as she really is, and she treats you as you really are.
If she should be so bold, She'd give you heart in her hand for you to hold.
She will love you and find a way to you if it kills her.



And what a shame i've already told you the way to love someone, that actually is me.
And if only there's a sentence to sum up it all how to love me, i'd briefly say 'Love me like money'

23.12.13

Sepasang Mata Bola

Sepasang mata bola, lama menatapmu di kejauhan. Mengagum dalam diam, membenci pun dalam diam. Mendengar hal tak pantas didengar, melihat hal tak pantas dilihat.

Sepasang mata bola, lama menatapmu di kejauhan. Dibawah sinaran bohlam temaram, tangisnya sedih tertusuk duri tajam. Menyisir gelap malam dengan sejuta mimpi kelam. Berperang batin tanpa senjata tanpa bela bala tentara.

Sepasang mata bola, menatapmu di kejauhan. Di segala kesendirian, kadang ia mendekat, berpura jadi sobat terbaik untuknya. Tiadakah tempat larimu menuju, anak muda? Memang--tiada lebih indah dibanding jumpa tempat berteduh kala badai menerpa.

Sepasang mata bola, menatapmu di kejauhan. Ia sedang duduk-duduk bersantai, tak sendirian. Si sempurna nyata telah lama ada disana. Serasi sekali mereka hingga semua orang berkata-kata tiada habisnya. Si sempurna dengan segala kesempurnaannya yang sempurna mencintainya dengan sempurna.

Lalu, sepasang mata bola, berlari melepas pandangnya darimu. Kau berantakan mencarinya, tak lagi ada yang awas akanmu. Air mukamu tertegun penuh sesal, dan hujan turun membasahimu. Kau kini kehilangannya, tiada peta tiada arah tujuan yang 'kan menuntunmu padanya. Selama ini ada yang hilang darimu, kau tak tahu itu apa. Jadi biar kuberitahu, sepasang mata bola, telah mencuri secuil hatimu yang kaujaga. Sepasang mata bola telah membobol sandi hidupmu yang kaukira berharga, namun ternyata tak terlalu berharga.

Kini sepasang mata bola terusir pergi, sebab mata yang lain hanya bisa melihat apa yang sempurna. Kini sepasang mata bola tersenyum girang, hati curian telah ada di genggamannya, dan ada yang menangis mencari-carinya.


"Seperti syair tak beraksara, seperi puisi tak berima. Seperti itu aku padamu.."

- Lydia Annisa -

8.12.13

...

 A i r   u n t u k   A p i 
Lydia Annisa

----------------------------------------------------------------------------------------


Sore itu laut begitu tenang, ombak telah memutuskan berhenti menjadi pemarah sejak beberapa hari lalu. Daun-daun berjatuhan, tak pernah marah pada angin yang menggugurkannya. Matahari harus segera sembunyi satu-dua jam lagi, dua elemen itu masih terduduk di tepi pantai. Membereskan sisa-sisa kerajaan pasir mereka yang tak jelas bentuknya. Sudah mereka layarkan perahu kertas bertuliskan mantra-mantra mematikan, yang jika mereka saling mengetahuinya, mungkin dunia ini akan terbalik. Mereka terdiam, bersitatap satu sama lain.

"Aku tak pernah ingin ada disini, sejujurnya."
"Tak pernah ada diantara kita yang ingin ada disini." ujar Api, tersenyum tipis. "Lebih baik kau segera pergi."
"Kenapa begitu?"
"Akan lebih menyenangkan untukku. Bukankah kau bilang kau tak ingin aku terluka lebih dalam?"
"Aku memang tak ingin. Tapi kenapa aku harus pergi?" Air menatap gamang wajah Api yang menengadah langit.
"Karena keberadaanmu disini bukan apa-apa selain hanya membuatku semakin terluka." Api pun menghembuskan nafas. "Menyakitkan saat menyadari kau bukan lagi penenang bagiku, menyakitkan saat kau datang hanya untuk menghibur, bukan membahagiakanku."
"Maaf, namun aku masih ingin tetap disini, tetap bersamamu walau aku bukan lagi aku yang dulu."
"Apa kau juga mengatakan itu padanya?" Air terdiam. Begitu lama, menyadari betapa bodohnya keputusan yang telah ia buat untuk mencoba. "Aku terlambat menyadari betapa kau begitu berarti,"
"Ya. Aku pernah memberimu kesempatan dan kau menyiakannya. Maka dari itu, pergilah sekarang karena aku tak akan memberimu kesempatan ketiga karena itu tak mungkin."
"Kau sendiri yang bilang, tak ada yang tak mungkin di dunia ini." bantah Air.
"Ya, mungkin juga untukku menciptakan mesin kloning di dunia ini, dan mengklon diriku sendiri. Kemudian kau datanglah pada Aku yang lain, aku sangat yakin dia pun akan memberikan kesempatan tak berbeda dengan yang pernah kuberikan padamu." nada Api mulai meninggi, "Ketahuilah, kau hanyalah pria kecil sok tahu dengan segala egomu yang ingin memiliki segalanya. Kau tak lebih kekanak-kanakan dariku, jadi berhentilah merengek seperti bayi."
"Kamu tak pernah mengerti.."
"Begitupun kamu."

Kedua elemen itu terdiam. Sediam bebatuan yang akhirnya lebur terkikis angin.

