Sama gak sih kayak kita? Aku di sini dan kau di sana, hanya berjumpa via doa. Meski kau kini jauh di sana dan kita memandang langit yang sama
13.12.15
How to break up using a psychological joke
Sama gak sih kayak kita? Aku di sini dan kau di sana, hanya berjumpa via doa. Meski kau kini jauh di sana dan kita memandang langit yang sama
4.12.15
When it comes to love, which of course is such an everlasting topic to discuss, if I can be truly honest to myself the more I grow, the more I experience life, after falling in love, falling out of love, asking about love itself, searching for love, not believing in love, then believing in love once again. After all that, the more sure I am that what i’m feeling right now is not love.
I’m desiring yes, I’m attached yes, I’m afraid yes but is that love? Is love attachment? is love fear? or is love something more that transcends this. Do you love someone because they love you back? Can you love without being given love? Is there jealousy in love? Isn’t jealousy a sign of ownership? Is love then all just about owning? Like owning an object?
Is that real love? Is love just then about your own personal security?
And if love is just a mere emotion, won’t it disappear like any other emotions? As all emotions are impermanent and transitory?
I really don’t know anonymous but if you ask me why am I still in a relationship now, it’s because both of us acknowledge this problem of love and we’re both looking for the answer together. Life is harsh. Happiness is just right around the corner, but so is sadness. And life with all its tribulations and elations is much easier to handle when you have someone going in the same direction.
So for now i’m not asking anymore than that. Let’s see how far I go with this chicken soup for the soul hogwash.
29.11.15
Aleika Mencinta
Lagi, tentang cinta yang selalu rumit.
Sekali lagi, Tuhan mengirimkan malaikat dengan kantung-kantung pikiran tersampir di kedua pundaknya. Malaikat itu akhirnya kuketahui bernama Aleika. Ia menyuruhku memanggilnya Leika. Sebelumnya, kukira ia hanyalah manusia biasa sebab dari perawakan, pakaian, dan caranya memperlakukan sesama, ia benar-benar sangat seperti manusia. Sudah lama aku berteman dengannya, sudah hampir empat tahun ini. Waktu mendewasakan raga dan juga persahabatan yang kami miliki, semakin baik setiap harinya. Dan jujur saja, sejauh ini, persahabatanku dengan Leika merupakan persahabatan terbaik dan terideal yang pernah kumiliki sepanjang usiaku. Kami bertukar banyak cerita melalui setiap isapan kopi dan susu jahe hangat. Namun bukan itu yang terpenting. Dari cerita itu, kami berpendapat. Dan dengan berpendapat, kami saling meminjamkan dunia yang kami miliki. Begitu hangat dan ringan secara bersamaan. Saat-saat bersama Leika merupakan waktu yang sangat kuhargai. Bersamanya, aku lupa tentang ocehan lelaki basa-basi untuk dituliskan di buku nikahku kelak. Bersamanya, yang ada hanya sekarang, aku dan dia. Bersamanya, tidak ada yang namanya pura-pura, dan hidup ini indah begini adanya. Bersamanya, adalah sempurna. Selama kurang lebih empat tahun ini, begitulah persahabatan kami berlangsung.
Malam itu, tidak seperti biasanya, Leika memintaku untuk meluangkan waktu sebentar. Ia bilang bahwa ia ingin bercerita tentang segala hal yang memberatkan hatinya. Tak pernah aku melihat Leika segusar itu selama ini. Ia hampir tak pernah memohon untuk meminta bantuan. Seluruh hidupnya ia habiskan untuk memberi. Ia selalu nampak sebagai pria yang keasyikan bermain di dunia fantasinya hingga sering lupa diri, lupa rumah. Namun kali ini sepertinya ia lelah bermain dan ingin pulang, barangkali minta dipijit kaki-kakinya yang lelah.
“Aku ingin kamu mendengarkan ceritaku. Tolong ya luangkan waktumu.” Katanya.
Aku, yang sejujurnya hari itu banyak rencana, segera menanggalkan beberapa demi Leikaku satu-satunya ini. Demi melihat sepatah-dua patah kata darinya, demi mendengar dia mengeluh untuk kedua kalinya, setelah keluhan pertamanya saat masih jadi mahasiswa baru dulu.
“Aku nggak jadi pergi, buruan cerita.”
“Ah oke aku selebrasi dulu.”
Yah, itulah Leikaku. Entah apa yang dimaksudnya dengan selebrasi, yang jelas ia meninggalkanku dan membuatku menunggu selama kurang lebih lima menit sebelum pesannya selanjutnya menggetarkan ponselku.
“Hei, aku bingung mulai dari mana.” Entahlah. Hari ini Leika aneh sekali. Ia tidak pernah bingung sebelumnya.
“Dari awal lah.” Sahutku kemudian yang…tentu saja. Ayolah.
Dan selanjutnya yang aku tahu, ia bercerita tentang Alena. Gadis yang sejak lama menarik perhatiannya. Tanpa tedeng aling-aling, ia pun bercerita tentang kegundahannya dan akulah yang harus merenungi tiap kata yang diucapkannya..
“Setelah melalui sebuah rangkaian kontemplasi yang panjang, dengan kesadaran penuh akan rintangan dan halangan yang ada, dengan menyebutkan kemungkinan pesaing yang cukup berat berupa junior tampan dengan mobil mewah, Saya Leika, memutuskan untuk kembali ke jalan perjuangan atas gadis yang selama ini saya tahu saya cinta, yaitu Alena.”
“Saya tidak akan muluk-muluk dalam perjuangan ini mengingat kemungkinan berhasil yang amat kecil. Oleh sebab itu, saya hanya akan melakukan segala upaya terbaik. Contohnya, saya mau berada di sekitar dia ketika dia butuh sesuatu, berusaha menjadi superman dia, meskipun ya…kecil kemungkinan dia melihat saya. Namun saya tidak peduli.”
“Mencintai Alena telah mengubah hidup saya menjadi lebih baik, demikian kepribadian saya sebagai seorang pria, telah menjadi lebih baik pula. Dengan mencintai Alena, saya mulai mengurangi segala kebiasaan buruk saya.”
