Aku mengintai
hujan dan kabut
mengutukinya
meski tak biasa
Aku melepas
hampir semuanya
demi satu detik
sandaran di bahunya
Jangan katakan itu terlalu tinggi
lagi . . .
13.12.14
19.11.14
Guru Radioaktif
Jadi, akhirnya saya sampai pada fase dimana saya adalah manusia berlabel ksatria di sekolah, kalau di tingkatan kasta sih, maknanya kasta terhormat-terpandang-tertinggi gitu. Hehe. Ksatria yang saya maksud disini adalah status sosial saya (dan teman-teman tentunya) sebagai seorang senior. Literally, senior. And let me tell you that being a senior means being mean without even worrying to be complained.
Peraturan kelas tiga
1. Senior selalu benar
2. Apabila senior melakukan kesalahan, maka kembali ke peraturan sebelumnya, yaitu "Senior selalu benar."
Yeeeeeeeeeeah I like being the rule.
Saya ini anak IPA. Pelajaran IPA yang saya sukai hanya Fisika dan Biologi. Tetapi hanya karena saya tidak menyukai Kimia, bukan berarti saya tidak boleh belajar mencintainya juga, kan? Jadi ceritanya saat ini saya sedang belajar tentang Kimia Unsur, termasuk unsur-unsur Radioaktif. Sedikit demi sedikit saya mencoba untuk memahami tiap kata yang tertulis pada buku pegangan saya. Buku apapun yang saat ini bertebaran didepan mata saya, meraung-raung minta dibaca tapi sayanya Alhamdulillah sudah nggak kuat.
Saya rasa saya mulai memahami bagaimana Kimia begitu menjadi sesuatu dalam kehidupan ini. Sebelumnya saya memang tidak mengerti mengapa Kimia dijadikan ilmu dasar untuk memahami kehidupan. Namun sekarang saya paham, bahwa fokus dari kimia itu sendiri adalah untuk mengkaji bagaimana segala sesuatu terjadi dalam skala yang paling kecil. Bagi Kimia, skala terkecil pun tidak pernah ada, jikalau ada pastilah itu sebuah perumpamaan. Bagaimanapun, struktur terkecil di kehidupan ini, atom, masih memiliki berat, jari-jari dan volume. (Hal ini membuat saya berpikir bahwa angka nol itu sejatinya tidak nyata.) Atom itu sendiri memegang peran paling penting, yaitu sebagai otak dari aktivitas suatu unsur yang memotori segala bentuk reaksi dengan unsur lain dalam rangka mencapai kestabilan.
Belajar tentang unsur-unsur kimia dalam kehidupan sehari-hari menuntun saya untuk mengenal satu jenis unsur dengan keunikan tersendiri, yaitu Radioaktif. Unsur-unsur mikro tak kasat mata, yang dengan sedikit rekayasa, maka mereka akan bereaksi menghasilkan kekuatan mega baik pembangun atau penghancur.
Barangkali, manusia juga selayaknya belajar dari Radioaktif. Meski tidak selalu terpandang, namun dengan segala potensinya ia mampu menghasilkan sesuatu yang besar. Pencapaian yang jauh lebih besar dari yang ia pikirkan. Bagaimana? Dengan cara mengubah reaksi kita terhadap sesuatu, yang itu berarti mengubah cara pandang kita. Maka, jadilah Radioaktif dari unsur-unsur sejenismu. Meski sering dikesampingkan dan dikecualikan, kekuatanmu untuk bangkit tidak ada duanya. Simpan energi potensialmu, dan ledakkan tepat waktu.
Semoga ulangan Kimia saya besok lancar :D
Peraturan kelas tiga
1. Senior selalu benar
2. Apabila senior melakukan kesalahan, maka kembali ke peraturan sebelumnya, yaitu "Senior selalu benar."
Yeeeeeeeeeeah I like being the rule.
Saya ini anak IPA. Pelajaran IPA yang saya sukai hanya Fisika dan Biologi. Tetapi hanya karena saya tidak menyukai Kimia, bukan berarti saya tidak boleh belajar mencintainya juga, kan? Jadi ceritanya saat ini saya sedang belajar tentang Kimia Unsur, termasuk unsur-unsur Radioaktif. Sedikit demi sedikit saya mencoba untuk memahami tiap kata yang tertulis pada buku pegangan saya. Buku apapun yang saat ini bertebaran didepan mata saya, meraung-raung minta dibaca tapi sayanya Alhamdulillah sudah nggak kuat.
Saya rasa saya mulai memahami bagaimana Kimia begitu menjadi sesuatu dalam kehidupan ini. Sebelumnya saya memang tidak mengerti mengapa Kimia dijadikan ilmu dasar untuk memahami kehidupan. Namun sekarang saya paham, bahwa fokus dari kimia itu sendiri adalah untuk mengkaji bagaimana segala sesuatu terjadi dalam skala yang paling kecil. Bagi Kimia, skala terkecil pun tidak pernah ada, jikalau ada pastilah itu sebuah perumpamaan. Bagaimanapun, struktur terkecil di kehidupan ini, atom, masih memiliki berat, jari-jari dan volume. (Hal ini membuat saya berpikir bahwa angka nol itu sejatinya tidak nyata.) Atom itu sendiri memegang peran paling penting, yaitu sebagai otak dari aktivitas suatu unsur yang memotori segala bentuk reaksi dengan unsur lain dalam rangka mencapai kestabilan.
Belajar tentang unsur-unsur kimia dalam kehidupan sehari-hari menuntun saya untuk mengenal satu jenis unsur dengan keunikan tersendiri, yaitu Radioaktif. Unsur-unsur mikro tak kasat mata, yang dengan sedikit rekayasa, maka mereka akan bereaksi menghasilkan kekuatan mega baik pembangun atau penghancur.
Barangkali, manusia juga selayaknya belajar dari Radioaktif. Meski tidak selalu terpandang, namun dengan segala potensinya ia mampu menghasilkan sesuatu yang besar. Pencapaian yang jauh lebih besar dari yang ia pikirkan. Bagaimana? Dengan cara mengubah reaksi kita terhadap sesuatu, yang itu berarti mengubah cara pandang kita. Maka, jadilah Radioaktif dari unsur-unsur sejenismu. Meski sering dikesampingkan dan dikecualikan, kekuatanmu untuk bangkit tidak ada duanya. Simpan energi potensialmu, dan ledakkan tepat waktu.
Semoga ulangan Kimia saya besok lancar :D
18.11.14
15.11.14
9.11.14
The Night Told You A Story
So I was set up to a night of loneliness.
Where the man was the least person I could think about.
The person who was once an imaginary character, but then got real at all sudden.
He was the star blinking among the other shinier stars.
But he was so clear, so visible that it got my eyes to.
It was the shiniest ray that he had.
And I was the one who was destined to witness it.
The road was dark and dull,
And we were angels passing by.
Creating traces of rainbow marks.
I couldn't tell you sadness, 'cause all we had was happiness.
We get through the night of loneliness,
Not so lonely 'cause you're with me.
Those hold-hands and random racing heartbeats,
and your smirks.
And the silence sheltered on your face,
I could've cut myself just to make it mine forever.
And so I love you.
I know I ain't the first, might neither be the last.
I know a lot of girls worship upon your name, and some of those girls you once left behind.
I know they love you, but so I do.
But no one can ever love you the way I do.
No one put you into words to make you feel special, to make me feel granted of being something matters, just the way I do.
In the deepest cut of my words you came alive more than you ever live in the real world. You are written by someone whose world's built up of you. You should be happy so we won't regret.
Dear upcoming wrinkles on the tip of your eyes, let me be a witness.
Let me be the one who sees all the bad things behind the bark of your beauty, and you'll eventually see that I prefer to stay than leave.
6.11.14
Tahun Baru
Tahun Baru
Tentang
perasaan. Apabila ia tak terucap, bagaimana aku tahu?