"Pergilah, cari kebahagiaanmu. Aku tahu kau tak menyadarinya sekarang, tapi aku yakin kau akan bahagia." kata Api.
"Jika aku pergi, itu pun karena kau yang menyuruhku pergi."
"Maka lakukanlah, karena cepat atau lambat kau akan menemukan alasan lain untuk pergi. Berlarilah karena kau akan kulupakan."
"Bagaimana jika aku tak bahagia?"
"Tengoklah ke belakang, aku adalah masa lalumu. Jika tiba waktunya kebahagiaan itu semu, berlarilah sekuat tenagamu menujuku, aku akan disana menunggumu seperti yang selalu kulakukan dulu. Di tempat yang sama, dengan rasa yang berbeda. Aku akan selalu selamanya seperti ini, menjemukan, selalu membuatmu marah, membuatmu menunggu, penuh misteri dan ketidakpastian yang memusingkanmu. Aku akan disana sebagai gadis kecil egois dengan segala kebodohan mempercayai cerita-cerita bohongmu, gadis kecil yang selalu bersiteguh untuk tetap mencintaimu walau tahu kau ingin sekali terlepas. Datanglah padaku, karena aku akan selalu seperti ini, selalu mencari kebahagiaan di setiap keputusan yang kau buat."
Air terdiam sejenak, menatap laut biru. Ia tak yakin apa yang harus ia lakukan selanjutnya, namun ia malah berkata "Aku akan bahagia, sehingga tak harus selalu merepotkanmu, membuatmu menangis dalam tidur dan mimpimu. Aku tak akan datang lagi karena aku hanya akan menjadi bekas luka yang tak pernah bisa kau sembuhkan. Maafkan aku, karena bahagiaku harus selalu menjadi tangismu."
"Tidak apa. Aku selalu menangis bahagia."
"Aku mencintaimu."
"Aku mencintai kebahagiaanmu."


Api dan Air pun berpegangan tangan diatas tanah. Api telah padam, dan Air telah kembali ke asalnya. Mereka berjanji tak akan saling jatuh hati lagi..setidaknya selamanya.



13.8.13

Seventeenity



It's always a nerve-wrecking moment to write a birthday post. The time when you recount all these left years and try to remember anything that made sense at that time. And this is one of it, you know. Like everyone should've gotten, i finally got it too. My 17.
So i was afraid like hell when i was going to be 17. And still not sure why. But the only thing i realize, 17 is when you'll be blamed for the childish and silly things you did..when being a grownup is not a thing i'm good at. 17 just doesn't suit me, or i thought so. But when the day comes, i had to wake up like the other years. Overloaded birthday greetings on my inbox and mentions and wall-posts and i felt like it's just it. And-so-what? This is too normal to be a 17 to get those tippy-tappy words. I WANTED MORE. Since i'm already 17. But what would I do if my roommates theirselves didn't remember my big day?

It sucks.

**

2 Agustus. Pesan paling bawah dari Sabrina. She was the first, then Mom coming up next. Pesannya panjang lebar tinggi sampe gak bisa di capture. Aku balesin satu satu dengan sabar, penuh perasaan dan kebosanan dan kecapekan, dan yaudah. Seperti hari-hari biasanya, aku merapikan kasur dan buku-buku pelajaran, laptop, notebook, charger, proposal, surat pun kumasukkan kedalam tas. Mandi. Sekolah. Dibanjirin ucapan di jalan dan berasa kayak artis. Dan yaudah.

Kemudian colut pelajaran LH karena ngurusin ulang tahun sekolah, dan pulang dorm. Baru beberapa menit duduk ada sms masuk. Mbak Ika.

"Dek ayo tak tunggu di RO ya"

Fiuh. Akhirnya aku berangkat nyari sponsor di jam-jam orang jumatan. Tiga tempat kami datangi dan untungnya aku dan Mbak Ika think smart buat nyari sponsor di tempat-tempat yang ada AC-nya biar bisa sekalian ngadem. Pertama ke Seephylliz, lumayan cuci mata liat barang-barang distro yang undeniable kecenya. Kemudian mampir ke Rumah Warna dan ketemu barang-barang yang cimit-cimit. Sebenarnya kapan hari aku udah ke Rumah Warna sama Dilia buat nyari sesuatu, dan ketemu sama desk clock yang bentuknya unyu setengah hidup: kamera. I want it like boyfriend *oops. Taaapi, hari ini benda cimit itu nggak ada. I wonder who brought my camera clock dan berniat buat neror itu orang sampe dia bunuh diri. Akhirnya yaudah, keluar toko dengan hati kayak gini:

Habis itu ke bank-bank dan nemenin Mbak Ika setor dulu ke BRI. Nungguin lamaaa sampai akhirnya dapet sms dari Bima.

"Teman2 dan kakak2 segera ke RO ya. Rapat jam 1, urgent! Mohon kedatangannya."

Oke ampun Bim, ampun. Gue belum kelar ini urusan satu. Dan akhirnya kami pun berangkat kembali ke sekolah untuk rapat. Ternyata ada senior OSIS yang udah alumni. Dan aku benar-benar tahu kemana arus rapat ini.... Nggak usah dibahas ya. Pokoknya it's a tiring and boring and unmotivating OSIS meeting ever. Akhirnya pulang dengan perasaan kayak berhasil keluar dari kandang singa.

Aku merebahkan diri di kasur karena emang beneran capek. Sampe lupa hari ini aku puasa karena emang bener-bener hari yang padet. Dan satu lagi, aku lupa hari ini aku ulang tahun dan belum doa karena tadi pagi bangkong. Akhirnya aku sholat ashar dan doa dulu. Buka, sholat maghrib dan mandi. Eh, habis mandi si Zhi dateng teriak-teriak di balik pintu kamar.

"Lid uliid! We nengndi??!"
Dari nadanya kayak orang minta tolong buat ngedengerin cerita bagus. Dan ternyata emang bener.

"Aku dijak dolan homo, enteni aku yaa, we gausah tarweh aee. Aku gak wani neng asrama dewe."
Aku berpikir sejenak. Kemudian..
"Moh."

