13.12.15

How to break up using a psychological joke

Double aspectism (juga dikenal sebagai Psychophysical Parallelism) merupakan suatu aliran yang meyakini eksistensi jiwa dan raga namun menolak adanya saling keterkaitan atau connectionism antara keduanya. Aliran ini mengklaim bahwa jiwa dan raga bergerak secara paralel dan tidak saling mempengaruhi satu sama lain. Segala fenomena badaniah yang terjadi merupakan kejadian yang independen sehingga tidak dapat dihubungkan dengan fenomena rohaniah, dan begitu pula sebaliknya.

Sama gak sih kayak kita? Aku di sini dan kau di sana, hanya berjumpa via doa. Meski kau kini jauh di sana dan kita memandang langit yang sama ya keles mau lu di Jakarta kek, Rusia kek, Kutub Utara sekalipun, selama lu masih di bumi langitnya pasti sama kali  :( . Kamu sibuk dengan duniamu, aku juga asyik dengan duniaku. Kita ini udah beda, dan kita udah jalan paralel persis kayak double aspectism. Kamu harus sadar kalo kita nggak bakalan ketemu di jalan yang sama. Jadi, ya udah ya? Kita jalan sendiri-sendiri aja. Daripada sakit maksainnya.


HEHEHE marry me no.

4.12.15

How would you describe love? And how would you react to it?

When it comes to love, which of course is such an everlasting topic to discuss, if I can be truly honest to myself the more I grow, the more I experience life, after falling in love, falling out of love, asking about love itself, searching for love, not believing in love, then believing in love once again. After all that, the more sure I am that what i’m feeling right now is not love.

I’m desiring yes, I’m attached yes, I’m afraid yes but is that love? Is love attachment? is love fear? or is love something more that transcends this. Do you love someone because they love you back? Can you love without being given love? Is there jealousy in love? Isn’t jealousy a sign of ownership? Is love then all just about owning? Like owning an object?

Is that real love? Is love just then about your own personal security?
And if love is just a mere emotion, won’t it disappear like any other emotions? As all emotions are impermanent and transitory?

I really don’t know anonymous but if you ask me why am I still in a relationship now, it’s because both of us acknowledge this problem of love and we’re both looking for the answer together. Life is harsh. Happiness is just right around the corner, but so is sadness. And life with all its tribulations and elations is much easier to handle when you have someone going in the same direction.

So for now i’m not asking anymore than that. Let’s see how far I go with this chicken soup for the soul hogwash.

Ben Laksana, 2013 

29.11.15

Aleika Mencinta




Lagi, tentang cinta yang selalu rumit.

Sekali lagi, Tuhan mengirimkan malaikat dengan kantung-kantung pikiran tersampir di kedua pundaknya. Malaikat itu akhirnya kuketahui bernama Aleika. Ia menyuruhku memanggilnya Leika. Sebelumnya, kukira ia hanyalah manusia biasa sebab dari perawakan, pakaian, dan caranya memperlakukan sesama, ia benar-benar sangat seperti manusia. Sudah lama aku berteman dengannya, sudah hampir empat tahun ini. Waktu mendewasakan raga dan juga persahabatan yang kami miliki, semakin baik setiap harinya. Dan jujur saja, sejauh ini, persahabatanku dengan Leika merupakan persahabatan terbaik dan terideal yang pernah kumiliki sepanjang usiaku. Kami bertukar banyak cerita melalui setiap isapan kopi dan susu jahe hangat. Namun bukan itu yang terpenting. Dari cerita itu, kami berpendapat. Dan dengan berpendapat, kami saling meminjamkan dunia yang kami miliki. Begitu hangat dan ringan secara bersamaan. Saat-saat bersama Leika merupakan waktu yang sangat kuhargai. Bersamanya, aku lupa tentang ocehan lelaki basa-basi untuk dituliskan di buku nikahku kelak. Bersamanya, yang ada hanya sekarang, aku dan dia. Bersamanya, tidak ada yang namanya pura-pura, dan hidup ini indah begini adanya. Bersamanya, adalah sempurna. Selama kurang lebih empat tahun ini, begitulah persahabatan kami berlangsung.