Sekitar sebulan lagi usiaku beranjak sembilan belas tahun,
dan ini adalah pergantian usia yang paling kutunggu-tunggu dalam hidupku. Usia
sembilan belas adalah usia dimana peti harta karunku akan terbuka nyata. Benar,
satu rahasia akan terungkap di hari aku berulang tahun, dan aku tidak sabar
karenanya!
Perkenalkan, namaku Somer. Kudengar dari ibuku yang
berkebangsaan Jerman, Somer itu berarti musim panas. Aku dinamai demikian bukan
karena aku lahir bertepatan dengan musim panas, melainkan karena pada saat itu
sedang musim salju dan Somer adalah doa agar kelak aku menjadi mentari yang
menghangatkan bekunya dunia. Aku lahir di Frankfurt delapan belas tahun silam.
Sejak saat itu, Mama memutuskan untuk kami
sekeluarga tetap tinggal disana hingga aku menyelesaikan pendidikan Sekolah
Dasar. Saat aku menyebut keluarga, itu berarti Aku, Mama dan Nenekku. Kakekku
meninggal tujuh tahun silam dalam perjuangannya melawan Hepatitis B. Selain itu,
sejauh yang kuingat, Papaku bernama Edward minggat saat usiaku baru dua dan selalu merasa terlalu sibuk untuk singgah dirumah.
Saat ini aku tinggal di Indonesia karena mengikuti Mama
mengembangkan usaha kerajinan tangannya. Mama memilih Bali sebagai tempatnya
mengadu nasib. Kami sekeluarga pindah
ke sebuah rumah bergaya etnik dekat pantai di Seminyak pada saat usiaku 6
tahun. Sejak saat itu aku bersekolah dirumah dengan guru privat untuk sekaligus
belajar Bahasa Indonesia.
Teman-temanku di sekolah dan dirumah hampir seluruhnya
penduduk lokal Bali, sisanya adalah anak turis yang nasibnya sama
sepertiku—korban ambisi bisnis orang tua. Kebanyakan dari mereka hanyalah
remaja biasa yang suka bergentayangan di mal menghabiskan uang orang tua. Tidak
ada yang istimewa, melainkan seorang lelaki berambut gondrong yang sangat
kukenal.
Adalah Dewa, seorang remaja kutu buku yang suka menghabiskan
sorenya di pantai. Aku dan Dewa berulang tahun bersama, karena tanggal lahir
kami sama. Bedanya, ia lebih muda 2 tahun dariku. Aku mengenal Dewa sejak
pertama kali pindah ke Bali. Hal itu dikarenakan rumah Dewa berbatasan belakang
dengan rumahku. Sehingga antara halaman belakang rumahku dan rumahnya hanya
dibatasi selapis dinding saja. Di dalam dinding itu terdapat pintu kayu kecil
seukuran pintu kandang anjing yang hingga kini tak kumengerti fungsinya.
Perkenalan kami dimulai dengan aneh. Dulu, Dewa sering bermain dengan kucingnya
di halaman belakang rumahnya. Suatu hari aku tak sengaja mengintip dari balik
pagar, ternyata dia menyadari keberadaanku dan menceritakan hal itu pada
ibunya. Keesokan harinya, Ibu Dewa yang kenal baik dengan Mama bercerita bahwa semalam anaknya melihat hantu dari balik
pagar. Sejak saat itu mereka tahu bahwa hantu itu tidak lain dan tidak bukan adalah
aku. Karena peristiwa itulah akhirnya kami diperkenalkan, dan bersahabat baik.
Bahkan bisa dikatakan, aku tumbuh setiap hari bersama dan karena Dewa.
Dewa tidak bersekolah formal, hanya home schooling. Namun hal itu tidak membuatnya menjadi laki-laki
manja dan kurang pergaulan. Dia banyak membaca buku dan mengikuti
komunitas-komunitas remaja khususnya komunitas yang berhubungan dengan seni
melukis. Oleh karena itu, dia
memiliki banyak teman dari berbagai kalangan. Setiap akhir pekan tanpa alpa, ia
menghabiskan waktunya bersepeda di sekitar pantai denganku. Dewa termasuk salah
satu sahabat terbaikku, pendengar setiaku, bahu tempat bersandar, tukang ojek
sepeda, guru les, dan segalanya. Dia adalah Papa yang menjelma menjadi remaja.
Aku mengaguminya, dia pun mengagumiku.
“Kamu itu tidak ada duanya. Berkacalah, bahkan bayangan di
cermin itu mengagumimu.” tulisnya di kertas saat kami bermain surat-suratan.
Dalam pertemanan kami, kurasa akulah yang lebih peduli
terhadapnya. Mungkin karena aku perempuan. Aku menjadi orang yang paling
cerewet saat dia telat makan, telat minum obat, bangun kesiangan, bolos home schooling untuk berburu foto
serangga, atau saat dia pulang larut hingga membuat khawatir ibunya. Kurasa sikapku
itu beralasan, sebab didalam diriku mengalir darahnya. Aku pernah sekarat
karena kecelakaan mobil, dan darahnyalah yang membuatku tetap hidup. Sejak saat
itu aku bersumpah akan berkorban demi pria itu apapun yang terjadi. Sebagai
rasa terima kasihku, aku memintanya berjanji menjadi sahabatku selamanya.
Persahabatan kami lurus, meski terkadang aku jatuh cinta padanya.
Aku sering jatuh cinta pada diamnya. Walau aku tahu ia masih
dan akan menganggapku selamanya sebagai sahabatnya, mungkin saudaranya. Namun, diam Dewa adalah muara dari segala jawaban. Dewa tidak banyak berbicara dan dia
senang menjawab pertanyaanku dengan diamnya. Diam yang membungkam mulutku untuk
berhenti bicara dan mulai memahami.
*
Sore itu akhir pekan, kami sedang istirahat di sebuah bangku
dekat pantai Seminyak selepas bersepeda. Udara begitu menyenangkan dan
turis-turis berjemur berjajar-jajar bagaikan makarel dalam kemasan kaleng.
Dewa melepaskan headset dari
telinganya, selepas mendengarkan sealbum Dream Theater kesukaannya.
“Jadi dari tadi ceritaku tidak ada yang kamu dengar?!”
gertakku kemudian. Ia kemudian menampilkan penunjuk volume suara di iPodnya,
hanya tujuh persen.
“Terus kenapa pakai
headset segala? Buang-buang energi.”.
Dia hanya mengedikkan bahu sambil tersenyum. Kami pun tertawa kecil kemudian.
“Besok aku ulang tahun, dirayakan di lantai atas rumahku.
Teman-temanku semua datang, kamu datang ya? Aku ingin tahun baruan bersamamu.”.
Syukurlah, akhirnya aku mengatakannya. Aku, aku hanya takut dia melupakan
perjanjian itu. Sudah sepuluh tahun lebih aku mendambakannya, rahasia yang
kutunggu-tunggu untuk terungkap. Kapsul waktu itu.
“Berjanjilah padaku kamu akan datang besok.”
Aku kemudian menjulurkan kelingkingku, Dewa menyambutnya
dengan kelingkingnya. Sesederhana itu, jari kami mengikat satu sama lain dan
janji yang terucap tidak pernah ingkar.
**
Keesokan harinya, seluruh tamu telah berkumpul. Teman-temanku
di SMA, teman-teman dari sekitar rumahku, termasuk anak-anak kenalan Mama yang
sebaya denganku. Satu hal yang amat kusukai dari ulang tahun yang dirayakan
adalah karena pada hari itu semua orang meninggalkan urusannya untuk membuatmu
merasa istimewa. Aku menyukai ulang tahun karena di hari ulang tahunku Mama
akan berdandan sangat cantik, Nenek akan membuatkanku kue, Papa akan menelepon
tengah malam dan Dewa akan membuka satu rahasianya kepadaku. Aku dan Dewa
memiliki tradisi setiap kami berulang tahun, kami membuka satu rahasia yang
selama ini kami sembunyikan dari satu sama lain. Ulang tahun ke sembilan belas
kami ini menjadi istimewa karena sepuluh tahun lalu kami berjanji akan membuka
rahasia paling besar yang pernah kami sembunyikan dari siapapun. Maka dari itu
aku yakin, baik aku dan Dewa, rahasia kali ini pastilah memutarbalikkan dunia.