Aku beranjak pergi tarawih meninggalkan orang yang mencoba merusak iman saya untuk mengantarkannya ngedate dengan seseorang yang lain. Iyuhhh. Akhirnya aku tarawih tuntas dan pulang dengan unyu. Dari kejauhan aku lihat sosok Mas Tiron (nama aslinya Rizki Aditya) membawa gitar yang bentuknya mirip sama gitarku, bersama Hania dan Mbak Tika. Aku mendekat dan ternyata emang iya itu gitarku! My boyfriend is back!!! *nyetel violin versionnya Rebel Heart*
Aaaak dan akhirnya jadilah acoustic night di halaman dorm dibawah lampu jalan. Aku dinyanyiin happy birthday sama Mas Tiron dan uwaa itu keren banget >< Aku ambil alih gitarnya dan memulai sesi galau bersama Hania.

"Gotta change my entering machine now that i'm alone..
Cause right now it seems that we can't come to the phone..
And I know it makes no sense...
Enough is enough, no more walkin' 'round with my head down,
I'm so tired of being blue crying over you..
And I'm so sick of love song
So tired of tears
So done with wishing
You were still here
Said i'm so sick of love song~"

Dan ZAP!
Duniaku tiba-tiba gelap. Seseorang menyanderaku dari belakang dan aku bener-bener gak tahu itu siapa. Semua suara cowok, spontan aku histeris dan nyebut terus.

"Meneng! Nek ra meneng we ra slamet!"
"WHAT THE HECK??! WE WI SOPO NGONGKON-NGONGKON AKU MENENG?! BUKAAAK WOY BUKAK!!"

Segerombolan cowok itu tidak peduli dan malah mengangkatku ke motor, membawaku pergi. Suasana sangat gelap dan aku gak bisa ngeliat apa-apa kecuali sinar lampu jalanan. Aku takut, banget sampe nangis dan bertanya-tanya siapa orang-orang ini. Aku bahkan belum lepas mukena. Ya ampun ini random banget. Tapi satu yang aku tahu, seseorang yang ada di belakangku waktu naik motor, itu Adi. Aku familiar dengan suaranya. Tapi siapa yang mengendarai motor yang aku naiki, waktu itu masih misteri. Yang jelas itu cowok dan perawakannya tinggi besar. Dan orang pertama yang aku pikirkan adalah Agung, karena motornya matic dan motor Agung kebetulan juga matic. Tapi aku bener-bener gak tau.
Satu, lima, sepuluh, lima belas menit aku disergap dalam kegelapan dan dibawa ke suatu tempat yang aku nggak tahu kemana. Akhirnya.....motor matic yang aku naiki berhenti dan aku diturunkan. Pertama aku disuruh rebah. Kemudian disuruh duduk. Aku merasa ada cahaya terang di depanku.

"Siji..loro..telu.. Buka!"

Benda yang menyergapku dari tadi pun dilepaskan dariku. Dan..

"Happy birthday Ulid..
Happy birthday Ulid..
Happy birthday, happy birthday
Happy birthday Ulid.."

Aku di parkiran sekolah. Ada 17 lilin disusun merangkai angka 17. Dan didepanku ada 5 orang Adi, Sarkem, Zhizhi, Agung, Rengga dan Rahma membawakan tulisan: HAPPY BIRTHDAY ULID, WE ALWAYS LOVE YOU.

Kemudian aku nangis sejadi-jadinya. Ya Allah, what kinda day is this? Rasanya kaya digaplok, punya segini banyak temen yang inget dan berusaha buat bikin aku seneng, tapi masih belum bersyukur.

Rahma maju ke depan membawakan kue yang dihiasi lilin-lilin kecil. Aku merangkai doa dan meniupnya satu persatu. Mereka menyuruhku meniup 17 lilin di hadapanku tadi satu-satu. Perasaanku masih random banget. Dan masih nggak bisa ngomong apa-apa, masih terus nangis.

"Aduh.. Makasih ya cah.. Ya Allah aku gak nyongko.. Ya Allah.." hanya itu kata-kata yang keluar dari mulutku selanjutnya.

"Habede ya lid.."
Dan ternyata ada Ericko. Aku bener-bener gak nyangka orang itu ada disini. Maksudku, aku baru beberapa hari kenal sama dia dan sekarang dia disini buat ikutan ngasih aku surprise. Aku masih belum percaya, semua ini, disini, saat ini. God, you must be kidding me. Dan ternyata dari tadi divideo sama Abim. Ah sial.

"Lid ini kadonya, dibuka ya.." kata Zhizhi.
"Ojo dirusak lho, wi mbungkuse dengan penuh perasaan masane!" tambah Rengga.
Aku membukanya perlahan dan akhirnya muncul sebuah kotak. Mereka menyuruhku membukanya dan ternyata isinya.......jam di Rumah Warna. Jam kameraku yang unyu. Mereka membelikannya untukku. Ya ampun rasanya kayak di sinetron. Aku berkali-kali mengucapkan terima kasih karena aku memang sangat-sangat menginginkannya, tapi harganya mahal jadi aku berpikir untuk nabung dulu. Tapi mereka memberikannya secara cuma-cuma. Aaaa you guys really win this night :'')

Semua memelukku dengan erat dan memberikan ucapan selamat padaku. Aku nangiiiiiis laagiii. Note: aku masih pake mukena habis tarawih tadi. Akhirnya mereka melumeri wajahku dengan krim, memberesi semuanya dan mengantarku pulang. Aku dianter Ericko, bertiga sama Rahma.

"We mau mikirmu sing nggonceng kowe Agung to? Padahal aku. Mau kok pikir sing njunjung kowe  Gembul to? Padahal aku… Mau jaketku lho, Lid. Bar tak ngge basket yo'an. Enak to ambune?"