“Memang jika dibandingkan dengan junior tersebut, saya terlihat tidak ada apa-apanya. Namun saya berpikir demikian, oke, ada junior yang tinggi, besar, good looking, bawa mobil dan keren. Namun kita tidak tahu apakah dia memberi segala yang dia punya untuk Ale. Semisal dia punya lima apel, apakah dia akan ngasih kelima-limanya untuk Ale? Sebab yang saya tahu, saya cuma punya dua, namun semuanya saya kasih untuk Ale. Demikian analoginya.”
“Mawar yang dia kasih ke saya setelah kami berdansa malam itu, saya simpan baik-baik di kamar saya. Meski layu, akan saya rawat mawar itu. Akan saya kasih ke dia lagi suatu hari ketika saya jujur. Bunganya, dia tanyakan ada dimana. Dan saya jawab bahwa bunganya hilang, padahal aslinya saya bawa pulang dan saya rawat. Saya ganti airnya setiap hari. Dengan mawar yang saya curi itu saya ingin menunjukkan pada Ale bahwa meski kita nggak bisa melawan ketentuan alam, saya tetap bisa merawatnya. Tidak saya buang begitu saja, karena saya tahu ada sesuatu yang spesial di dalam ketidakmungkinan yang patut diperjuangkan itu. Persis seperti keadaan Ale dan saya sekarang ini.”
“Dan dengan demikian cinta saya terhadap Ale tulus, tanpa pernah saya harapkan balasannya. Dengan mencintai Ale saya percaya bahwa cinta itu menguatkan. Tidak pernah saya marah karena hal receh-receh, saya malas sakit hati lagi. Saya hanya ingin lakukan semua yang saya bisa untuk bikin Ale bahagia. Saya melakuakan semuanya untuk Ale tanpa karena.”
“Memang terlihat picisan, namun persetan! Saya tidak pernah jatuh sedalam ini. Sekian.”
Malam itu, aku melihat Leika sebagai seorang yang berbeda. Aku memuji diriku sendiri karena telah menjadi seorang yang setia, melihat Leika tumbuh menjadi seorang pria sejati yang sanggup mencintai seseorang tanpa karena. Tiga tahun lalu, Leika masih suka merengek soal kekasihnya yang lalu, yang kini sudah mulai mencinta lagi. Sedang ia merana mencari seseorang untuk dicinta lagi. Enam bulan lalu, melalui sesapan kopi dan susu jahe hangat di malam yang dingin bekas hujan, akhirnya Leika mengajukan sebuah nama. Nama itu adalah Alena. Nama yang sanggup menenggelamkan seluruh hatinya hingga jatuh sedalam-dalamnya.
Malam itu, Leika menerapkan konsep mencintai yang selalu kami agung-agungkan di hari-hari lalu. Konsep yang menjadi dasar tolok ukur bagaimana manusia seharusnya mencintai. Konsep yang membuat kami berani mati daripada menjalani hidup dengan cinta ala-ala.
Selama ini, Leika kira aku yang akan lebih dulu menemui pria itu. Namun kamu salah, Leika. Nyatanya, kamu duluan yang menemukan gadis itu. You little lucky bastard. You who loves with all your flaws, proudly. Selamat mencintai, Leika. Ale adalah wanita paling beruntung karena dicintai oleh orang seperti kamu. Kuharap, Tuhan menyisakan satu Leika lagi di belahan bumi manapun khusus untukku.
Sebab aku bisa, dan aku ingin, mencintai seperti Leika.
26.11.15
Siapkah kau 'tuk jatuh cinta lagi?
"Belum. Aku emang naksir cewek berkali-kali, naksir yang tipis-tipis aja. Tapi rasanya belum ada yang bisa bikin aku tenggelam, truly madly deeply fall for her. Susah banget ya nyari cewek yang kaya gitu. Sering tuh udah banyak yang tahu, terus nyuruh aku macarin doi, tapi entah kenapa rasanya selalu ada sesuatu yang menghalangi. Rasanya selalu ada sesuatu yang kurang, dan biasanya karena aku ngerasa my fall wasn't deep enough and she deserves more than that."
Hmm, and now it gets me thinking.
Apakah harus sedalam itu untuk bisa dibilang cinta?
Jika ya, sedalam apa kita harus cinta?
Kapan kita tahu bahwa kita sudah sampai cukup dalam untuk bisa cinta?
Kan, seringkali kita terlalu nyaman sama seseorang. Kamu tahu bahwa kamu suka sama dia, tapi kalau mau dibilang sayang...rasanya nggak juga. Kamu cuma senang aja sama hidup dia yang warna-warni, dan kamu ingin untuk terlibat jadi salah satu warna itu. Sering waktu main, kalian tiba-tiba larut dalam deep insightful conversation upon something dan berujung berantem sampe besok paginya. Sering juga kamu ngabarin dia kamu lagi apa, lagi sibuk apa, nemenin dia pergi kemana-mana berdua, solve almost everything together, video call each other for hours and just randomly send picture of each other's doing whenever you guys are away...dan ketika ada yang tanya "Emang buat apa?" kamu juga merasa susah untuk menjawabnya. Dia jelas diluar tanggung jawab kamu, dan bukan orang seharusnya untuk dikasih kabar. But anyway, you just feel right to do so. Dan sekali lagi, untuk dibilang sayang apalagi cinta, rasanya nggak juga.
Maka sampai batas apa kedalaman itu bisa diukur? Karena di sini kamu jadi sadar, bahwa kamu dan dia sedangkal itu.
Tapi ketika kamu pakai penjelasan 'feels right to do so', will depth matter anymore? And even if it's far from deep, won't you refuse it when some other people claim it's never been meaningful to you? Well, you decide. Maybe love should indeed be deep and shallow at once.
Aku belum bisa menyimpulkan.
25.11.15
Berhati-hati dengan sudut pandang
24.11.15
Semudah itu, Rindu
Aku hobi memendam perasaan. Aku sendiri sempat kesulitan ketika dia bertanya sejatinya aku ini punya perasaan atau tidak: apa aku tidak tertekan, atau berusaha menutup-nutupi bahwa sebenarnya aku tertekan? Nampaknya, aku sudah terlalu terbiasa menyublimasi semua repressed feelings hingga tidak tahu lagi rimba dari perasaan itu sendiri itu apa, atau bagaimana seharusnya perasaan tersebut dieskpresikan. Aku seringkali terlalu asyik bermain peran 'gadis bahagia', sehingga selalu terlihat tidak apa-apa.
Flashbulb memories.
The memory of emotionally significant events that people often recall with more accuracy and vivid imagery than everyday events (King, 2014)
"Ada yang membawa hanyut segala sesuatu. Bukan air, tapi waktu."