Rahasia yang akan kusampaikan pada Dewa kali ini...bisa jadi
mengakhiri hidupku.
Dengan jantung yang terasa mau melompat dari rongga dada, aku
berusaha sabar untuk menunggu. Aku membayangkan Dewa pasti akan berdandan
klimis dengan tuksedo dan pantofel, dengan rambut gondrong yang terpaksa diam disapu pomade, dan aroma sitrus di sekujur tubuhnya. “Pasti dia akan
sangat tampan.”.
Setengah jam, satu jam, akhirnya datang seseorang dengan
sepeda gunung. Sepertinya aku berbakat menjadi paranormal, dia berdandan tepat
seperti yang kubayangkan sebelumnya.
“Mau ke nikahan?” Aku menatapnya sambil tertawa. Dia
menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu terkekeh. Diambilnya bungkusan dari
keranjang sepedanya, seikat bunga.
“Untukku?” tanyaku. Dibalas dengan anggukannya.
“Terima kasih ya, Wa. Ayo masuklah. Sebentar lagi pesta
kembang api dimulai! Kamu pasti suka.” Kugandeng tangannya untuk berjalan ke
lantai paling atas dengan menaiki anak-anak tangga.
Setelah menikmati kue dan minuman, kami berdiri berdampingan
menatap pemandangan kota yang terlihat gemerlap. Cahaya lampu yang berwarna
warni semakin menambah keindahan malam menjelang tahun baru itu. Angin
berhembus pelan, menggoyangkan dahan-dahan cemara yang ditanam di pekarangan
rumahku. Jika tak ada pesta, malam ini mungkin akan sedikit sunyi. Namun semua
orang sedang menikmati pesta mereka, berdansa dan bernyanyi. Meninggalkan kami
berdua dalam sepi. Kami sudah tahu akan melakukan apa malam ini.
“Jadi bagaimana?” tanyaku tak sabaran. Dia kemudian
menggoyang-goyangkan satu amplop berwarna biru kepadaku.
“Ada disana?”. Dia mengangguk sambil tersenyum. Kami berdua
suit untuk menentukan giliran, dan dia kalah sehingga disodorkannya amplop itu padaku.
Tepat di belakang kami, para tamu sedang menyalakan kembang
api. Bunyinya bersiul-siul melesat ke angkasa, bermekaran dan meledak-ledak kecil. Tak
beraturan namun nikmat dipandang mata. Rupanya tahun sudah berganti, demikian
pula usiaku. Usia kami.
Amplop itu berwarna krem, bertuliskan tangan dari Dewa “Untuk
Somer, kamu tua sekarang.”. Aku tahu dia selalu tahu harus berkata apa untuk
membuat hari seseorang terkekeh. Aku tertawa canggung, antara bahagia dan gugup
bertanya-tanya apa isinya. Kupejamkan mataku, sambil perlahan menarik kertas
itu keluar dari peraduannya.
Oh Tuhan, jika aku harus mati sekarang maka biarlah. Aku
telah bersama orang ini jutaan tahun dan aku tahu dia tidak pernah main-main
dengan sebuah janji. Apa yang akan kubaca kali ini mungkin akan mengubah kayu menjadi abu atau menghancurkan bebatuan menjadi butir debu. Kali ini,
aku akan mengemis padanya sebuah kebahagiaan. Aku menyukainya. Aku tidak punya ide
bagaimana dia akan bereaksi terhadapku. Aku mungkin lancang, aku mungkin tidak
tahu malu, namun aku tak tahan lagi. Aku ingin paling tidak dia mengetahuinya.
Hanya itu saja, aku tidak berharap lebih,
tidak juga mengharapkan pembalasan.
Perlahan kubuka kertas putih bertinta biru itu.
“Kita ini saudara. Papa Edward adalah ayahku juga. Papa
meninggalkanmu saat usiamu dua tahun, saat itu aku lahir. ”
Seiring dengan selesainya kalimat itu, selepas huruf terakhir
hilang dari ujung pandanganku, pikiranku melayang entah kemana. Sementara itu,
debum suara kembang api dibelakang kami semakin keras, seakan berusaha
mengeraskan aku. Aku ingin Dewa menjelaskannya, tapi aku tahu sejak lahir Dewa tak bisa bicara. Dia
berkata-kata melalui tulisan dan isyarat. Otakku mulai gagal mengolah kosa kata. Aku berusaha tetap waras.
Jadi, sepuluh tahun aku menunggu untuk ini.
Segenggam rahasia milikku bagai benda cair yang menguap
seketika. Menjadi titik-titik embun di udara yang kami hirup. Aku urung, tidak
ingin dia mengetahui apapun lagi.
"Dewa..."
Kubiarkan kalimat itu tak selesai. Rahasia itu tak pernah terucap lagi.
31.10.14
Rentang
Kopi panas, dituangkan dari cerek besi yang mengkilat.
Cangkir yang semula kosong mulai terisi, perlahan tapi pasti.
Kopi itu berjatuhan teratur, mengayun lembut, menggemericik, menggelitik telinga.
Asapnya mengepul menari-nari.
Cangkirku pun terisi setengah penuh, menyisakan aku yang ragu-ragu. Haruskah kubiarkan saja?
Segera kulepas bimbang dan membiarkan sang kopi mengisi cangkirku hingga penuh.
Ia meluap sedikit, meluber ke meja-meja.
Kubiarkan saja.
Kupandangi cangkirku yang penuh.
Ingin kuicip namun kepul panasnya membuatku enggan.
Kubiarkan saja,
biar kutunggu hingga hangat.
Asap itu kemudian menghilang.
Terlalu cepat berubah wujud menjadi titik-titik air di udara.
Panasnya terlalu segera ingin lepas bebas di angkasa.
Kopiku mendingin.
Tak tertolong lagi.
Aku...
sudah enggan menikmatinya.
Barangkali kita pun hanya sesingkat rentang antara kopi panas dan berubahnya ia menjadi angin.
Yang lalu kita hirup dan menyesakkan dada.
Begitu singkatnya hingga tak sempat kunikmati.
Barangkali jika kau kopi, bolehlah aku menjadi cangkir.
Tempatmu bernaung meski sementara.
Cangkir yang semula kosong mulai terisi, perlahan tapi pasti.
Kopi itu berjatuhan teratur, mengayun lembut, menggemericik, menggelitik telinga.
Asapnya mengepul menari-nari.
Cangkirku pun terisi setengah penuh, menyisakan aku yang ragu-ragu. Haruskah kubiarkan saja?
Segera kulepas bimbang dan membiarkan sang kopi mengisi cangkirku hingga penuh.
Ia meluap sedikit, meluber ke meja-meja.
Kubiarkan saja.
Kupandangi cangkirku yang penuh.
Ingin kuicip namun kepul panasnya membuatku enggan.
Kubiarkan saja,
biar kutunggu hingga hangat.
Asap itu kemudian menghilang.
Terlalu cepat berubah wujud menjadi titik-titik air di udara.
Panasnya terlalu segera ingin lepas bebas di angkasa.
Kopiku mendingin.
Tak tertolong lagi.
Aku...
sudah enggan menikmatinya.
Barangkali kita pun hanya sesingkat rentang antara kopi panas dan berubahnya ia menjadi angin.
Yang lalu kita hirup dan menyesakkan dada.
Begitu singkatnya hingga tak sempat kunikmati.
Barangkali jika kau kopi, bolehlah aku menjadi cangkir.
Tempatmu bernaung meski sementara.