Malam itu, tidak seperti biasanya, Leika memintaku untuk meluangkan waktu sebentar. Ia bilang bahwa ia ingin bercerita tentang segala hal yang memberatkan hatinya. Tak pernah aku melihat Leika segusar itu selama ini. Ia hampir tak pernah memohon untuk meminta bantuan. Seluruh hidupnya ia habiskan untuk memberi. Ia selalu nampak sebagai pria yang keasyikan bermain di dunia fantasinya hingga sering lupa diri, lupa rumah. Namun kali ini sepertinya ia lelah bermain dan ingin pulang, barangkali minta dipijit kaki-kakinya yang lelah.

“Aku ingin kamu mendengarkan ceritaku. Tolong ya luangkan waktumu.” Katanya.

Aku, yang sejujurnya hari itu banyak rencana, segera menanggalkan beberapa demi Leikaku satu-satunya ini. Demi melihat sepatah-dua patah kata darinya, demi mendengar dia mengeluh untuk kedua kalinya, setelah keluhan pertamanya saat masih jadi mahasiswa baru dulu.

“Aku nggak jadi pergi, buruan cerita.”
“Ah oke aku selebrasi dulu.”

Yah, itulah Leikaku. Entah apa yang dimaksudnya dengan selebrasi, yang jelas ia meninggalkanku dan membuatku menunggu selama kurang lebih lima menit sebelum pesannya selanjutnya menggetarkan ponselku.

“Hei, aku bingung mulai dari mana.” Entahlah. Hari ini Leika aneh sekali. Ia tidak pernah bingung sebelumnya.
“Dari awal lah.” Sahutku kemudian yang…tentu saja. Ayolah.

Dan selanjutnya yang aku tahu, ia bercerita tentang Alena. Gadis yang sejak lama menarik perhatiannya. Tanpa tedeng aling-aling, ia pun bercerita tentang kegundahannya dan akulah yang harus merenungi tiap kata yang diucapkannya..

“Setelah melalui sebuah rangkaian kontemplasi yang panjang, dengan kesadaran penuh akan rintangan dan halangan yang ada, dengan menyebutkan kemungkinan pesaing yang cukup berat berupa junior tampan dengan mobil mewah, Saya Leika, memutuskan untuk kembali ke jalan perjuangan atas gadis yang selama ini saya tahu saya cinta, yaitu Alena.”

“Saya tidak akan muluk-muluk dalam perjuangan ini mengingat kemungkinan berhasil yang amat kecil. Oleh sebab itu, saya hanya akan melakukan segala upaya terbaik. Contohnya, saya mau berada di sekitar dia ketika dia butuh sesuatu, berusaha menjadi superman dia, meskipun ya…kecil kemungkinan dia melihat saya. Namun saya tidak peduli.”

“Mencintai Alena telah mengubah hidup saya menjadi lebih baik, demikian kepribadian saya sebagai seorang pria, telah menjadi lebih baik pula. Dengan mencintai Alena, saya mulai mengurangi segala kebiasaan buruk saya.”

“Memang jika dibandingkan dengan junior tersebut, saya terlihat tidak ada apa-apanya. Namun saya berpikir demikian, oke, ada junior yang tinggi, besar, good looking, bawa mobil dan keren. Namun kita tidak tahu apakah dia memberi segala yang dia punya untuk Ale. Semisal dia punya lima apel, apakah dia akan ngasih kelima-limanya untuk Ale? Sebab yang saya tahu, saya cuma punya dua, namun semuanya saya kasih untuk Ale. Demikian analoginya.”