"Tuhan, dulu aku punya semuanya. Dulu rasanya hidupku sempurna sekali dengan mereka di sekitarku. Aku dulu nggak kebal perasaan kaya gini. Kalau lagi bawa perasaan ya nangis, kalau lagi seneng banget ya ketawa karena aku tahu ada mereka yang peduli sama aku. Sekarang aku udah gede, Tuhan, makasih banyak untuk umurnya. Tapi kenapa justru mereka Engkau jauhkan dariku, Tuhan? Iya aku percaya bahwa rencana-Mu selalu lebih besar dari milikku, namun rasanya berat gitu lho, Tuhan, buat meng-admit bahwa aku bisa hidup dengan itu. Maaf ya, Tuhan, aku ngeluh melulu, tapi emang berat rasanya dan aku nggak mau bohong sama Tuhan soal ini. Dan Tuhan tahu sendiri bahwa dengan dijauhkannya mereka, aku jadi kayak monster gini. Kenapa justru aku jadi insensitive kaya gini, Tuhan? Masa katanya aku nggak punya perasaan lho, Tuhan, kan nyebelin.
Tuhan, mungkin nggak sih buat mereka berada di sini lagi sama aku? Kalau memang mungkin, dan semuanya kembali, apakah bakal sama seperti yang dulu-dulu?
Suer, Tuhan, lagi kangen banget nggak ketulungan nih. Maaf ya, Tuhan, Ulid mintanya macem-macem...
Tapi kalau emang nggak mungkin banget, aku mau minta mereka dikasih kesehatan aja, Tuhan. Aku berdoa setulus-tulusnya juga semoga mereka selalu semangat kuliah, dan tujuan kuliahnya tercapai. Oh iya, semoga mereka selalu dikelilingi orang-orang yang sayang sama mereka, seenggaknya sesayang aku sama mereka. Kalau kadar sayang orang-orangnya masih dibawahku, udah jauhin aja, Tuhan. Aku nggak mau banget mereka dapet cinta kualitas KW. Titip mereka ya, Tuhan. Makasih banyak, I love you."
16.11.15
When you try your best but you don't succeed
Katanya Mas Eko, yang selalu kuingat-ingat di kepala.
Karena aku mahasiswa yang baik, maka kuturuti perkataannya.
Dan menangislah aku sekarang.
13.11.15
A fiction comes true: a blessing or a curse?
You, are a wish turning into curse really soon.
You, are better off being a fiction.
25.10.15
In the solitude
I don't know. I just don't know. Maybe I still have no right to judge, to criticize, to simply conclude life. I don't even know whether or not I deserve to feel upon things. Maybe I'm too an immature, selfish, shy little brat crawling up the slope--gets a luck of being shown a sneak peak of something they call life. I'm feeling like all of them people have their own definition of life, while I'm here spending time reading Hergenhahn's book trying to find out mine. And yet I haven't found any up until now. I'm feeling like there's so many truths to be believed in. And you know what? It's really sad that in the end you realize that people actually have made up those truths, rewriting and rephrasing the prior truths--without even noticing that they actually change those truths, they change the essence of just everything.
Here I am, left indecisive to even believe one of them.
I'm indecisive to pick up things that suit me up the best. I just sort of found out that things have been being harder, and, holy Lord, I just found out....maybe a minute ago. I've always thought I'm fine. I've always felt like this is the coolest shit I've ever made in my life. But, God, now that I'm here, now that I recall everything....someone, I think Life, slaps me in the face. He tells me I can not put up with anything. I'm a total mess now. I made a bad start and that becomes the domino effect of all my episodic memories. Well, it can be summed up like, what happens to me right now is the effect of what I've done far in the past. This is the effect of something I thought okay for doing. I thought it was just it, but sadly, it's not. It ruins my life just now and the result is...a version of Me I'll never want to be.
I think I'm done figuring things out up until this point. I know if only I move farther on figuring out, I'd might be ended up jumping from the 3rd floor of my dorm. For now I could only hope that things will get better. Bye-bye bad day, I'm gone sleeping....
17.10.15
7.10.15
Little things that matter
demikian kira-kira kata Ka Gabriel Charlotte. I know we're both thinking about how cool her name is. Waktu itu aku ada tugas wawancara, dan what a great fortunate to meet Ka Gaby in the Psiko's library. Sitting on the corner, not knowing why she chose such a rural place a pretty girl should not belong in. Headsets were put on her ears. To me, both the corner she chose, her decision to put on headsets, and a book on her palms showed much how introverted she was. But seconds we started talking, selengean was my first impression about her. Like, really, she was a senior three years above me which means this is her last year, or we both hoped so, and she sat in front of me in jigang position (can't find proper English for that) the whole conversation. You wouldn't possibly expect that gesture from an apparently graceful beautiful woman, wouldn't you? But, yeah, don't judge a book by its cover, right? Because in the end of the day, another fortunate sadness came to me as I knew she is currently the president of EDS in this university and at that time I was an upcoming member of that institution and she said "Lucky you to meet me first, kalau gitu nanti lo interviewnya sama gue aja.". Guys.....I know I was wrong with that what-you've-been-up-to question. Again, don't judge a book by its cover, my son.
So, back on the big quote I put on top. Those words had successfully got me captivated in some mysterious ways. Like, really, I contemplated on my way home about what things can actually make me happy...here. I could utter from one to one thousand things that make me happy there, but not here. Just not yet. Then, I thought that I started to rethink replay and recall everything since the day I got here. Things that tickled me, things that saddened me, things I sunk into, things I would love to spend time all day. And after a long time of thinking, here are those little things..
- A 10 minute morning walk to a bus stop in Fakultas Teknik (and yeah, I live near FT instead of FPsi).
- Spending time reading on a shady bench while waiting for the bus.
- Enjoying the landscape view from my bus' window.
- Listening to John Mayer or Imagine Dragons along the road, be it walking or when riding a bus.
- Having sholat in Masjid Ukuwah Islamiyah (often misspelled by Masjid UI) at peace. It has to be so literally lonely that it feels like I'm just a speck of dust between the galaxy so please see meeee...
- Buying tempe mendoan in Masjid UI's cafetaria.
- Another time spent reading in Taman Melingkar at the Central Library. The place will mostly look like this.
- Getting lost at Books and Beyond (found an exact pict. yayness!)