Hening. Tanpa basa-basi kulumeri wajah Ericko dengan krim tanpa peduli omelannya sepanjang jalan. Setelah itu aku bersihin wajah dan beresin barang-barang pemberian mereka tadi. Dan habis itu ke alun-alun buat beli tahu petis sama Adi, Rahma dan Sarkem. Aku gak peduli walau itu udah jam 9 dan gerbang sekolah pastinya bakalan tutup. Kami menikmati tahu petis dan pura-pura lupa kalo besoknya harus sekolah. Akhirnya jam 10an kita pulang. Dan ketika sms ucapan mereda, si henpon berdering lagi. Ternyata Cungkring ngucapin selamat ulang tahun, dan dia manggil gue Kak Hilmah. Ketika aku tanya kenapa manggil gitu, katanya aku ingin menjadi jerami diantara tumpukan jarum -_- yo wis iyo, sak bahagiamu, Cung. Kok ucapne terakhir ae aku wis seneng. Akhirnya disuruh tidur sama Cungkring karena udah malem dan takut besok telat sahur.


And probably 17 is as sweet as they said. I love you guys <3 span="">


-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Special thanks to these people: Mom, Dad, Naasa Fikri, Adi Ariyanti, Kurnia Dilia,  Zhizhilia Zulfa Nabila, Binsar Rifaldi, Agung Abrianto, Rengga Danutirta, Ericko Rahadiyan, Abim Prakoso, Rahma Maulida, Anggun Alviana, Benediktus Andre Setyawan, Selgita Fitrian, Windu Prasitama, Elistya Hestin, Niken Widyawati, Nabela Karima Putri, Farah Adiba Lutfiana for making my year.

21.7.13

Once upon a time, a guy in my log

With that smile, i secretly fall for you. It's none of a good news, rather the worst one. I never wanted to fall in this hole. Yeah maybe everyone could take me and throw me everywhere you want, but please, no, not, never in this place. This place is dangerous, cause once you fall, it will put you to death for you to rise. I'm scared.

9.7.13

I met the Neptune yet.

Say i'ma traveler. Cause i really do, this holiday. I've been a very nice and cutest wanderer. Motorbiking to Madiun alone is too mainstream now, i do it almost everyday, the thing i used to get scared of being hit by trucks. It was all because of OSIS thingy. I had to do juniors' orientation preps. Proposals, admission letters, signatures, licenses and agreements i stuck on these things. And i thought i need an escape. Last week i wandered to Pasuruan, to my aunt's house and been a babysitter all at sudden--i forgot that my aunt had such a baby day care. It was okay with 2 or 3 babies, but 14 is just... But i'm happy, Fahri, Satria, Wina, Fawwaz, Judy, and the other babies were just acting so cute.

So on an afternoon i went to see Refrain with Zhi and Dili in Madiun, had lunch and chit-chats, i met Gabriela and got a good news that Ike was also accepted there, and back to Ponorogo right after that. No, we went to Zhi's house first at Dolopo. We made another silly plan to wander (again), this is the other Jogja case, but nearer. And that silly+stupid+fool plan came true in the other day.



Klayar.
I've ever heard that name but never been there for sure. So, i, Dili, Adi and Zhi's family went there first. Since Teleng Ria had been too mainstream. The road was...ugh..ah..i won't say here. But it got paid, with the view. The very beautiful beach view, the cliffs right and left, the horizon, the waves, the great winds...i just didn't wanna go home. This is one of the most beautiful runaway i've ever made. This is Javanese Tanah Lot. This is Neptune's home. Don't ask me to go home. I don't want to. Finally, let me tell you how we met Neptune...


Klayar from distance


 Err... wanna be like that too one day ._.v

 Told ya. It's Javanese Tanah Lot.


 Swipe me swipe me away~

 Zhi's mom and dad hihihi 

 We're taking self camera with timer cause nobody we know would take one -_-



 So...
It's always been so hard to say goodbye.
Hey i've said it!

4.7.13

Misconceptions of PHP

Nggak keminggris lagi deh. Mau galauan soalnya.
Nggak tau. Ya Tuhan, nggak tau. Entah ini bakat atau takdir, hamba nggak pernah tahu.

Jadi...kita nggak akan pernah tahu seseorang serius apa nggak sama kita, sampai kita berani tanya. And when the time comes, dan kamu tahu ternyata bukan kamu orangnya, all you ever do was mengkeret jadi bola dan pengen dilemparin sejauh-jauhnya. Tapi kadang aku ngerasa semua ini benar-benar aneh. Aneh yang klise. Karena, harapan (yang ternyata cuma akting) itu begitu sempurna di mataku. Benar-benar dimainkan tanpa kesalahan. Dan saya, si pemirsa, tentu saja memberi standing applause dengan senang hati. Si aktor pun tertawa girang oleh keberhasilannya dan beranjak pergi tanpa peduli.

Jadi, singkat saja, i fell in love to a player.
Aku terlalu salah menafsirkan semuanya. Karena semua itu, dulu, jauh sebelum rasa itu, semua begitu terasa biasa. Tak ada yang spesial darinya. Tapi saat kamu kembali merecallnya kembali, semua itu seakan spesial, tanpa kamu sadari. Akhir-akhir ini aku selalu merasa diperhatikan, distalk, diperlakukan spesial, etc etc. Saat kemudian aku sadar, dari dulu, hingga sekarang, gak ada yang berubah dari bahasanya dan perlakuannya dan perhatiannya ke aku. Hanya ada satu yang berubah, rasaku buat dia.

Rasa itulah yang malah menghancurkan segalanya yang sebelumnya normal dan baik-baik saja.