“Mawar yang dia kasih ke saya setelah kami berdansa malam itu, saya simpan baik-baik di kamar saya. Meski layu, akan saya rawat mawar itu. Akan saya kasih ke dia lagi suatu hari ketika saya jujur. Bunganya, dia tanyakan ada dimana. Dan saya jawab bahwa bunganya hilang, padahal aslinya saya bawa pulang dan saya rawat. Saya ganti airnya setiap hari. Dengan mawar yang saya curi itu saya ingin menunjukkan pada Ale bahwa meski kita nggak bisa melawan ketentuan alam, saya tetap bisa merawatnya. Tidak saya buang begitu saja, karena saya tahu ada sesuatu yang spesial di dalam ketidakmungkinan yang patut diperjuangkan itu. Persis seperti keadaan Ale dan saya sekarang ini.”

“Dan dengan demikian cinta saya terhadap Ale tulus, tanpa pernah saya harapkan balasannya. Dengan mencintai Ale saya percaya bahwa cinta itu menguatkan. Tidak pernah saya marah karena hal receh-receh, saya malas sakit hati lagi. Saya hanya ingin lakukan semua yang saya bisa untuk bikin Ale bahagia. Saya melakuakan semuanya untuk Ale tanpa karena.”

“Memang terlihat picisan, namun persetan! Saya tidak pernah jatuh sedalam ini. Sekian.”


Malam itu, aku melihat Leika sebagai seorang yang berbeda. Aku memuji diriku sendiri karena telah menjadi seorang yang setia, melihat Leika tumbuh menjadi seorang pria sejati yang sanggup mencintai seseorang tanpa karena. Tiga tahun lalu, Leika masih suka merengek soal kekasihnya yang lalu, yang kini sudah mulai mencinta lagi. Sedang ia merana mencari seseorang untuk dicinta lagi. Enam bulan lalu, melalui sesapan kopi dan susu jahe hangat di malam yang dingin bekas hujan, akhirnya Leika mengajukan sebuah nama. Nama itu adalah Alena. Nama yang sanggup menenggelamkan seluruh hatinya hingga jatuh sedalam-dalamnya.

Malam itu, Leika menerapkan konsep mencintai yang selalu kami agung-agungkan di hari-hari lalu. Konsep yang menjadi dasar tolok ukur bagaimana manusia seharusnya mencintai. Konsep yang membuat kami berani mati daripada menjalani hidup dengan cinta ala-ala.

Selama ini, Leika kira aku yang akan lebih dulu menemui pria itu. Namun kamu salah, Leika. Nyatanya, kamu duluan yang menemukan gadis itu. You little lucky bastard. You who loves with all your flaws, proudly. Selamat mencintai, Leika. Ale adalah wanita paling beruntung karena dicintai oleh orang seperti kamu. Kuharap, Tuhan menyisakan satu Leika lagi di belahan bumi manapun khusus untukku.

Sebab aku bisa, dan aku ingin, mencintai seperti Leika.




26.11.15

Siapkah kau 'tuk jatuh cinta lagi?

Aku teringat lagi sama kata-katanya seorang senior, dulu dulu banget waktu aku tanya sudahkah ia jatuh cinta lagi. Jawabannya sederhana, dan intinya begini:

"Belum. Aku emang naksir cewek berkali-kali, naksir yang tipis-tipis aja. Tapi rasanya belum ada yang bisa bikin aku tenggelam, truly madly deeply fall for her. Susah banget ya nyari cewek yang kaya gitu. Sering tuh udah banyak yang tahu, terus nyuruh aku macarin doi, tapi entah kenapa rasanya selalu ada sesuatu yang menghalangi. Rasanya selalu ada sesuatu yang kurang, dan biasanya karena aku ngerasa my fall wasn't deep enough and she deserves more than that."

Hmm, and now it gets me thinking.
Apakah harus sedalam itu untuk bisa dibilang cinta?
Jika ya, sedalam apa kita harus cinta?
Kapan kita tahu bahwa kita sudah sampai cukup dalam untuk bisa cinta?