- Sunset at the edge of the lake.
- A night walk to Margonda Raya.
- Taking a night train. (photo taken couple days ago after I was about to get struck by one of 'em haha. That 'so close' moment....phew)
- Pondok Cina's parking lot. Somehow the scene fascinates me (the picture really represents my point of view). Some of you may ask why would I go to a parking lot of a train station. Well, to get to Detos (search it urself) you have to walk through the parking lot first. Yesh, walk. All hail pedestrians. Go green. Hidup mahasiswa.
- Indomie rebus. I know I shouldn't.
- The place I live in, my lovely kosan.
- And finally, them.
6.10.15
Kadang, kemapanan itu membosankan
Rahasia Bulan Empat
23.9.15
Takbir pertama di perantauan
10.9.15
Cukur (2014)
Dia kembali dengan senyuman,
lebar
Di kejauhan,
wajahnya berseri-seri
menuruni tangga
diiringi matahari siang hari
Kemudian,
malu-malu ditunjukkannya
cukuran barunya
Aku pun tertawa
Enggan berkata,
sesungguhnya ia tampan juga
Ia menghambur padaku,
lalu kuikatkan ke tiang pancang
semoga tak lepas-lepas
7.9.15
Application of Logical Fallacy: Appeal to Ignorance
Logical fallacy sendiri sebenarnya ada empat tipe. Straw man, slippery slope, red herring, dan yang satu lagi appeal to ignorance. (Try googling it ya.) Appeal to ignorance saya sebutkan terakhir karena saya ingin memberikan penekanan pada poin ini. Mengapa? Karena agaknya poin yang satu ini sangat berkaitan dengan apa yang akhir-akhir ini saya alami.
Appeal to ignorance merupakan sebuah keadaan dimana seseorang memutlakkan ketiadaan atau keadaan sesuatu yang kebenarannya belum teruji secara ilmiah. Hal ini diindikasikan dengan penyimpulan cepat atas segala tanda-tanda kasat mata tanpa disertai data yang valid. Seseorang dengan kecenderungan appeal to ignorance menggeneralisasikan apa yang dia ketahui sebagai segala yang dia ketahui. Padahal everything you see is not everything you see. Oh iya, dan ada lagi quotes dari seseorang (saya lupa namanya) yang bilang kalau the absence of evidence is not the evidence of absence. Yang kemudian kalau saya ingat-ingat si wise man kayaknya namanya Carl Sagan or something wkwk google it for clarity.
Contoh dari kasus appeal to ignorance ini kayak gini.
Carl dikirim berkeliling tata surya untuk menemukan tanda-tanda adanya alien atau makhluk cerdas dari planet lain. Namun dalam pengembaraannya tersebut Carl tidak dapat membuktikan bahwa alien itu ada. Sekembalinya ia ke Bumi, Carl membuat pernyataan bahwa tidak ada yang namanya 'alien' karena semasa ia berada di ruang angkasa ia tidak mendapat respon yang diharapkannya dari sosok alien atau makhluk cerdas lainnya.
Kemudian muncul pertanyaan: Apakah pernyataan tersebut valid?
Sepengertian saya, jawabannya adalah tidak. Meskipun sekilas pernyataan tersebut nampak benar, namun jika kalian telaah sekali lagi, apa yang disampaikan Carl merupakan sebuah pernyataan yang sifatnya subjektif. Sebab kembali kepada quotes absence of evidence is not the evidence of absence. I mean, this is a huge huge scale of universe that we're talking about. Ketika Carl menyimpulkan bahwa tidak ada yang namanya alien, secara tidak langsung ia menggeneralisasikan bahwa tidak ada sama sekali alien. Tidak di tata surya maupun jagat raya. Padahal, Carl belum mengeksplorasi jagat raya ini. Ia hanya telah menelusuri tata surya, namun tidak jagat raya. Bisa saja makhluk cerdas bernama alien memang ada wujudnya seperti di film-film barat. Mengingat jumlah bintang yang milyaran, maka jumlah planet pun jelas akan akan lebih banyak dari itu. Dan oleh karena itu terdapat milyaran probabilitas pula tentang adanya kehidupan lain yang menunjukkan bahwa manusia sejatinya tidak sendiri di jagat raya ini.
Dari materi ini saya belajar banyak hal bahwa nggak selamanya hal yang kita anggap benar itu sepenuhnya benar. Clarify. Cari tahu kebenarannya biar nggak sesat dalam berpikir. Karena nggak cuma dalam perkuliahan aja lho, dalam percintaan pun bisa terjadi logical fallacy seperti ini. Love is a total fallacy. Coba simak cuplikan drama berjudul Closer (Shulman, 1951) ini:
"My dear," I said, favouring her with a smile, "we have now spent five evenings together. we have gotten along splendidly. It is clear that we are well matched."
"Hasty Generalization," said Polly brightly.
"I beg your pardon," said I.
"Hasty Generalization," she repeated. "How can you say that we are well matched on the basis of only five dates?"
I chuckled with amusement. The dear child had learned her lessons well. "My dear," I said., patting her hand in a tolerant manner, "five dates is plenty. After all, you don't have to eat a whole cake to know that it's good."
"False Analogy," said Polly promptly. "I'm not a cake. I'm a girl."
See? Because you're gonna get sucked once you try to rationalize love. Bukannya ingin mencampuradukkan antara cinta dan akademia (?) namun apa salahnya sih kita terapkan prinsip-prinsip kecil sesederhana menghindari appeal to ignorance dalam cinta?
Selain menghindari prasangka, baik juga untuk menjaga perasaan kita sendiri agar terhindar dari pikiran-pikiran buruk yang akhirnya bikin pusing sendiri. So I think you're now a step ahead for loving someone, right?
Here, procrastinators die
26.8.15
Officially Diospek
Stasiun UI pukul 5:30 pagi.