Rasa itu yang membuat semuanya terlihat begitu indah. Ia membuat segalanya seakan menjadi mudah dan begitu gemerlap..tanpa kusadari.

Dan ketika rasa itu hilang, aku merasa telah begitu bodoh telah menganggap lebih semuanya.
Jadi ini bukan salah si PHP, tapi ini salahku yang salah tafsir tentang ruang kosong yang sebenarnya selalu dia berikan, sebagai harapan. Karena sebenarnya, dia TIDAK pernah memberiku harapan itu. Dan aku telah terlalu dibutakan mindsetku hingga juga dengan bodohnya, akhirnya aku tahu selama ini dia mencintai orang lain.

Hmm..
Tapi, jatuh cinta sama player is somehow a fun thing, karena memang asyik, jika kita tahu proporsi antara peluang dan pengharapan yang tepat. He gives you all his strength just to impress you, and yeah, you'll be easily get impressed even with the littlest thing he does. He will do it again and again, sampai kadar kebutaan cintamu penuh. Dan setelah dia merasa cukup, he will definitely leave you, heartlessly. Because all he had done yo you, he did it without any purpose, without any kinda special feeling. Dia cuma inginkan kesenangan. To him, girls are barbie dolls. Habis manis sepah dibuang.

Tapi, Tuhan sayang aku. Aku diizinkan tahu siapa sebenarnya orang yang selama ini mendapatkan perhatianku. Dan aku bisa let go heartlessly juga. Jaadiii, kurasa aku udah bisa memfilter semuanya dengan proporsional. And to fall in love with a player...it's undeniably a loveliest shit you've ever done. I've tried them twice.

29.6.13

Shockturday


 
First of all, i’m gonna tell you before you get noticed, this is no show-off post. I’m just wanting to sing my gratitude for everything He had given to me this, these lovely-almost-17-year. And i want you to come sing along with me. Come in my happiness.

Wait, happiness? We’re familiar with it. But really, i’ve never really knew what’s it and what’s the point of happiness. It’s just smile and laughs and love, no? Or ‘when we’re together’ thing? To me it doesn’t explain happiness clearly. And here me goes, i’m turning this way and this day. And i’m going to say that this is ‘OH..’ day. I finally understand what unexplainable thing wants to explain itself. 

This is June 29. I should’ve gotten my last report. I was in pain of sleeping the night before. I used to think that social or science is okay. That depends on how’s your effort. But in that night, i just realized that....i’m no good in social...at all. I’m no economical growth thinksucker, i’m no memorizing robot, i’m no good in making lines for accountance, i’m no good at social at all and i just realized that as a matter of fact, I’VE DONE NOTHING TO OVERCOME THEM ALL. I did no anticipating-programs whether i would be in social/science class. All i ever thought about is i’m good in science and my instinct would lead me to it. But still, i had no any prep if i..forcefully, had to go to social class. And i started to get an insomnia thinking about it. And in that time, all i could do was praying for the best. It’s absolutely shocking to, in the end, 7 hours before the student report distribution day, you’re not ready to get what you deserve.

Allah tahu semalem aku doanya maksa :’D

I slept at half past 1 and fully woke up at 7. I had a plan to make Adi’s birthday surprise so i didn’t go to Madiun with my parents, yet i wasn’t ready at all to see my scores. And this is a pic from her birthday. Happy birthday, girl. I love you {}


 **

“Lid kamu ranking 7, Sarkem 6, aku 9, Abim 8, Adi 10 J
...
Zhizhi said. That’s when i got the buzz.

“IPA”
Mom said. The next buzz.

Part I ended. God knows His beggar a way too much. And i’m a lucky person. Too lucky.

 

Then, at night i got a mention from my acquaintance from 3rd AFS test in Malang couple weeks before. She told me to open my account and the next second i cried.
God, this is shocking.
I’m not ready for this.
But you told me to. This time. When i’m this dizzy to understand what really happens.


Happiness.
The first word i got when i felt that turn of moment. I don’t know how to explain happiness for sure, but i know this is one of its definition. My heart felt so damn warm like being hugged by a big panda, so damn cold like it’s holding boxes of ice, and so...damn... amazed like i opened an opera curtain and see a new upcoming life of myself. My sofa i sat on suddenly transformed into a trampolin. It flies me to the sky, bounces me over and over and over again. I’m awake from my long bad dreams and dark shadow. Oh god, this is happiness. The happiness of the happiness. The happiness i’ve been dying to live it up. The lost city i’ve been wandering all these time. I finally found it.





Guys, i’ll never be enough by saying thank you. I leave my life for You. And The State never seems this close...

 