Kan, seringkali kita terlalu nyaman sama seseorang. Kamu tahu bahwa kamu suka sama dia, tapi kalau mau dibilang sayang...rasanya nggak juga. Kamu cuma senang aja sama hidup dia yang warna-warni, dan kamu ingin untuk terlibat jadi salah satu warna itu. Sering waktu main, kalian tiba-tiba larut dalam deep insightful conversation upon something dan berujung berantem sampe besok paginya. Sering juga kamu ngabarin dia kamu lagi apa, lagi sibuk apa, nemenin dia pergi kemana-mana berdua, solve almost everything together, video call each other for hours and just randomly send picture of each other's doing whenever you guys are away...dan ketika ada yang tanya "Emang buat apa?" kamu juga merasa susah untuk menjawabnya. Dia jelas diluar tanggung jawab kamu, dan bukan orang seharusnya untuk dikasih kabar. But anyway, you just feel right to do so. Dan sekali lagi, untuk dibilang sayang apalagi cinta, rasanya nggak juga.

Maka sampai batas apa kedalaman itu bisa diukur? Karena di sini kamu jadi sadar, bahwa kamu dan dia sedangkal itu.

Tapi ketika kamu pakai penjelasan 'feels right to do so', will depth matter anymore? And even if it's far from deep, won't you refuse it when some other people claim it's never been meaningful to you? Well, you decide. Maybe love should indeed be deep and shallow at once.




Aku belum bisa menyimpulkan.



25.11.15

Berhati-hati dengan sudut pandang



Alkisah, seorang wanita hidup sengsara. Suaminya tak lagi mencintainya. Mereka hidup secara terpisah. Di sisi wanita itu hanya ada anaknya, muara segala harap yang ia tempa sehari-harinya. Tanpa keluh, tanpa alpa. Berharap suatu hari sang anak bakal tumbuh lebih manusiawi daripada bapaknya.

Suatu hari, sang suami ingin bertemu anaknya. Alih-alih mengetuk pintu dengan sopan, lelaki ini menggedor-gedor pintu rumah sang wanita. Wanita ini jadi bimbang: di satu sisi, ia ingin membiarkan anaknya merasakan kasih sayang seorang bapak; namun di sisi lain, bapak ini bukanlah bapak yang diharapkannya untuk mengasuh anaknya. Ia kebingungan di balik pintu, mondar-mandir berusaha menyembunyikan si anak ini dari bapaknya. Kepanikan yang terjadi di rumah kontrakan yang tidak besar itu menarik perhatian warga sekitar. Berbondong-bondong mereka datang, hanya menyaksikan umpatan kemarahan sang suami terhadap istrinya juga anaknya. (Selanjutnya, ketika para tetangga tersebut diberikan pertanyaan terkait keengganan mereka untuk melerai pasangan tersebut, mereka menjawab "Biarin, kan emang bapaknya.")

Di tengah saat wanita itu memberikan penjelasan kepada anaknya, lelaki ini telah berhasil mendobrak pintu rumah si wanita. Pendobrakan selesai, kemudian pukulan bertubi-tubi hinggap di wajah cantik si wanita. Peristiwa tersebut disaksikan oleh sang anak. Dan setelah puas menyerang sang wanita, lelaki itu pergi membawa sang anak, meninggalkan sang wanita yang tak berdaya.

Selang beberapa minggu kemudian, wanita tersebut dikabarkan meninggal. Di tangan lelaki yang dulunya ia sebut suami, yang dulunya seharusnya ia cintai. Semenjak itu, kontrakan tersebut sepi. Si anak dan lelaki biadab itu tak pernah lagi datang mengunjungi.