7.10.14
Things I Could’ve Missed
Each of human beings (normally) given a pair of eyes. They
could only see what’s visible. You may
hear that some others have their abilities to see something generally unseen. But luckily (yeah, i call that a
luck), i’m not those some others. I’m
just another ordinary human beings. I also am given a pair of eyes that can see
visible things. Those eyes function as well, but actually there’s one thing i
might regret having.
My eyes can’t see what’s going on behind me.
When i ask everyone why can’t I see behind, they just tell
me that it’s like i’m asking why the earth rotates. They say that’s how the
life works. It manipulates you, make you seem smarter and foolish at once. While
you’re doing something, somebody out there might have done their own stuffs without your permission and you
would have no idea how far those stuffs had gone.
I’m sad knowing my eyes could only be used to look forward.
And here i am starting to brag. Not that i’m not grateful. But
as a human, i’m given rights to wish some wishes that nobody could assure will
they be granted. What do I wish for? I wish i witness thing i shouldn’t have missed. I wish i could reveal secrets
that are concealed from me, secrets that recognize me as a stranger. But again,
I’m only human. And wishes that I’ve wished seemed to be impossible. Those wishes
belong to God, and did I just wish myself to have God’s power? I know the answer
is a ‘heck no’. As a human being i could only speculate, i could only think
about relativity including all the maybes and perhaps it makes.
So, if I should sum up it all and make some conclusion, then
it goes like this.
We are all human beings. We know we were born for some
reasons, but we never know what and which reason. But let me tell you what I
thought, this might break your heart so you better switch the tab or lost to
somewhere else. I’m going to say that you can’t have everybody on your side, no
matter how much they mean to you. It might be they don’t feel the same about
you and they just wanna get rid of you from the very beginning. And another
miserable fact is, that you can’t easily know what you wana know. Some facts
are purposedly hidden from you, don’t care if it’s good for you or bad for
you, they are just hidden that sometimes you have to put yourself on a long and
painful journey to finally unveil them.
One day, we’ll come up that we are already drenched of
sweats that we want to give up but we can’t. We can’t because we keep on
reminiscing the past and replay the once-thrown-to-the-garbage cassette. That day
we finally know that we’ve been a foolish for too long. We’re tricked by not-so-smarter-than-you
trickster and we regret for being so stupid. We’ll start to blame on life why
didn’t it give us more eyes to see, maybe some eyes that work like radar so we
could easily know just anything that
goes on. We’re warned whenever the
danger comes so we could anticipate for any kinds of destruction.
But, we aren’t meant to work like that. We’re all human, and
we’re meant to be heartbroken. Sometimes we learn, sometimes we cry, and the rest we spend by regretting. I
proposed for a radar to God but He seems like taking it as a joke, and i hate
that. I hate that because of me--my wish, all of us don’t have that kind of radar, that
we can’t anticipate and we could've finally invaded then eventually destructed into
pieces. Disposable ruins.
Look at us, look at me how fragile and breakable I
am. You could just break me up if you want to and I won’t be angry since I’m
too an understanding.
So, in the end I know I could only wish I don’t miss a thing. Whether it's forever a wish....i never know.
4.8.14
Aged
Aged (Another Birthday Post)
Lydia Annisa
August 2nd 2014, 9:59 am.
******
As the tide washed in, the Dutch
Tulip Man faced the ocean: “Conjoiner rejoinder poisoner concealer revealator.
Look at it, rising up and rising down, taking everyone with it.”
“What’s that?” I asked.
“Water,” The Dutchman said.
“Well, and time.”
An Imperial Affliction, Peter Van Houten
Doa dan
harapan. Bahwa dalam kehidupan nyata, tidak semua doamu didengar dan tidak
semua harapanmu diwujudkan. Kita tidak
akan pernah tau doa siapa yang didengar dan harapan siapa yang dikabulkan, maka
bersikap baiklah kepada semua orang. Bisa jadi orang yang kau benci adalah juga
orang yang didengarkan doanya. Bisa jadi orang yang kau benci adalah juga orang
yang membuat hidupmu kini bahagia. “Dunia ini bukan pabrik pewujud
keinginan.”
Doaku saat itu...tidak dikabulkan.
Jam itu
berdenting lagi. Belum di dua belas. Aku masih bergeming menatap langit-langit
ruang balok ini, teringat malam yang diiringi doa-doa dan segala tetek
bengeknya. Lagu yang kembali diputar, lagu berkekuatan magis yang dengan
sekenanya memutar balik segala sesuatu jauh pada masa sebelum cahaya.
Menjungkir balikkan pendengarnya, menempatkannya pada satu seat roller coaster
dan membawanya berlari, berpacu dengan
angin. Kembali dilewatkan pada sejumlah pigura berisikan momen-momen
berharga yang entah siapa sudi mengabadikannya. Membuat pengengarnya kembali teringat. Di hari ini, tepat setahun
yang lalu. Segalanya masih terasa utuh, aku dan mereka dan semua yang
kehadirannya amat kusyukuri. Semua hal yang saat itu kudoakan agar bahagia,
orang-orang yang kuharapkan untuk tidak pergi. Aku hanya bertanya-tanya,
bagaimana orang-orang dengan keindahan sedemikian hanya sempat singgah dan tak
bisa tinggal? Bagaimana orang-orang ini penuh dengan kesesaatan. Semu.
Namun biarlah.
Sebab mereka, menuntunku kembali disini. Teman-teman, aku merindukan kalian.
Satu
pertanyaan: What’s so sweet about
seventeen?
Ini buat yang
ngerti aja ya, setahun terakhir, umur tujuh belasku yang kurasa tidak ada
sweet-sweet nya malah membuatku ingin menangis. Saat mengingatnya, aku kembali
melihat diriku yang menyedihkan berusaha mengais harapan akan sesuatu. Yang
ternyata berujung sia-sia (finally said it). Seperti yang kamu tahu, banyak
usaha di dunia ini yang tidak membuahkan hasil, maka jika yang berusaha saja
tidak berhasil, bagaimana dengan yang tidak berusaha? Aku mengatakannya
karena aku TIDAK percaya pada keberuntungan, aku hanya percaya kerja keras.
Somebody told
me that “Almost is never enough, but on
our way to the ‘almost’ we must have learnt a lot”. Apakah mudah menerima
kalimat tersebut? HECK NO. Aku marah saat mendengarnya, karena aku tidak
terima. Aku tidak menyukai ‘hampir’. Aku tidak akan menjadi ‘hampir’ untuk
kesekian kalinya. Ini ‘hampir’ yang membuatku nyaris gila. Dan untuk menerima
kenyataan itu, aku hanya harus berdamai dengan diriku. Hal yang ternyata sulit. Sudah terlalu banyak aku
menyalahkan diri atas segala sesuatu yang kurasa tidak seharusnya
dipersalahkan. Namun ya sudahlah, each story has an end anyway. Sudah kubilang
ini buat yang ngerti aja :)
Dan bagaimanakah
satu tahun mendatang? Would it be sweet-eighteen?
Semua ini akan
kembali pada malam ketika aku tidak bisa tidur, jantungku berdebar luar biasa.
Kembali terkapar di ranjang dengan headset terpasang tanpa lagu. Bolak-balik
menatap layar dengan interval 1 menit, berharap seseorang dari jauh memberi
kabar. Tapi dia, tidak disana. Tidak
di layarku. Aku gelisah namun juga setengah mengantuk. Hingga akhirnya
kuputuskan untuk tidur.
Lima belas
menit saja setelah aku berpikir betapa konyolnya pengharapanku. Aku telah
tersakiti pikiranku sendiri. Lima belas menit tertidur. Dan kemudian, lagu itu
bernyanyi. Terlalu keras untuk seseorang yang tanpa sengaja menyalakannya di
hari selarut ini. Seseorang mengetuk pintuku beberapa saat kemudian. Dan aku,
yang setengah hidup mengumpulkan nyawa, dengan
rambut berantakan macam bujang
ganong, muka bantal, mata belekan, tanpa sempat berkaca, aku keluar mencari
tahu siapa dibalik pintu.