Masih sendirian saja memandangi jalan. Langit masih gelap dan Depok belum begitu riuh dengan suara. Hanya sesekali kudengar dengung sirine serta gertakan piston kereta yang berlalu di belakangku. Oh ya, dan juga para senior FIB (Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya) sedang nyanyi-nyanyi nggak jelas di seberang sana setiap kali ada junior yang lewat. Entah hanya perasaanku atau aksi tersebut lebih merupakan suatu intimidasi daripada penyambutan. Haha whatever
Sejenak setelahnya, aku tidak lagi sendirian. Banyak remaja seusiaku yang berdatangan. Ada yang mengenakan pakaian batik, ada yang menggunakan kostum olahraga, ada juga yang berbaju putih-hitam termasuk saya. Selain pakaian yang mereka kenakan, di punggung dan dada mereka terjuntai papan nama yang entah butuh waktu berapa lama untuk membuatnya. Beberapa dari mereka mengenakan papan nama yang untuk membuatnya dibutuhkan keterampilan menganyam. Ya, menganyam. Di tengah kesibukan mahasiswa baru, mereka harus menganyam. Bayangkan betapa merepotkannya. Sedangkan yang lainnya, megenakan tali rafia tiga warna yang dibentuk kepang untuk mengalungkan papan nama mereka. Ada lagi yang membawa tas dari kardus bekas yang entah kapan mereka menyelesaikannya. Seorang lelaki disamping kiriku, dengan RENVOI sebagai nama kelompoknya, sedang sibuk menyalin delapan esai 800 kata di logbook miliknya. Ia bahkan harus menggunakan pena warna merah untuk menuliskan satu kata tertentu. Aku tersenyum kecut melihat semua fenomena itu. Mata mereka lelah dan sayu. Ya Tuhan, apakah semalam mereka sempat tidur?
Dan....
Kemudian aku ngaca. Not literally :p aku pakai putih-hitam juga. Pakai name tag juga. Pake slayer biru muda sama tas serut gambar trisula yang ada namaku diatasnya, udah kaya anak pramuka mau kamping. Ada sebagian hati kecilku yang ingin sekali berontak, gila malu saya kak. Secara dari kosan sampai halte harus jalan kaki. Dari stasiun sampai fakultas juga harus jalan kaki. Diliatin orang. Namun kalau aku bandingkan dengan orang-orang di sekitarku, nampaknya aku yang paling nggak ribet. Dan mungkin karena alasan itu juga, aku mau-mau saja disuruh seperti ini. Lagipula sudah konsekuensi. Haha memang kadang penderitaan orang lain bisa jadi obat pengurang sakit buat penderitaan kita sendiri. Duh kok jadi jahat...
Aku jadi mikir: kenapa aku mau? Padahal aku udah capek dengan hal-hal semacam ini. Dibentak-bentak padahal ngomong biasa aja juga kedengeran, dicari-cari kesalahannya padahal nggak salah, dipelotot-pelototin sampe berasa jadi kaya penganten lari dari resepsi, banyak lah. Buat apa hal-hal kayak gini aku jalanin lagi? Buat apa juga mereka kayak gitu? Sedangkan aku, dalam satu program lain, yang lebih nggak nonsense kayak gini, aku bisa kenal deket banget sama teman-teman dalam program tersebut. Yang mana dapat aku simpulkan bahwa dengan membuang unsur-unsur additional kaya gitu pun tujuan program dapat terlaksana kok.
Akhirnya aku ngerti, dan sadar kenapa aku datang dengan segala tetekbengek yang melekat pada diriku hari ini saat ini. Itu adalah alasan satu-satunya aku mau ikutan acara beginian, alasan itu adalah: "Ini kampus yang kamu impi-impikan. Ini yang kamu mau". That's what I tell myself like....all the time whenever I feel like all of my actions are total waste of time. Mungkin teman-temanku yang lain juga mengatakan hal yang sama kepada diri mereka masing-masing. Kami hanya harus menyelesaikan hingga akhir, berpura-pura menikmati seperti para kakak senior yang juga berpura-pura galak dihadapan kami which we also always tell ourselves "Aslinya mereka baik kok.". Sedangkan sampai disini aku belum tahu siapa yang salah, sistemkah? Atau pelaksana sistemkah? Because just so you know, things like these won't drag anyone anywhere as it only lifts down their mental, which means you're gonna say i hate it if you're stressed yet you don't want them to blame it all on you then say it's not my fault it's them who's lame haha. Pengen rasanya nanti jadi petinggi biar bisa merubah dunia dan sistemnya (mendadak idealis) (padahal masih maba) (haha iye maba). Semoga saja.
So, this is just a post from a freshmen. It tuns out that this is the first time she's getting diospek. And she's gonna love it if you take those words seriously meskipun sebenarnya diospek seru juga. Selamat ospek semuanya, semoga kelak jadi pemimpin yang bisa menghapuskan ospek dari muka bumi ini heheheh.
18.8.15
So fk the distance
"Take a piece of my heart and make it all your own.
So when we are apart, you'll never be alone."
14.8.15
Balada Anak Rantau (bagian 1)
Jadi, sesampai saya disini--untuk pertama kalinya ngeliat kampus yang amat sophisticated dimana pada saat itu juga langsung jadi mahasiswanya HAHAHA--banyak sekali yang bertanya.
"Gimana? Udah kerasan di sana?"
"Udah dapat temen baru belum?"
Jujur, sampai saat ini aku masih belum percaya bahwa aku disini, jadi maba di univ ini. Masih takut kalau suatu hari aku bangun dan selama ini semuanya cuma mimpi. Sebab aku, tanggal 9 Juni 2015, di Ubhara, setelah selesai mengerjakan soal TPA, aku pergi ke masjid. Nangis disana karena ngerasa nggak bisa ngerjainnya. Soalnya benar-benar jauh diluar perkiraan. Bahkan dengan nilai try outku di bimbel yang sudah jauh melampaui passing grade, aku benar-benar dibuat down dengan soal-soal TPA. But God gives me this dan you just can not imagine how retarded I'd be if I didn't feel blessed. And anyway jika semua ini hanya mimpi, bolehlah aku menikmatinya dahulu sebelum semuanya hilang dan jadi kenangan.
Well, saatnya bercerita. Judul kali ini adalah Depok Story. Berisi tentang kira-kira first impression aku setelah menjadi bagian dari Universitas Indonesia, perlambang citaaaa, berdasarkan Pancasila dasaaaar negara. (ceritanya sambil latihan padus)
PERTAMA. Yang jelas itu CULTURE LAG! Sampai disini itu berasa anak daerah banget and sometimes when you see them ganging up with their friends, with their ombre and dyed up hairs, with their make ups, with iPhones on their hands, ada bagian di dalam hati kecilmu yang berkata "Aku mah apa atuh..".