***


Seseorang lain kemudian bercerita bahwa "Ada seorang wanita yang tewas dibunuh suaminya karena tidak menurut." -- yang mana hal itu mengajariku banyak hal soal perspektif. Soal betapa mudahnya manusia mengobrak-abrik cerita, mengubur detil-detil yang ada, dan membuatnya menarik untuk diceritakan kepada orang lain. Betapa mudahnya manusia menutup-nutupi fakta sehingga menjadikannya kebohongan yang dengan mudahnya disebarluaskan. Kebohongan yang selanjutnya diamini oleh orang lain--yang tentu akan membuat kebohongan lain yang lebih spektakuler dari kebohongan yang telah ada--yang kemudian diteruskan kepada orang-orang lain.

Lies. Inherited lies.

Lihatlah. Betapa mudahnya manusia mengubah korban menjadi tersangka. Hanya karena sudut pandang, fakta jadi opini dan opini jadi fakta.
Ketika pernyataan seorang saksi termasuk dalam daftar valid pencarian bukti, akankah saksi itu menceritakan yang sesungguhnya? Ya, menurut saksi itu. Sebab ia merasa melihat semuanya. Namun tidak, menurut sang wanita malang. Wanita itu tidak menurut karena suatu alasan, dan dengan tidak menurut seharusnya tidak menjadikan ia pantas untuk dibunuh.
Akankah saksi itu sama saja seperti kebanyakan manusia: gagal melihat dari sudut yang berbeda? Tentu saja. Karena mata cuma dua, dan biasanya, keduanya sudah puas melihat satu versi cerita saja.

Setidaknya, jika memang tidak benar-benar mengerti, jangan buat versimu sendiri.
Jangan sembarangan mempersingkat cerita, biasanya yang dipersingkat itu tidak apa adanya.



Terinspirasi dari kuliah Ibu Julia Suleeman, 23 November 2015

24.11.15

Semudah itu, Rindu




Aku hobi memendam perasaan. Aku sendiri sempat kesulitan ketika dia bertanya sejatinya aku ini punya perasaan atau tidak: apa aku tidak tertekan, atau berusaha menutup-nutupi bahwa sebenarnya aku tertekan? Nampaknya, aku sudah terlalu terbiasa menyublimasi semua repressed feelings hingga tidak tahu lagi rimba dari perasaan itu sendiri itu apa, atau bagaimana seharusnya perasaan tersebut dieskpresikan. Aku seringkali terlalu asyik bermain peran 'gadis bahagia', sehingga selalu terlihat tidak apa-apa.

Namun malam ini perasaan itu datang lagi, lebih kuat dari yang sebelumnya. Rasa yang lama sudah tidak kuucapkan--bahkan cenderung kuhindari sebab memikirkannya sering membuatku lara sendiri. Namun ia datang lagi, dan kali ini tidak bisa kupungkiri.

Rasa itu,
Rindu namanya.

Rindu adalah ketika kamu membuka puluhan folder berisikan foto-foto nggak jelas di laptopmu. Foto-foto sadar kamera berisikan wajah-wajah bahagia, kamu dan seorang yang (sesungguhnya) berusaha kamu lupakan karena terlalu jauh dari jangkauan, dan jalan kalian saling berbeda haluan. Di foto itu, tersirat tawa tulus menandakan kebahagiaan yang amat sangat, bukan pura-pura apalagi ala-ala. Waktu itu, kalian belum tau apa itu sakit hati sehingga hari-hari kalian hanya berisi suka hati. Begitu banyak tawa dan cerita untuk dibagi-bagi, rasanya tidak ada sesuatu pun untuk ditangisi. Waktu itu, yang kamu tahu hanya bahagia. Disitu, kamu tersenyum.