“Selamat ulang
tahun!”
Dia.
Dia.
Dia.
Tidak di
layarku.
Dia disana,
dibalik pintu kamarku.
Seseorang yang bahkan kami tak sempat berkenalan. Yang datang cepat-cepat memasuki hidupku
dan tiba-tiba tak kurelakan pergi. Dia yang terus berlari meninggalkan masa
lalu, yang selalu ingin kuseka keringatnya untuk kutuntun berjalan. Dia yang
lelah. Basah kuyup. “Andai aku bisa
menjadi tempat yang teduh.”
“Sinyalnya
jelek lho, nyari sinyal sampe sini.” Katanya dengan cengiran signature-nya. Dia
terlihat berantakan sekali. Senyuman ke kiri yang diam-diam kurindukan. Yang
kubalas dengan jurus tendangan samping ala anak kempo kemudian, tepat di tulang
keringnya.
Aku kembali
bingung. Aku yang masih terbengong-bengong mengingat ini belum jam dua belas
dan mengapa semua orang melakukan ini dan mengapa ada dia disini dan mengapa
aku tidak siap dan seluruhnya. Tidak ada yang kumengerti jika ini bukan mimpi.
Hatiku
diliputi perasaan hangat seketika. Aku ingin menangis, menghambur ke pelukan
mereka untuk kesekian kalinya. Betapa hari-hariku yang buruk ternyata memiliki
akhir bahagia, mereka, dan dia. Ya Tuhan, apa aku sudah tidak bersyukur?
Semua pun
menyuruhku berdoa. Sedetik, aku terdiam. Aku takut berdoa, didepan semua orang
ini. Didepan kue, dan lilin. Semacam trauma akan doa yang tidak diwujudkan. Namun
aku tahu, seperti semua kenangan buruk, semua harus ditelan bulat-bulat. I
prayed, anyway. Untuk diriku, untuk semua orang, untuk semesta. Semoga kita
semua hidup dengan saling menghargai. Semoga kita semua dianugerahi bahagia.
Aku terlalu
bersyukur atas hari itu.
Aku memiliki
segalanya.
**
Dan, ya. This
is just another birthday post FYI. Sebuah kenyataan pahit atau menyenangkan,
aku tidak tahu. Aku sudah pernah membahas hal ini dengan seseorang diluar sana,
betapa menjadi tua itu benar-benar hukum alam dan menjadi dewasa adalah sebuah
pilihan. Ada kalanya kamu belum cukup tua namun dituntut untuk dewasa, dan ada
kalanya kamu sudah tua namun dihadapkan pada hal kekanak-kanakan. Sekarang, aku
sudah besar. Bukan tujuh belas lagi, tapi tujuh belas tambah satu. Aku delapan
belas tahun woy (nyalain kembang api: dziuuuuu jdarrr), sudah tidak bisa
dibilang anak kecil lagi. Namun dewasa juga belum, ah bagaimana ini aku di umur
transisi.
Jika ditanya
siap atau tidak siap, jelas aku tidak siap. Sayangnya siap atau tidak siap pun
berubah menjadi pernyataan “Siap atau tidak, ini dia delapan belasmu”. Hah, hidup
tidak pernah bertanya dahulu. Aku benci pernyataan -_-
Menjadi 18
adalah dimana kamu dituntut untuk dewasa, mengerti segalanya, meningkatkan
iritabilitas atas segala sesuatu, dan mulai membentuk diri menjadi wanita. Literally, wanita. Dan siapalah aku ini untuk menjadi seorang wanita
seutuhnya? Masih begundal begini. Tidak bisa berpakaian dengan benar, tidak bisa
memasak, tidak bisa menyetir, tidak bisa momong anak kecil (well i only
interact with well-speaking person), tidak bisa merias diri, tidak mengenal bedak (apa itu
bedak?),. I started to wonder why girls have to hurt themselves
just to look pretty in the morning? Why don’t you just show who you really are
and let people decide whether they like you or not? ‘Cause being liked or
disliked are no longer your concern, it’s their rights. But when it comes to reasons,reasons in the wall, I don’t know what’s right and wrong
anymore.
Mungkin,
setahun lagi aku tidak lagi disini. Mungkin aku tidak sempat menulis birthday
post lagi, mungkin ini yang terakhir. Mungkin, masa remajaku sudah di masa
tenggangnya. . Bahkan bisa jadi, aku akan kehilangan semua hal yang secara
harfiah disebut kesenangan. Dan semua kemungkinan lain yang terlalu menyedihkan
untuk disebutkan.
Selain akan
hidup di lingkungan Universitas (meen bentar lagi ini ingus jadi anak
kuliahan) I’ll be in the University of Life. Dimana aku menjadi presiden akan
kehidupanku sendiri, and rely on nobody. Hidup akan segera dimulai, yang aku
tahu karena ia membuka gerbangnya sedikit untuk kuintip. I’m totally excited of
what’s coming up next in my life!!
Aku sadar
bahwa masih ada begitu banyak hal yang perlu kupoles. Caraku menyelesaikan ini
itu, caraku menghadapi hidup yang sesungguhnya (yang membuatku tidak yakin
apakah hidupku sebelum-sebelumnya bukanlah ‘hidup yang sesungguhnya’). Maksudku,
lihatlah aku. Kumal, berantakan, berisik, masih suka meracau soal karakter
fiksi yang tidak dapat dimengerti orang lain,
masih punya teman khayalan, dan semuanya. Bocah ini (tunjuk jidat
sendiri) akan menjadi anak kuliahan yang dituntut untuk serba sistematis, yang
kemudian dia bertanya “Nanti kalo ujian kertas soalnya boleh digambar-gambarin
gak?”. Ah, aku juga lelah mengatasi bocah ini. Kadang aku lelah dan ingin
menjadi orang lain. Pernah kucoba, dan ternyata lebih membosankan. Yang
membuatku menyadari bahwa, ternyata hidupku
indah, tidak membosankan, penuh karakter lucu seperti jamur bicara dan kuda
poni dan unicorn. Dan Gumball dan Darwin. Hal-hal yang tidak kutemukan di hidup
orang lain.
Kadang ketika
kesempatan datang padaku, yang kulakukan hanyalah ingin menghindar. Bersembunyi menunggu saat yang paling tepat--yang rasanya tak pernah datang. Tetapi
semua orang sudah mendapat gilirannya, dan ini giliranku. Tidak bisa ku pass ke siapapun karena tidak akan adil bagi semua orang. You’ll only get one shot
and this is the time to do something right. Just dunk your ball to the ring and
make some numbers.
I’m ready.
28.6.14
Jika Kamu Bukan 'Politikovora'
First of all, JIKA KAMU MERASA NGGAK SUKA POLITIK DAN SEGALA BAHASAN TENTANG POLITIK, I'M SURE YOU GOTTA THINK THREE TIMES.
Pesta demokrasi di Indonesia super rame yah! Sumpah ngerasa beruntung banget berada di lingkungan orang-orang yang peduli terhadap pasang surut politik negaranya. It was fun, but somehow the intricks tickle me either. Kali ini saya bakal bahas soal politik menjelang pemilihan presiden di Indonesia, jangan berharap bahasan tinggi-tinggi karena saya bukan pakarnya. Politik itu bukan bidang saya, bukan makanan sehari-hari. Jadi heat menjelang pilpres ini sedikit banyak membuat saya terbiasa dan mau tidak mau ikut-ikutan terlibat juga ngomongin politik. “And this heat makes us forget for a while how our current president sucks” (Revolutia said)
Jadi, 9 Juli nanti saya (kita semua deng) akan memilih
Presiden yang akan menggantikan Presiden kita yang sekarang ini. Ada dua
pasangan capres dan cawapres yang sekarang ini bener-bener jadi pembicaraan,
bahkan bulan-bulanan masyarakat dan media massa. Sudahkah kamu menentukan siapa
yang akan kamu pilih nanti? Jika ya, alhamdulillah, better keep it in mind. Jika
belum, ada baiknya untuk mempelajari seluk beluk calon pemimpinmu lebih dalam. Karena
berdasarkan pengalaman saya waktu pemilihan legislatif dulu, i really got
nothing to do but nyoblos membabi buta karena gak kenal nama siapapun di kertas
segede gaban (yang kalo dibuka penuh bisa menuh-menuhin bilik suara) (yang bisa
aja keliatan dari luar dan dicontek orang) (ah sudahlah..). Waktu itu saya
benar-benar tidak mengerti bagaimana cara kerja mereka-mereka yang saya pilih itu
dan apa untungnya untuk saya, jadilah saya ngawur milihnya.