Selain itu, belum kebiasaan ngomong lu-gua dalam percakapan sehari-hari. Aku sih sebenarnya kurang berkenan kalau disuruh ngobrol pakai lu-gua, karena entah kenapa kesannya agak kasar. Lebih suka pakai aku-kamu aja atau kalau nggak gitu sebut namanya, biar kesannya lebih akrab. Tapi tergantung konteks sih. Kalau emang yang diajak ngomong bener-bener anak metro dan gak bisa diajak sopan-sopanan, yaudah lu-luin aja wkwk.
KEDUA. Buta arah dan mata angin. This really happened karena UI yang rimbun penuh pepohonan dan danau amatlah luas bagaikan oase ditengah gurun Depok yang panas. Di UI transportasi umum satu-satunya yang reliable dan gratis hanyalah Bis Kuning alias bikun dan Sepeda Kuning alias sepekun. Namun ketersediaan fasilitas tersebut tidaklah lengkap tanpa disertai kemampuan navigasi yang memadai. Karena ketika sepekun tidak beroperasi, kamu harus naik bis. Dan ketika kamu salah naik bis, maka nyasarlah kamu.
KETIGA. Susah makan dan kelangkaan tempe. Jangan harap makan enak dulu, selama disini susah banget ngeluangin waktu buat seenggaknya makan nasi sekali sehari. Bukan karena gak ada budget, tapi karena waktu buat ngeluangin makan nasi kadang rasanya nggak ada mengingat makan nasi membutuhkan waktu yang banyak dan turunnya nasi itu lama juga. Seminggu ini, pagi cuma sempet ke Alfamart, siang ke kantin (kalo sempet), sore nyampe kos udah capek banget dan males keluar jadi biasanya cuma ngemil aja. Ini kalo ibuku baca pasti dimarahin habis-habisan deh -_-
Selain susah makan nasi, disini susah banget nemuin tempe goreng yang bener-bener enak. Kedelai di sini beda banget sama kedelai di Jawa. Tempe-tempe di sini rasanya nggak nagih. Dan tadi, baru kali ini aku ngerasain yang namanya kangen tempe. Elah tempe dikangenin (iy soalny mw blg i miss u ke doi gengsi wkwk). Jadilah tempe mendoan seharga 2.000 pun kubeli tiga biji. Di Jawa tempe 2.000 udah dapet empat biji.
KEEMPAT. KANGEN TEMAN-TEMAN DI JAWA. This is so unexplainable. Mengingat aku di Depok sendirian dan teman-temanku nyebar dari Ujung Kulon sampai Suramadu sering bikin aku sedih. Kadang aku ngerasa lonely banget. Kadang yang biasanya kalo lagi baper nyelonong buka kamarnya Adi, curhat-curhat sampe ketiduran bareng sekarang ga bisa lagi. Yang dulu biasanya kalo lagi nangis bisa minta peluk ke Miranda sama Iis sekarang juga udah ga bisa lagi. Yang dulu kalo lagi ngenes suka cerita-cerita ngablak ke Niken, sekarang udah gabisa lagi. Sekarang kalo mau baper nangis-nangis, bapernya sendirian terus nyanyi-nyanyi lagu galau sambil showeran wkwk #inibener. Tapi ya gimana lagi, beda orang, beda ambisi, beda mimpi :)
We had to go our ways. Jalan itu dulu satu, sekarang bercabang dan tidak ada yang tahu apakah cabang-cabang itu akan bermuara kembali pada satu jalan yang sama. Meski berat ninggalin teman-teman, tapi aku ikhlas, aku jadi sebahagia-bahagianya manusia mengetahui bahwa mereka masuk univ yang mereka impi-impikan dan sepuluh tahun lagi mungkin bakal reunian bawa suami, istri dan anak masing-masing. Bayanginnya bahagia banget, di hati adem banget :'))
Dan, ya. Kira-kira begitulah pengalamanku selama kurang lebih seminggu tinggal di sini. Semoga jarak nggak jadi alasan buat kita jadi teledor sama kewajiban. Semoga kalian yang juga jadi maba semangat ospeknya, semangat hunting senior cakep kalau sempet. Semoga hidup di kota-kota besar nggak menjadikan kalian anak-anak hedon yang cuma guntingin duit orang tua. Terus copas banner yang dipampang di FT "Daripada main kartu, lebih baik menuntut ilmu". Semoga doa-doa baik kita dan orang-orang yang sayang sama kita dikabulkan. Selebihnya, semoga sukses di perantauan masing-masing. Jaga kesehatan ya, God bless you all :)
11.8.15
6.8.15
Nggak boleh bosen adaptasi lagi
Dan kawan, bawa aku tersesat ke Entah Berantah!
Di sebuah kereta malam, 5 Agustus 2015.
(telah dipublikasikan melalui instagram dan menuai banyak kritik karena kepanjangan caption. Terus dipindah disini. Gitu.)
Hari ini aku menutup peta kehidupanku yang lama. Jalan-jalan yang sudah kuhafal, tempat-tempat bersejarah, seluruhnya kusimpan rapi di suatu bilik pikiranku. Berjaga-jaga jika suatu hari mereka akan sempat kusambangi lagi.
Aku selalu berpikir bahwa bisa saja saat ini juga aku menyatakan mundur. Bisa saja aku menyengaja untuk jatuh dan menyia-nyia semua waktu, membuatnya sedikit tidak berharga. Terlalu banyak bekas luka, terlalu banyak air mata, terlalu banyak niatan baik yang disalahgunakan, terlalu banyak kawan yang kusingkirkan, hingga kini aku jadi pengecualian.
Namun aku sadar bahwa semasa hidupnya, manusia akan selalu berkorban demi sesuatu yang lebih besar, lebih mahal, atau lebih 'tidak mungkin'. Dan, Ya Tuhan, ketidakmungkinanku terbayarkan. Lunas tanpa utang. Setiap malam, dini hari, sepanjang siang, kaki-kakiku telah terus berlari. Selanjutnya yang aku tahu, Kau menggendongku terbang menuju tempat yang dulunya kusebut 'mimpi'. Maka izinkan aku berterima kasih, Tuhan, untuk hidup yang pantas ditangisi dan ditertawakan. Semoga Engkau tidak lelah megajariku, tidak lelah mendengarkan doa-doa orang yang sering putus asa sepertiku. Hahaha
4.8.15
Kado dari waktu
2 Agustus.
Happy birthday yaa. Semoga panjang umur, diberi kesehatan dan selalu dalam perlindungan Allah SWT.