5.6.13

Bukan Cerita Cinta


Jadi, senja waktu itu seperti senja terburuk. Senja yang tak indah seperti semestinya. Senja yang kehilangan jingganya. Rea masih menunduk, membekap wajahnya di pundak Megan. Serentetan kisah berputar satu demi satu di kepalanya, bagai film tua yang kusut. Semuanya berkecamuk di dalam pikirannya, buram dan berserakan. Rea tidak tahu dari mana dulu dia memulai, ia juga lebih tidak tahu  bagaimana caranya untuk berhenti disana, saat itu juga.
“Ya Tuhan.. Ya Tuhan..” kata-kata itu terus terucap dari mulutnya tanpa henti, senada dengan titik air yang terlalu sulit untuk jatuh dari kedua bola matanya.
“Rea.. Maafin aku..” Megan memeluk Rea yang mematung sedari tadi. Sementara itu separuh roh Rea melayang entah kemana, hilang, kosong melompong tanpa isi. “Bukan salah kamu, Meg. Bukan salah kamu. Aku yang salah, aku yang bodoh, aku yang buta, tuli..”
“Enggak, Rea.” Megan kembali memeluknya. Kemudian Rea segera bangun dan menggamit tasnya serta membereskan barang-barang yang tadi dikeluarkannya.
“Aku pulang dulu, Meg.”
“Rea! Kamu mau kemana?”
“Aku butuh sendiri dulu. Makasih ya buat semuanya. Hari ini indah banget buat aku!” kata Rea sambil tersenyum—yang tentu saja dipaksakan—kedua matanya berkaca-kaca.
Kemudian ia melaju motornya dengan kencang. Meninggalkan Megan, yang sedikit menyesali dirinya atas semua yang terjadi hari itu.
***
Sudah setahun sejak peristiwa Rea duduk 12 jam tanpa bicara sedikitpun dengan seseorang yang berada tepat disampingnya. Dan Rea juga tidak tahu bagaimana Adam, orang itu bisa menemukannya di dunia seluas ini. Kini senyum manis menghiasi wajah Rea, dan Adam-lah alasannya. Getaran yang menghampiri ponselnya belakangan ini semakin gencar. Rea memandangi layar ponselnya, sebentar-sebentar tersenyum oleh candaan kecil yang Adam buat.
Lama sekali Rea tidak merasakan getaran-getaran seperti ini. Seakan hatinya telah mati untuk merasakan suka terhadap lelaki. Rea adalah cewek tomboy yang menyukai basket, memiliki selera tinggi soal cowok, suka memakai pakaian cowok dan benci berdandan. Dan soal jatuh cinta...mungkin Rea tidak begitu peduli tentang hal semacam itu. Dia merasa perlu di-training habis-habisan soal cinta. Dan bagaimana sosok satu ini membuatnya merasakan getaran itu lagi, Rea belum tahu, mungkin juga tidak mau tahu. Rea bahkan tidak tahu bagaimana cara mengatakan bahwa dia menyukainya.
“Tapi kamu suka, kan, sama dia?” tanya Karin suatu hari.
“Kamu ini apaan sih?! Sekarang kamu bayangin ya, aku, sama dia, beda kota. Aku nggak bisa lihat dia setiap hari. Nggak bisa tahu dia sekarang lagi apa, sama siapa, gimana kabarnya..”
“Emang kalau kita suka sama seseorang, jarak itu berarti ya?”
“Banyak ngomong kamu. Udah ya aku basket dulu. Bye!” potong Rea sembari mengencangkan tali sepatunya dan beranjak pergi.
“Hati-hati, Re!” sahut Karin dari kejauhan.
Dan gadis itu selalu menjauh dari apa yang seharusnya dia miliki.

***


Rea dan Karin sedang berkumpul di kamar Megan. Esoknya mereka akan ulangan Bahasa Jepang. Bukan kabar baik, tentunya. Berjam-jam berlalu dengan tanpa suara ketika selanjutnya..
“AAAAAARGH!”
“Re, kenapa?!” tanya Karin dan Megan hampir bersamaan.
“Mm-hmm” Rea menggeleng sambil memegangi lututnya. Dia terlihat gemas dengan dirinya sendiri sampai membekap mulutnya erat. Namun Karin dan Megan tahu anak itu menyembunyikan sesuatu.
“Re..” Megan mendekat ke hadapan Rea, disusul dengan Karin. “Kalian ngapain sih, hah?” tanya Rea yang merasa aneh dengan perlakuan dua sahabatnya itu.
“Ada yang kamu sembunyiin dari kita.” Karin menatap mata Rea dengan tajam.
“Apaan? Enggak!”
“Iya. Ada yang kamu sembunyiin. Mata kamu nggak bisa bohongin kita, Re. Kamu tahu itu..” todong Megan selanjutnya.
“Aaaa.. Tapi aku.. Uhh.. Sebenarnya..”
“Kenapa? Cerita dong.. Aku kepo nih!” ucap Megan memelas.
“Kamu ditembak?”
“Hah, beneran kamu ditembak?”
“Mmm...”
“Re..”
“Aaaa... Aku bingung kenapa bisa kaya gini.. Semua ini cepet banget buat aku!”
“AAAA!!” teriak Megan dan Karin bersamaan.
“Kok jadi kalian yang heboh sih?! Uhh, aku harus gimana dong?”
“Ya teri..”
“Nggak bisa Meg!” potong Rea cepat. “Belum bisa..”
“Kenapa?” tanya Karin kemudian.
“Aku juga nggak tahu kenapa. Seperti ada sesuatu yang nyegah aku buat kesana..”
Pernyataan itu disambut keheningan yang menyelimuti seisi kamar Megan. Karin dan Megan juga sama khawatirnya dengan Rea. Di satu sisi, mereka bahagia akhirnya ada seseorang yang mampu menerima Rea dengan tulus. Namun di sisi lain, kekhawatiran akan lelaki buaya juga masih belum bisa mereka elak. Mereka takut akhir dari cerita Rea dan Adam tak sejalan dengan harapan.
“Mungkin lebih baik nggak aku jawab dulu..”

***

Dua bulan berlalu, Rea dan Adam masih seperti dulu. Dua orang yang saling suka namun terperangkap dalam hubungan ‘bukan apa-apa’. Rea masih takut mengambil keputusan, entah mengapa seperti ada sesuatu yang membisikinya untuk berkata tidak pada Adam. Rea selalu menghindar dari pertanyaan itu. Ia membiarkan kalimat itu menghantuinya setiap saat, tanpa ia mau mencari jawabnya. Karin dan Megan pun telah letih meyakinkannya untuk membuka hati bagi Adam, mereka tahu betul Rea adalah si kepala batu. Terlalu sulit mengubah argumen yang dimilikinya. Sementara bagi Megan ataupun Karin...Adam pun masih seperti orang lain, tentu saja, mereka tidak pernah bertemu. Sekolah adam berada 40 kilometer jauhnya dari tempat Rea tinggal saat ini. Hanya cerita Rea lah yang membuat Megan dan Karin tak lagi asing di kehidupan Adam. Dan hanya Rea yang tahu apa yang seharusnya ia lakukan.