Dan di pilpres kali ini, saya nggak mau kaya gitu lagi. Saya bertekad untuk benar-benar mempelajari keempat calon ini secara mendalam karena orang-orang inilah yang nantinya akan membawa perubahan pada Indonesia kita. Indonesia kita yang sekarang terasa amat membosankan, yang mulai kehilangan Pancasilanya. Maka mulai dari sekarang, mulailah kalian membaca, bertanya, dan menyimak keadaan sebanyak-banyaknya.
Dan di pilpres kali ini, saya nggak mau kaya gitu lagi. Saya bertekad untuk benar-benar mempelajari keempat calon ini secara mendalam karena orang-orang inilah yang nantinya akan membawa perubahan pada Indonesia kita. Indonesia kita yang sekarang terasa amat membosankan, yang mulai kehilangan Pancasilanya. Maka mulai dari sekarang, mulailah kalian membaca, bertanya, dan menyimak keadaan sebanyak-banyaknya.
Well, sekali lagi saya bukan Politikovora. Namun hal-hal yang
saya lakukan dalam rangka tindakan preventif mencegah salah pilih mungkin dapat dicontoh..
Debat merupakan salah satu cara agar kita dapat
menerawang lebih jauh tentang bagaimana seseorang beropini, menyampaikan pendapatnya.
Melalui debat kita dapat melihat intelijensi seseorang dalam menanggapi
pertanyaan-pertanyaan kondisional yang disampaikan oleh si moderator, dan akan
terlihat apakah si calon benar-benar memahami permasalahan dalam pertanyaan
atau hanya mengumpulkan pengetahuan-pengetahuan dasar dari apa yang ia ketahui
berhubungan dengan permasalahan tersebut.
Seluruh pertanyaan tersebut erat
kaitannya dengan kehidupan memimpin dan bermasyarakat, serta isu-isu global
terkait dengan hubungan internasional negara kita. Maka dengan mendengarkan
jawabannya, saya rasa cukuplah bagi kita untuk mengetahui di permukaan tentang way of thinking-nya para kandidat dalam
menyelesaikan permasalahan yang mungkin muncul pada saat dia memimpin nantinya.
Sedangkan what matters the most adalah kembali pada bagaimana si calon menjawab pertanyaan-pertanyaan impromptu, yang juga bisa kita artikan sebagai keadaan mendadak. Paling tidak jika dia bisa menjawab pertanyaan dengan baik (literally good), bisalah kita menganggap bahwa dia mampu dan siap untuk semua keadaan darurat yang mendadak.
1,5. Nonton debat sambil buka timeline.
Terlepas dari asyiknya nonton debat, saya sarankan untuk buka timeline media sosial apapun sesaat atau setelah penyampaian jawaban. Karena pengisi timeline adalah gabungan dari berbagai jenis masyarakat, Bhinneka Tunggal Ika dalam skala kecil lah intinya. Sehingga selama berjalannya debat, atau setelah penyampaian argumen kedua calon kita dapat melihat how people interprete about what they’ve just seen on TV. Dan itu menyenangkan dibanding terjebak dengan pemikiran-pemikiran sendiri yang kadang nyesatin. Dengan melihat bagaimana masyarakat menyimpulkan, in the end of the day kita juga akan menyimpulkan, right?
2. Lihatlah siapa calon yang dipilih oleh sosok idolamu.
Ini hal yang ratingnya paling atas buat saya. Sebagai
politic-rookie, yang gak punya basis apa-apa soal politik, apa lagi sih yang bisa saya lakukan selain baca hasil
pemikiran orang tentang politik itu sendiri?
Saya suka penulis-penulis muda yang berpikiran bebas dan anti-egosentris, yang tentunya objektif. Saya follow update-an dia di sosmed manapun, semua artikelnya saya baca khususnya yang berbau politik berkaitan dengan pilpres ini. Dan ini benar-benar membantu saya dalam memilih, karena mereka menyampaikan keberpihakan mereka secara beralasan. Dan alasan tersebut elegan karena didasari oleh fakta. Dan saya suka.
Namun saya tidak recommend mereka yang memihak pada satu sisi tanpa alasan yang konkret, tidak berdasarkan fakta, apalagi hanya ikut-ikutan. JANGAN PERNAH mengiyakan argumen kosong yang nggak ada dasarnya. Jika kamu ingin menilai seseorang, nilailah apa yang telah dia lakukan, bukan apa yang akan dia lakukan. Cause we know everyone has a dream, with ways that sometimes not lead us to our destination. Paham ga? Paham ya :D
3. Tanyalah mereka yang sudah memilih, mengapa mereka memilih calon tersebut?
I once had
friends, dan saya rasa mereka sudah tegas memilih siapa calon yang mereka
pilih. Saya yakin kalian juga begitu, tidak mungkin tidak. Maka dari itu
sempatkanlah waktu untuk bertukar pikiran tentang pilihan mereka. Namun
pertama-tama berilah ackowledgement bahwa kamu gak ngerti apa-apa soal politik
dan pengen banget belajar. Berilah lawan bicaramu mindset bahwa kamu adalah kertas
kosong yang siap ditulisi dan diberi poin-poin yang perlu diingat, sehingga ia tidak merasa diintimidasi atau merasa kamu mencoba mengorek kelemahan calon yang ia pilih untuk dijadikan bumerang. Kemudian
tanyalah tentang mengapa dia memilih calon tersebut, jangan mencoba membenarkan
anggapan apapun yang dia sampaikan. Walaupun kamu keras kepala, cobalah untuk
berkepala dingin dan memborgol setan-setan dikepala biar gak kabur saat kamu
memiliki pemikiran berbeda. Intinya, posisikan dirimu sebagai seorang
pendengar, seseorang yang lagi dicurhatin. Jika dia sudah selesai berpendapat,
maka simpulkanlah.
Sounds easy, ha? Iya.
Jadi, let me suggest you kalau pemilu tahun ini jangan golput lagi. Karena sebenarnya kamu akan lebih dekat dengan Presiden daripada dengan legislatif. Dialah yang nanti memberikan influence pada kamu dan keluargamu. Dialah yang nanti menjadi The Man of Indonesia, yang baik buruknya negara ini—all the burdens are on his shoulder. Yang nantinya akan kita serbu kalau dia salah, dan kita sanjung kalau dia benar. Jika kamu golput, maka kamu tidak memiliki hak itu, untuk mengkritisi. Karena kamu tidak memilih sebelumnya, kamu tidak berpihak pada siapapun dan how on earth can you blame one side (which means actually you’ve decided, but you don’t show it)? Because that someone in the guilty side might happen standing there because of your own fault of not choosing. See? Semua orang memiliki peluang untuk menjadi yang bersalah, maka dari itu benarlah frasa bahwa ‘satu suara anda menentukan masa depan bangsa ini’, who knows kalau calon presiden yang seharusnya membawa berkah gagal menjadi presiden hanya karena kalah satu suara—yang ternyata itu adalah suaramu yang tidak kamu gunakan, dan digunakan orang lain untuk memihak di sisi yang lain.
It’s okay to be a rookie ‘cause that means you're someone who gotta learn
more and more, maybe much more than those experts. So, know the candidates and
use your voice wisely.