Semoga bertambah segala kebaikannya, dimudahkan segala urusan dan diberi kelancaran dalam menuntut ilmu.
Sukses ya!!! Aku pengen suatu saat liat kamu tersenyum bangga karena telah berhasil wujudin segala impian kamu dan atas tercapainya semua cita-cita kamu.
Selamat berjuang ya di UI, jaga diri disana, belajar yang serius!
Ini cuma buat kenangan aja. Supaya kamu gak telat masuk kuliah juga sih hehe :D maaf ya kalo jelek banget, aku gak pandai milih soalnya.
Selamat ulang tahun, Maulidia Annisa Hilma.
***
Dan aku bahkan tidak tahu ini dari siapa.
28.7.15
Diamku bukan emas
Diabaikan. Dinomorduakan. Dikesampingkan. Tidak diajak bicara. Dimarah-marahi. Kadang merasa tidak diakui. Tidak dibutuhkan. Tidak terlalu berarti. Dan merasa bahwa jika tak ada pun mereka masih sangat lengkap dan bahagia.
Andai dia tahu bahwa semua yang dia lakukan sering membuatku merasa semakin kecil dan tidak berguna seperti saat ini. Dan di saat-saat seperti ini, ketika aku sangat marah seperti ini, yang aku mampu hanya diam, berpaling menjauh, dan menangis perlahan ketika kubasuh wajahku dengan air wudhu. Sedangkan ia, ia membanting segala sesuatu, mulai mengurutkan kekuranganku, seakan aku tidak pernah melakukan apapun untuknya. Padahal aku...aku yang setiap hari di sisinya, yang mendengarkan cerita-cerita tidak pentingnya, yang bersedia menemaninya, membantunya menyelesaikan hampir semua pekerjaan kecil, yang selalu menyisipkan namanya dalam doa sholat fardhuku, yang selalu mengutamakannya, yang selalu.....
Sudahlah. Masih banyak yang bisa kusyukuri. Mungkin benar bahwa kadang penderitaan orang lain menjadi hiburan bagi kita, untuk merasa lebih tinggi dari sesamanya.
25.7.15
21.7.15
Bahagia adalah saat kau simpulkan bahwa "Itu tidak menyakitkan."
20.7.15
Tidak semua yang kamu baca adalah kamu. Tidak semua yang kamu baca adalah bukan kamu. Karena seperti halnya aku dalam kehidupanmu, kamu hanyalah seorang pemeran dari segelintir pemeran lain. Kamu tidak memikirkan aku saja, dan kamu juga bukan satu-satunya yang kutuliskan. Aku menulis tentang banyak hal, manusia, dan tentang hatiku sendiri yang (sejujurnya) belum sepenuhnya kukenali. Jika kamu sedang membaca, kumohon, membacalah saja. Jangan berpikir semua ini semata-mata untukmu, atas namamu, dan semua 'kamu' atau 'dia' tertuju padamu. Sebab ini duniaku, selamat datang. Disini akan kamu temukan orang-orang yang kukenal sedekat nadi maupun orang-orang yang tidak pernah kuharapkan untuk datang. Sekali lagi, orang-orang. Hidupku bukan hanya kamu, seperti hidupmu yang bukan hanya aku. Kuharap kamu tidak memaksakan diri menjadi pemeran utama dalam skenarioku.
Aku tidak punya pemeran utama. Semuanya sama, semuanya memberikan pengaruh dalam ceritaku baik jangka panjang ataupun pendek. Yang jelas saat ini aku hanya tidak tahu kamu termasuk golongan mana. Jadi, membacalah saja tanpa merasa sedang diadili.
16.7.15
Di sela gema takbir
Tiga tahun sudah kita lewati malam seperti ini. Saat itu, saat kemarin dan saat ini tidak berubah. Segalanya masih sama. Kamu dan aku di ruang semu, dengan percakapan-percakapan singkat yang enggan untuk kita akhiri. Yang berbeda hanyalah, kita yang tiap harinya menjadi semakin dewasa. Kadang semakin mudah tersinggung. Namun satu hal yang kusyukuri, aku sudah mengenalmu sejauh ini. Haha. Kamu yang dulunya sangat jauh dari genggaman dan pandangan. Lihatlah betapa Waktu sudah membesarkan kita dengan cara yang tidak biasa. Bukan melalui suka, namun lebih melalui lara. Lara yang membuat kita selalu berhubungan kembali, untuk sekedar menanyakan 'Gimana?' atau 'Kenapa?'. Aku juga nggak tahu. Padahal kamu kayak gitu, aku masih kayak gini. Semuanya stagnan pada tempatnya. Nggak pernah pindah kemana mana. Tapi anehnya, aku menyukainya. Kita berdua menyukainya, bukan?
Haha. Aneh sekali.
Hmm. Tahu nggak? Aku hanya akan berharap satu tahun lagi (dan semoga satu tahun-satu tahun yang lainnya), seperti doamu, semoga kita masih akan bertemu lagi. Di ruang yang sama. Membagi cerita. Tawa. Dan semuanya.
Bukankah aku sudah mempertaruhkan segalanya? Tidakkah itu cukup untukmu melihatnya?
Sebab yang kuinginkan sederhana, hanya sepucuk pesan "Mohon maaf lahir batin ya" darimu. Dan lagi, percakapan-percakapan singkat. Dan malam yang terasa amat panjang. Yang selalu enggan kita akhiri.
Semoga keinginanku tidak terlalu tinggi.
Selamat tiga tahun malam lebaran bersama :)
4.7.15
Dua ribu tiga belas
Yang menciptakan dua hal: jarak dan ruang permanen.
Jaraknya sih nggak masalah, ruangnya juga. Yang jadi masalah adalah permanennya. Karena permanen berarti abadi, dan keabadian itu nyatanya sekarang menjerumuskan. Jarak dan ruang itu kini menjelma menjadi jurang. Menganga diantara kita. Dengan dua mulut, disana dan disini tanpa ada yang menjembatani.
Dan Ya Tuhan, kamu..
kamu tega-tega saja kita seperti ini.
22.6.15
So I guess God knows no better, but He knows the best.
Maulidia
5.6.15
This body is a mess we should be grateful of
Please let me be mean for a while. Or, probably you will feel the same about this.
That sometimes you realize your body is a whole amazing mess. Your organ systems you worship, they only worsen the mess.
