26.2.15

Ketika Mendengar 'Waiting In Vain'

"Kemarilah.
Berikan tanganmu.
Akan kuajak kamu pergi, sebentar saja."

Bergantian kau pandangi, antara dia dan aku.
Kamu pun mengangguk, meski ragu.


"Aku akan membawamu ke suatu tempat yang tinggi."
Pasrah, dua roda itu berputar berderit-derit. Mengeluhkan berat kita yang semakin besar tiap harinya, oleh dosa. 

"Kamu mau membawaku kemana?" kau pun bertanya. Yang kemudian hanya kubalas dengan senyuman.

Setibanya disana, kamu pandangi sekitarmu. Tempat itu lama tak kamu sambangi, bahkan kamu lupa pernahkah kamu mengunjunginya. Jika tempat bisa bicara, mungkin ia sangat merindukanmu. Sangat.

Kemudian gemintang itu berkilau-kilau memanja mata. Ribuan rumah-rumah kecil dengan lampu teras bersinar dari kejauhan. Jalanan lengang berkelokan bagai kapiler darah,bercabang-cabang tak jelas arahnya, namun jelas menuju kemana. Ke tempat kita saat ini. Pepohonan bergelayut ringan disapu angin. Dinginnya menusuk hingga ke rusukmu, membuatmu kau menggigil sejenak. Geligimu bergemerutuk. Bulan bulat memandangi kita layaknya mata cyclops raksasa. Malam mengukirmu layaknya mahoni. Menyisakan guratan luka--perih yang sulit sembuh. Kau coba tepis namun seakan terlalu keras berusaha. Yang kudengar hanya hela nafasmu sesekali, dan diakhir. Panjang sekali. Entah untuk apa, untuk siapa, dan mengapa. Ada hal yang tiba-tiba kau sadari?

Ketika kedua matamu memantulkan kembali pemandangan yang jauh, jauh dibawah sana. Jangan pernah sesekali kau sadari aku yang disampingmu sedari tadi, sebab siluetmu berkaca di mataku. Hidung mancung, rahangmu yang tirus egois, tulang rawan di telinga yang tak pernah tua, jambulmu bergoyang-goyang kena angin. Kau akan tahu. Semua ini bukan tentangku, bukan?


"Terima kasih telah mengizinkanku kemari."
"Kamu akan selalu diizinkan."
"Remang itu fana. Sekaligus indah meski tak terkejar. Dan kadang ia juga liar. Dan lebih nyata dari yang sesungguhnya." kau diam sejenak. "Aku suka mengenang."


Aku tersenyum, menggenggam kembali jemarimu yang kedinginan. Kubawa kau pulang lagi. Menyusuri jejak, berkejaran dengan lampu jalan, melewati lampu lalu lintas yang pernah menerangi percakapan kita. Melalui perjalanan yang terasa selamanya. Mungkin untuk terakhir kalinya.