Happy voting!!
26.6.14
To Choose and To Be Chosen
Untuk menjalani hidup adalah untuk memilih, itu bukan sekedar quotes. Bukan sekedar bualan untuk seseorang menjadi decisive di setiap keputusan yang akan seseorang ambil. Sebab nyatanya, untuk memilih pun ternyata manusia harus memilih—apa yang dia inginkan dan apa yang seharusnya dia inginkan. Rumit bukan?
Bahwa kita selalu memiliki sesuatu yang kita banggakan. Sesuatu
dimana ia adalah segalanya dan dengan memiliki sesuatu tersebut kamu merasa
tidak ada hal lain di dunia ini yang kamu inginkan. Sesuatu tersebut membuatmu bekerja
keras, berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Sesuatu tersebut menjadi pemandangan
dalam khayalmu sehari-hari, hadir di mimpimu, dan menghantui dunia nyatamu. Namun
seringkali sesuatu tersebut
ditakdirkan untuk kita tidak memilikinya, seringkali kita hanya diberikan hak
untuk menginginkannya sepanjang waktu hingga bosan dan akhirnya berpaling.
Namun selama kamu menyibukkan diri mencari sesuatu itu, di
belahan dunia lain ada seseorang yang menjadikanmu sebagai sesuatu. Kamulah sesuatu
bagi seseorang itu, kamulah yang dimimpikannya, dan kamulah yang diinginkannya.
Namun kamu terlalu buta untuk menyadari itu, saking seseorang itu selalu
menjadi bayanganmu dan mengikuti kemanapun kamu pergi tanpa kamu sadari. Seseorang
yang begitu mengharapkanmu itu hanyalah kau anggap sebagai berkas cahaya gelap
dirimu. Seseorang yang mungkin saja
menyebut-nyebut sesuatunya dalam
setiap doanya di dini hari, memohon pada Tuhan agar suatu hari ia mampu
memilikinya. Tanpa peduli sesuatu itu menginginkannya kembali atau
tidak.
Kadang di suatu hari dalam hidupmu, semesta akan
mempertemukanmu kepada sesuatumu di tengah-tengah lini masanya. Disaat yang
sama, semesta pula yang mempertemukan seseorang lain dengan sesuatunya. Kesempatan
itu mungkin hanya datang sekali dan menyisakan seribu teka-teki yang hanya
dapat dijawab jika mereka yang bertemu saling bertanya—bertegur sapa. Tetapi manusialah
yang seringkali terlalu takut untuk diabaikan, untuk malu, untuk kalah, dan
untuk menerima. Semua itu wajar dan sangat manusiawi. Namun bahkan bagi mereka
yang cukup berani bertanya pun, tak ada yang menjanjikan bahwa sesuatu tersebut
menyanggupi untuk tinggal—menyanggupi untuk
dimiliki. Mengapa demikian? Karena semesta mungkin menakdirkan keduanya hanya untuk bertemu, bukan untuk saling
memiliki.
Maka suatu hari dalam hidupmu, kamu akan dihadapkan pada
suatu keadaan dimana kamu tak mau lagi memilih karena dihantui kecewa. Di hari
itu pilihanmu adalah sepenuhnya salah dan kau ditinggalkan sendirian untuk
menyadarinya bahwa pilihan tersebut tak pernah seharusnya kau pilih. Suatu hari dalam hidupmu, kedua matamu akan
terbuka lebih lebar dari biasanya, mendengar lebih banyak dari biasanya,
berpikir lebih keras dari biasanya dan merasakan lebih dalam dari biasanya. Suatu
hari kamu akan menjadi seseorang yang lebih dari biasanya, kelebihan yang ternyata menuntunmu menuju sesuatu. Sesuatu itu adalah
mereka yang menjadikanmu sesuatu. Bayangan
hitam itu perlahan akan berpendar menjadi sosok bukan kau yang kau lihat dalam
cermin. Sosok yang selama ini menjadikan segala tentangmu sebagai petunjuk arah,
yang mengagumi bayanganmu, sosok yang menjadikanmu tujuannya. Dengan izin Tuhan,
kamu tak merasa mendapat apa-apa namun seseorang itu mendapatkan sesuatunya. Namun kau tahu, janji Tuhan
itu luar biasa ...
..di penghujung hari kamu akan tersenyum bahwa menerima diri menjadi sesuatu itu menyenangkan, lebih
menyenangkan dibandingkan terus-terusan memilih
dan tak pernah tahu pantas-tidaknya. Di pernghujung hari kamu mengalah untuk
tidak memilih lagi, dan menyerahkan diri untuk dipilih. Sehingga bahagiamu
terletak pada bahagia orang lain, terbagi dan tak putus-putusnya.
22.6.14
What Love Is
So when you ask what love is, you may be too frightened to see the answer. It may mean complete upheaval; it may break up the family; you may discover that you do not love your wife or husband or children - do you? - you may have to shatter the house you have built, you may never go back to the temple.
But if you still want to find out, you will see that fear is not love, dependence is not love, jealousy is not love, possessiveness and domination are not love, responsibility and duty are not love, self-pity is not love, the agony of not being loved is not love, love is not the opposite of hate any more than humility is the opposite of vanity.
So if you can eliminate all these, not by forcing them but by washing them away as the rain washes the dust of many days from a leaf, then perhaps you will come upon this strange flower which man always hungers after.
— Jiddu Krishnamurti
Ranks
Halo, bagaimana rapornya?
Langsung aja
deh disentak sama nilai rapor, lagi hitz soalnya. He, iya. Jadi ceritanya
kemarin baru nerima rapor dan segala tetek-bengek ocehan soal kelas tiga. Iya,
aku naik kelas tiga and it feels good. Sebentar lagi, eh bukan, sekarang
topiknya bukan tentang “nanti IPA apa IPS?” tapi udah ganti tentang “mau
nerusin kemana?” and to be honest, my answer is still a blur. I think about it
like all the time, i’m always scared where am i gonna live in, what will i
become, how my future would be. Hah, it’s no longer too soon to think about
such kind of stuffs because actually you’re never too soon to think about
future. Back to the topic, i just got my academic report and i think so does
everyone, every nervous eleventh grader and now let’s limit this monologue to
the life of me and my all 11 graders in my school, which is now all of them had
been seniors, and we’re on the highest caste of school.
Sekolah itu
apa sih? Tempat kita menuntut ilmu?
Nggak. School is
a way mooooore than that. Karena di sekolah kamu gak cuma belajar, matematika
fisika kimia geografi atau apalah itu, but you also socialize. You make
friends, you know people, you experience feelings of being accepted and
praised, you make good relationships out of it. But first, let me talk about
the academical things. These things been inside my head for a quiet forever and
when i think about it i feel like my head’s gonna explode.
When we first
entered the school, we’ll be classified into some categories whether you’re a
brainy, you’re a creative, or you’re just a jerk who only seek for certificate
of graduation. And since then, everything is mapped and mixed over again for
those things to be gotten into another class. In a good deed that they could
share and fulfilling each others’ cavities. (pardon my random diction). Di sekolahku
sendiri juga seperti itu, murid-murid dikelompokkan kedalam kategori tertentu,
ada murid pintar, ada murid yang hanya besar keinginan belajarnya padahal
aslinya nggak pintar, ada yang Cuma ikut-ikutan sekolah, dan ada yang termasuk
golongan terbuang. Iya, terbuang. Semua
jenis murid dengan sumber daya masing-masing itu kemudian dimasukkan kedalam
satu kelas. Dan akhirnya mereka akan mengerti satu sama lain, di dalam kelas itu.