Megan dan Karin tak pernah begitu tahu bagaimana Adam memperlakukan Rea selama ini. Hingga pada suatu sore yang gerimis, Megan dan Rea baru saja turun dari bis. Perjalanan dari Kota Pramanegara—kota asal Megan, Karin dan Rea—ke Kota Purabaya memakan waktu satu jam lamanya.
“Tadi dia SMS aku. Alay banget tahu, Meg.”
Alay gimana? Coba aku lihat.”
Baru kali ini Rea mengizinkan Megan membaca pesan dari Adam untuk Rea. Terlihat kira-kira 3 pages pesan teks berisi puisi yang indah. Kalimatnya begitu rapi, penuh makna, dan menyiratkan kekaguman di tiap baitnya. Megan merasakan haru oleh lelaki tak dikenal yang ternyata begitu tulus terhadap sahabatnya. Dan puisi itu berakhir dengan kalimat “Aku sayang kamu, Re :)”
Megan akhirnya yakin orang ini ditakdirkan untuk Rea. Cepat-cepat ia memberitahu Karin akan hal ini.

***

“Re, aku mau ngomong sesuatu sama kamu.”
“Apa Meg? Aku nggak denger!” Rea mendekatkan telinganya ke Megan. Kemudian Megan menambah volume suaranya.
“Nanti aku mau ngomong sama kamu!”
“Iya ngomong aja nggak apa-apa..”
“Tapi aku nggak mau disini. Ini penting. Menyangkut hidup dan mati kamu, Re.”
“Alay kamu, Meg. Iya deh, kemana? Ke Mister Juice, ya? Habis ini? Oke?”
“Uhh.. Iya oke.” Jawab Megan pasrah. Rea bahkan tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya. Rea dan Megan serta Linda, teman sekolahnya sedang menonton pertandingan tim basket sekolahnya, SMA Merah Putih, melawan SMA dari kota tetangga. Megan paham sekali, Rea jika dipertemukan dengan pertandingan basket, pasti sudah lupa diri, lupa makan, lupa tidur. Maka dari itu Megan memilih mengajaknya bicara diluar pertandingan basket saja.
“Yuk, Meg! Jadi nggak nih kita rapat menyangkut hidup dan matiku?”
“Umm.. Hehe.. Jadi dong! Kita berangkat sekarang ya. Aku ambil motor dulu.”
Mereka berdua kemudian segera sampai di Mister Juice. Megan telah siap memulai dengan jus jambunya, sedangkan Rea masih sibuk dengan jus melonnya.
“Mau ngomongin apa sih, Meg? Serius banget..” tanya Rea sambil sibuk mengaduk-aduk gelas jus melonnya.
“Aku bingung harus mulai dari mana..” tiba-tiba raut Megan menjadi serius. Megan menunduk, menghela nafas. Dan bersiap mengatakan hal terpahit pada sahabat yang paling dicintainya.
“Kenapa sih?” akhirnya Rea memperhatikan Megan.
“Kamu..sama Adam..udah sejauh mana?”
“Mm.. Aku belum jadian kok. Kenapa?”
“Serius? Kok kemarin aku lihat..”
“Enggak. Aku nggak jadian. Kenapa, Meg?” potong Rea cepat. Megan menatap Rea dan menggenggam tangannya, perlahan.
“Jangan diterusin, Re.” Megan tersenyum, dipaksakan.
“Tapi..kenapa?” Rea kembali menatap Megan—orang yang tidak tahu harus menjawab pertanyaan itu dengan kalimat dan tenaga apa lagi. Megan begitu tahu Rea sudah jatuh untuk orang itu. Dan yang kini harus dihadapi Rea hanya...entahlah. Hari mulai senja. Langit menggelap dan lampu-lampu jalanan mulai saling berkedip. Namun entah mengapa, suasana disana seakan beku dan sunyi, seakan hanya tersisa suara Megan dan Rea saja. “Dia udah punya pacar?”
Kalimat itu terasa seperti bom di hati Megan. Harusnya dia mengangguk. Tapi dia hanya terdiam, tak melakukan apa-apa. Megan hanya bisa tersenyum, dan memegang pundak Rea. “Apa aku pernah cerita kalau Widy, temenku SMP, pernah deket sama Adam?”
Rea hanya mengangguk, menahan airmata yang ingin jatuh dari pelupuk matanya.
“Aku tadi ketemu Widy. Dia tanya apa Rea lagi deket sama Adam? Terus aku jawab iya. Pikirku, mungkin Adam cerita ke Widy. Terus Widy bilang, ini gawat. Aku tanya kenapa, terus dia bilang...selama ini..” Megan mengumpulkan nafasnya. “Adam udah sama orang lain.”
“Siapa orang itu, Meg? Aku harus tahu.” dengan pasrah Rea masih memberanikan diri menanyakan hal itu pada Megan.
“Namanya Maya. Alina Fitri Mayasanti, satu sekolah sama dia.” Jawab Megan dengan berat hati. Ia tak tahu betapa hancur hati Rea akan hal ini. Namun Megan berpikir lebih baik Rea tahu kebenaran, walau pahit. Daripada Megan harus melihat Rea tertawa dalam kebahagiaan yang palsu.
“Ya Tuhan.. Ya Tuhan..” kata-kata itu terus terucap dari mulutnya tanpa henti, senada dengan titik air yang terlalu sulit untuk jatuh dari kedua bola matanya.
“Rea.. Maafin aku..” Megan memeluk Rea yang mematung sedari tadi. Sementara itu separuh roh Rea melayang entah kemana, hilang, kosong melompong tanpa isi. “Bukan salah kamu, Meg. Bukan salah kamu. Aku yang salah, aku yang bodoh, aku yang buta, tuli..”
“Enggak, Rea.” Megan kembali memeluknya. Kemudian Rea segera bangun dan menggamit tasnya serta membereskan barang-barang yang tadi dikeluarkannya.
“Aku pulang dulu, Meg.”
“Rea! Kamu mau kemana?”
“Aku butuh sendiri dulu. Makasih ya buat semuanya. Hari ini indah banget buat aku!” kata Rea sambil tersenyum—yang tentu saja dipaksakan—kedua matanya berkaca-kaca.
Kemudian ia melaju motornya dengan kencang. Meninggalkan Megan, yang sedikit menyesali dirinya atas semua yang terjadi hari itu.
“Terima kasih ya, Mas Aktor. Aktingnya bagus sekali, segera bikin film aja :)”