So I hope you've reached this point.
The point I've seen no relevance between mind and speech. Between intentions and deeds. Expectations and realities.
I've felt like there's too much false alarms that finally bring us to misunderstandings. Little did we say what we mean, do exactly what we intended, or simply achieve what we want...even if we've been working hard on it.
I feel like I'm pretty much disintegrated that I dislike myself for being seen too pathetic at some point. For not getting what I want. For being not myself.
I wish I could invent a machine or a system to fix this problem. So people would stop faking theirselves, stop "tape over your mouth--scribbled out the truth with their lies" and simply remove masks from their faces. I'm done with lies already. Please stop acting so beautiful just to make me look like a fool.
4.6.15
Surat untuk Tuan
Hai Tuan, maaf jika akhir akhir ini berubah jadi aneh. Separuh diriku sedang kutinggalkan dibalik pintu. Entah sudah membusuk atau malah pergi ditiup angin.
Maaf aku menyebalkan. Kamu tidak perlu memaksakan diri untuk mengertiku. Biarkanlah letupan-letupan kebencian itu menghiasi hari-harimu. Biarkanlah semua pikiran buruk tentangku bergentayangan di pikiranmu. Biarkanlah. Sebab aku ini begini adanya.
Semoga kamu tidak bosan menggangguku. Sebab semua ini hanya sementara. Lagipula, tidakkah kau akan merindukanku dalam waktu dekat ini? Aku yakin definisi diriku lebih dari kata-kata yang kau muntahkan dalam amarah. Kau akan menemukan aku yang sebenarnya ketika kau sendiri dan sepi.
Kau akan tahu bahwa aku yang sebenarnya,
adalah aku yang kau sadari dalam lamunanmu.
Yang dibenci,
Maulidia
2.6.15
Allah, ajari aku
31.5.15
Bc life itself is a metaphor
A talk about life seems to be endless. You either can take it too seriously or too at ease. Life is mostly hyperbolic. You gonna have to deal with that all the time.
And life, ladies and gentlemen, despite of my unknowingness and dull sciences, is what you think about life itself.
Life can do you good, but only if you think a good thought of it. Positivities are all it takes. Life is a mastermind. So exceptably genious that it takes control of your lifetime records, sad or glad times.
Life is about feedbacking to each other. Like a conditional-symbiotic-relationship between the components. Who's nice will be done nicely, who's bad will be done badly.
And people, is also life. Since their arrival on Earth, their stupidity has been gradually growing. Inhales little greediness and exhales the worst cruelty though the history. Everyone wants to take over this tiny limited planet we inhibit. Everyone wants to be called the strongest so they make others as weak as can be. And tolerance, humanity, will be forever a concept. A sweet dream of a dreamer. A very high place we barely can pursue.
People, somehow, dismisses the kind definition of life.
So,
Knowing all of these negativities
Who do you wanna be?
Which name should people call you?
26.5.15
Jika kamu menemukan saya disini, itu artinya saya sedang 'terlalu' sesuatu. Kali ini saya terlalu terbawa suasana.
Sepertinya, saya adalah tipe orang yang oversensitif terhadap hal-hal remeh. Hal sesepele pensil atau langit dengan mudahnya membantu saya mengingat semua hal secara kronologis. Ada baiknya, ada juga buruknya sih. Baiknya adalah jika yang diingat kebetulan kenangan yang indah. Buruknya, ya tahu sendiri lah. Lebih buruknya, kadang ingatan itu datang di situasi yang tidak tepat dan justru berpotensi merusak mood saya.
Ha, contohnya peristiwa Purnawiyata tadi pagi. Sudah saya sebutkan cuplikan peristiwanya melalui akun Twitter (tadi males buka blog sumpah) tentang apa yang saya rasakan. Memang tidak menggambarkan kejadian seutuhnya. Namun, saya telah berusaha mencari padanan kata yang tepat untuk setidaknya mendekatkan pembaca dengan maksud pikiran saya.
Cari tahu selengkapnya pada post selanjutnya.
Sebagai sneak peek, mulailah memainkan See You Again-nya Charlie Puth di kepala.
19.5.15
Hai (lagi)
Kamu boleh tinggal, tapi jangan meminta dihiraukan. Kamu boleh bermain, tapi aku yang akan menang.
Tinggallah dalam dekapan. Meski aku hanya semu saja.
Maaf aku jahat.
11.5.15
Some things have (unknowingly) happened
Akan hengkang sementara. Akan kembali kala semua baik-baik saja.
30.4.15
27.4.15
Di batas doa
Tentang menarik batas, memisah dua dunia. Semoga kamu tidak pernah menyadari bahwa hal itu salah. Seluruhnya. Bahwa batas membuat kita selalu berdiri di tempat yang berbeda. Yang paling menyedihkan, kita telah selalu saling berkebalikan. Jika aku disini maka kau di sisi lainnya. Seperti depan-belakang, seperti gelap-terang. Mengerikan.
Tuhan, aku masih berharap Engkau mengingat doaku waktu itu. Tentang mimpi-mimpi yang sempat tertunda, tentang janji yang belum terlaksana.
Izinkan kurapal sekali lagi, Tuhan. Tentang betapa aku akan selalu mengagumi hidupnya yang bukan untukku. Betapa ia akan selalu jadi seseorang itu, yang membangunkanku ketika hujan semakin menderas. Yang terbangun sendirian di pagi buta, asyik menceritakan mimpi-mimpiku padaMu dan merengek agar Kau mengabulkannya sedang untuk mimpinya sendiri ia lupa cerita saking asyiknya.
Kuharap,
Setiap nafasnya, degup jantungnya, langkah gugupnya, selalu diiringi cahaya. Ia tahu, ia selalu tahu aku sanggup merasa..meski enggan bicara.
Kuharap, kamu tidak mendengarnya.
Aku malu
pada diriku.
-R
24.4.15
Beri aku jeda
Jangan bilang aku tidak pernah memperingatkanmu. Sekali lagi, berlarilah. Berlarilah sekuat tenagamu. Sebelum kau hancur dan menganggap aku sebagai penghancur, karena pada dasarnya aku memang berpotensi jadi penghancur. Sebelum 'Kau' dalam sajak-sajak sedihmu tertuju padaku. Sebelum aku datang dan mengharuskanmu untuk memilih. Bukan dua, tapi satu. Dan harus aku.
Jadi, sampai dimana kita?