Tapi kelas
bukanlah hanya tentang awal dan akhir saja, sebab diantara keduanya benar-benar
terjadi sesuatu. Sesuatu yang sering diremehkan namun seharusnya tidak, sesuatu
yang biasanya dianggap enteng dan tidak dianggap (karena saya pernah
mengalaminya). Kita tahu bahwa naluri manusia adalah untuk berkompetisi, hal
itu akan menjadi baik jika mereka yang berkompetisi berasal dari level yang
sama—mahluk dengan makanan yang sama. Kompetisi ini pun terjadi di lingkup
kelas, namun yang terjadi kadang lebih kepada persaingan tidak sehat. Jenis persaingan
ini muncul karena terlalu beragamnya jenis manusia yang hidup didalamnya,
sehingga keseluruhan manusia dengan makanan
berbeda-beda tersebut terbutakan oleh satu tujuan, menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Manusia-manusia ini sibuk
menggapai apa yang tidak mereka inginkan, dan menekuni apa yang tidak mereka
suka. Padahal untuk menikmati hidup, we gotta do what we love and love what we
do. Saya pribadi tidak suka terlibat dengan kompetisi jika disandingkan dengan
orang-orang yang (saya rasa) tidak sejalan, tidak se-makanan dengan saya. Kompetisi
dalam suatu kelas akan memberikan kita output berupa si pintar dan si bodoh, tidak
peduli seberapa pintar kamu mencari alasan untuk tidak menyebutnya seperti itu
namun itulah kenyataannya. Mereka yang pintar akan selalu dipuja dan
dielu-elukan, diperlakukan spesial. Sedangkan mereka yang bodoh akan selalu
merasa tersudut, terbelakang dan ditinggalkan hingga semakin bodoh. Karena perlakuan
yang demikian, maka si pintar akan menjadi semakin besar kepala dan menganggap
remeh sekitarnya, mencari award membabi
buta hingga dia semakin dielu-elukan. Jika demikian, tinggallah si bodoh—yang ternyata
tidak terlalu bodoh untuk membuktikan bahwa ia juga bisa menjadi si pintar, ia
juga bisa dielu-elukan seperti si pintar. Si bodoh akan melakukan apapun, every
single thing, bahkan hal terburuk sekalipun untuk menjatuhkan atau paling tidak
bisa sejajar dengan si pintar. Dan suatu saat kita akan mengetahui bahwa si
bodoh yang akhirnya sejajar dengan si pintar, masih kurang dianggap. Guru-guru
masih memandangnya rendah, karena label itu telah tertempel di jidatnya dan
susah sekali untuk hilang unless they do something remarkable....for the
teacher itself.
Jujur saya
katakan bahwa saya tidak sangat pintar atau
sangat bodoh untuk dipandang para
guru. Namun hidup diantara keduanya kadang membuat saya merasa dunia ini begitu
singkat hanya untuk memperjuangkan hal yang kurang penting. Katakanlah, saya
memiliki seorang teman, sebut saja Wati. Wati ingin sekali kuliah di
kedokteran, namun karena semua orang meremehkannya dan menganggap dia rendah,
jiwanya menjadi marah dan membuktikan apa yang dia bisa. Dia pun terobsesi
untuk menjadi yang terbaik,ambisinya begitu besar mengalahkan kemampuannya
sendiri. Sehingga ia tumbuh menjadi monster yang siap menerkam siapa saja yang
mencoba untuk menghalangi jalannya. Ia tidak mau berteman dengan siapapun, ia
tidak suka bermain, she doesn’t think about boys (which normal girls does), dan
ia berhenti bersenang-senang. Hidupnya dihabiskan untuk memaksakan dirinya
mempelajari apa yang tidak dia sukai, tak tidur semalaman hanya untuk melakukan
hal yang tidak penting, mencari perhatian guru (yang merupakan sesuatu yang
sangat saya hindari), merengek saat nilainya 8 (padahal teman-temannya 4,5,6), mencurigai
teman yang dianggapnya biasa namun bisa melampaui nilainya (termasuk saya), dan
lain-lain. Wati beranggapan tidak ada seorangpun di dunia ini yang boleh
melampaui dirinya karena “Hey you aku mau ke kedokteran, aku ini pinter banget dan
kamu bodoh banget ha ha ha”.
Entah itu
karena saya yang sama sekali tidak tertarik masuk kedokteran atau saya merasa
dia sangat, sangat memaksakan dirinya hingga mengubah dia yang dulu saya kenal.
Wati berubah menjadi nenek sihir dan saya tidak mengenalnya lagi. Demi apa
semua itu? Demi nilai. Hitam diatas putih. 1 diatas 2. Wati mengorbankan
semuanya demi predikat ‘si pintar’ dan ‘anak guru’. Wati terus-terusan
mengincar siapa saja saingannya yang dia pikir kompetitif. Dia bahkan mengincar
saya yang dulu peringkatnya tepat diatasnya. Segala cara dia lakukan untuk
menjatuhkan saya, namun apa daya saya tidak peduli. Saya tidak suka diajak
berperang, dan saya tidak suka Wati. Jadi
saya cuek saja, saya tetap menjalani hidup seadanya tanpa memaksakan apapun, tetap
melakukan apa yang dulu selalu lakukan tanpa ada niat untuk mengungguli Wati. Tapi
di akhir cerita? Saya masih diatas Wati, 2 peringkat diatas Wati. Singkat kata,
dia mengirimi saya pesan singkat berisi pertanyaan..tentang nilai, yang tentu
saja tidak saya tanggapi. Ada secuil rasa puas dalam diri saya, yang ternyata
masih terlalu dini untuk saya rasakan. Ada hal lebih besar menunggu saya
didepan, sesuatu yang mungkin kuat dan mau tidak mau harus saya taklukkan.
Saya...tidak
bisa menangkap dengan jelas kesimpulan atas semua ini. Tetapi saya katakan
bahwa, sistem ranking di sekolah dapat
mengubah seseorang menjadi monster mengerikan. Monster gila hormat, atau
monster yang aslinya cuma budak
ambisi orang lain. Ranking di sekolah membuat semua orang jadi peduli tentang
apa kata orang lain dan menjadi kurang bebas dalam berekspresi, ranking membuat
semua orang takut salah dan gagal. Karena
di sekolah, apa yang diranking adalah hanya pelajaran itu-itu saja, which is
fun thing for a bunch of people, but not the others. Karena di sekolah, jika
kamu juara OSN Matematika kamu akan dipanggil pintar dan jika kamu juara
bermusik kamu tidak akan dipanggil pintar. Padahal kita tahu hakikatnya
kemampuan berpikir analitis, logis,dan kemampuan numerikal aslinya merupakan
kemampuan genetis tergantung perhubungan syaraf yang terbentuk semasa tumbuh
kembang bayi. Hal bersifat genetis, merupakan hal yang tidak dapat kita ubah. Kita
sibuk memaksakan diri untuk mengubah sesuatu yang tidak dapat kita ubah dan
melupakan definisi bahwa manusia lahir dengan kemampuannya masing-masing, yang
semuanya itu unik. That’s what makes us us, that’s what matters the most. Kita dipenjara
selama kurang lebihnya 12 tahun untuk bisa bebas menentukan pilihan kita
sendiri, perkuliahan. Selama 12 tahun kita dididik untuk menjadi seperti orang lain, kita tidak dididik
untuk mencintai diri sendiri dan menjadi sebaik-baik diri. Kita tidak diajari bahwa
untuk menjadi hebat kamu tidak harus menjadi orang lain, merubah total siapa
kamu untuk menjadi dia, melainkan cukup
jadi kamu yang terbaik. Be yourself, your best self. Hanya itu, sesuatu yang
implisit yang tidak semua orang mau menyiratkannya. Maka saya berharap, di
dunia ini tidak ada sistem ranking sekolah, sehingga setiap jiwa muda akan
menjadi bebas tanpa merasa hidup dalam sangkar, mereka tidak akan takut lagi
jika remidi Kimia (saya banget yang ini), mereka tidak akan memaksakan diri
untuk mendapatkan pujian dari guru, dan yang paling penting, mereka tidak akan
takut lagi untuk menunjukkan apa yang dia bisa.
Subscribe to:
Posts (Atom)