Begitu kata Rea di akun twitternya.
Karin segera tahu akan hal ini. Namun baik Karin dan Megan, mereka sama-sama tidak tahu harus bagaimana mengerti keadaan Rea sekarang. Karena mereka tahu kekhawatiran Rea selama ini baru saja terbukti. Membiarkannya sendirian sebentar mungkin lebih baik. Rea butuh itu. Setidaknya untuk saat ini.

***

Diatas ranjang di kamarnya, Rea membolak-balik gitar kecil yang ada di tangannya. Dan berpikir sejauh mana ia telah berjalan. Dua minggu sudah ia menjalin hubungan dengan Yodi—seseorang yang sebenarnya selama ini selalu menunggunya. Namun mungkin ia masih terlalu sibuk menelusuri puzzle Adam, sampai ia melupakan apa yang ternyata sudah dipersiapkan Tuhan untuknya. Yodi adalah lelaki baik, tampan, dan pintar memainkan gitar. Memang tipikal cowok idaman. Rea membawa semua kenangannya dengan Adam, membungkusnya rapat-rapat, dan membuangnya bersama Yodi. Ia sudah menganggap dirinya bahagia, tanpa Adam. Karena semenjak peristiwa senja itu Adam memutuskan untuk pergi dari kehidupan Rea, karena ia sadar semakin ia menyayangi Rea, yang ada ia hanya menyakiti orang-orang yang sama sekali tak ingin ia sakiti.
Sudah pukul 00.02 dini hari. Dan mata Rea belum mau terpejam.
“Halo, Rea?” terdengar suara seseorang setelah Rea mengangkat panggilan di ponselnya. Sepertinya Adam-lah yang berada di ujung sana. “Rea, kamu belum tidur?”
“Belum.” dan entah kenapa getaran itu selalu bermunculan seperti bom waktu tiap Rea teringat tentang Adam. “Kenapa?”
“Kenapa belum tidur? Mikirin aku ya? Hehe-he..” Adam tertawa kecil.
“Haha.. Enggak lah.” jawab Rea singkat.
“Rea..” suara Adam memberat. “Kamu tahu nggak rasanya terjebak? Kamu sayang banget sama seseorang, tapi orang yang sekarang ada disamping kamu, bukan orang yang kamu sayang..”
“..Rea, aku tahu, kamu tahu maksudku. Aku bakal ngerti banget kalau kamu nggak mau dengerin aku lagi. Tapi izinin aku ngomong disini. Sekali aja.”
“Iya..” seperti biasa. Kata-kata Adam selalu mengunci Rea.
“Rea.. Kita..masih bisa temenan kan, ya?”
“..Aku tahu aku berengsek. Aku tahu aku buang-buang waktu bicara kaya gini. Tapi aku cuma pengen jadi temen kamu, kaya dulu waktu pertama kita ketemu. Aku benci ingat kalau aku adalah orang yang gak pernah pengen kamu temuin lagi. Aku pengen sayang kamu sebagai teman, Re. Aku gak bisa jauh dari kamu..”
Rea menjauhkan ponselnya dari telinganya sejenak. Terdiam, berpikir, lalu mendekatkannya lagi.
“..Aku ngerti. Harusnya aku bahagia punya Maya. Harusnya aku bersyukur ya punya pacar bodoh yang nggak pernah tahu kalau aku sebenarnya nggak pernah suka sama dia.” Kini baik Rea maupun Adam terdiam. “..Tapi buat kamu, aku akan belajar, Re. Aku yakin suatu hari aku bisa sayang sama Maya, entah gimana caranya. Tapi aku ingin kamu juga bahagia nantinya. Jadi kita sama-sama bahagia, gitu. Kan seru tuh..” suara itu kian lama kian dipaksakan. Adam diam sejenak.
“Kamu..bahagia ya.”
Kemudian kata-kata itu menghilang. Menjelma menjadi isak tangis yang Rea dengar dari ujung sana. Itu Adam. Adam berengsek yang sedang menangisi Rea. Rea terdiam sekali lagi, menjauhkan ponselnya. Membiarkan rasa dan air mata itu turun silih berganti. Mereka saling menyayangi dan saling tak bisa memiliki.
“Aku bahagia kok. Kamu tenang aja.”
Dan air mata itu terus menemani mereka. Di ujung satu dan ujung yang lain. Rea terus mendengarkan suara Adam hingga terlelap. Mungkin hati mereka saling menjaga, walau hanya dalam doa.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

P. S.
Jangan tanya ini kisahnya siapa.