Rindu adalah ketika kamu membuka puluhan folder lain berisikan foto-foto nggak jelas di laptopmu. Foto-foto candid kamu dan seorang lain, candid yang sesungguhnya--dan sekali lagi bukan ala-ala. Wajah menggerutu, wajah sedih, marah, tersipu, yang sengaja kamu intip dari balik kamera. Di dalam foto-foto tersebut, ada ekspresi yang bercerita, tentang perasaan sejujur-jujurnya. Melihatnya membuatmu tercenung lebih lama dari foto-foto sebelumnya, karena kamu mulai mengingat kenapa ekspresi tersebut muncul. Dan kereta ingatan pun berangsur-angsur datang memberikanmu jawabannya, kamu kemudian menertawakan kenaifan kalian waktu itu. Namun setelah kamu amat-amati lagi, semuanya sudah usang sekali, dua ribu dua belas, dua ribu tiga belas, dan setelah itu hampir tak ada lagi. Setelah itu, yang kamu temui hanya fotomu sendiri. Sendiri sekali, tanpa orang lain itu. Dan disitu, kamu mulai meneteskan air mata.

Flashbulb memories. 
The memory of emotionally significant events that people often recall with more accuracy and vivid imagery than everyday events (King, 2014)

"Ada yang membawa hanyut segala sesuatu. Bukan air, tapi waktu."


Dalam doaku sore tadi, aku bercerita pada Tuhan tentang semuanya. Kali ini, aku menangis lebih keras dari yang seharusnya karena the pain is overwhelming. It's intangible. Yet it's inevitable. It's everywhere. Aku bilang sama Tuhan.

"Tuhan, dulu aku punya semuanya. Dulu rasanya hidupku sempurna sekali dengan mereka di sekitarku. Aku dulu nggak kebal perasaan kaya gini. Kalau lagi bawa perasaan ya nangis, kalau lagi seneng banget ya ketawa karena aku tahu ada mereka yang peduli sama aku. Sekarang aku udah gede, Tuhan, makasih banyak untuk umurnya. Tapi kenapa justru mereka Engkau jauhkan dariku, Tuhan? Iya aku percaya bahwa rencana-Mu selalu lebih besar dari milikku, namun rasanya berat gitu lho, Tuhan, buat meng-admit bahwa aku bisa hidup dengan itu. Maaf ya, Tuhan, aku ngeluh melulu, tapi emang berat rasanya dan aku nggak mau bohong sama Tuhan soal ini. Dan Tuhan tahu sendiri bahwa dengan dijauhkannya mereka, aku jadi kayak monster gini. Kenapa justru aku jadi insensitive kaya gini, Tuhan? Masa katanya aku nggak punya perasaan lho, Tuhan, kan nyebelin.
Tuhan, mungkin nggak sih buat mereka berada di sini lagi sama aku? Kalau memang mungkin, dan semuanya kembali, apakah bakal sama seperti yang dulu-dulu?
Suer, Tuhan, lagi kangen banget nggak ketulungan nih. Maaf ya, Tuhan, Ulid mintanya macem-macem...
Tapi kalau emang nggak mungkin banget, aku mau minta mereka dikasih kesehatan aja, Tuhan. Aku berdoa setulus-tulusnya juga semoga mereka selalu semangat kuliah, dan tujuan kuliahnya tercapai. Oh iya, semoga mereka selalu dikelilingi orang-orang yang sayang sama mereka, seenggaknya sesayang aku sama mereka. Kalau kadar sayang orang-orangnya masih dibawahku, udah jauhin aja, Tuhan. Aku nggak mau banget mereka dapet cinta kualitas KW. Titip mereka ya, Tuhan. Makasih banyak, I love you."



Sejujurnya, konseptualisasi waktu telah merugikan banyak orang. Banyak sekali yang menyatakan kutukan terhadapnya karena sifatnya yang selalu bergerak maju tak peduli apa yang ditinggalkannya. Aku, tak terkecuali, telah mengutukinya berkali-kali.
Dan segera, aku menginginkan semua yang dicuri waktu. Aku iri pada waktu yang bisa membawa hanyut segala sesuatu yang berhamburan ke segala arah dan di saat bersamaan bisa mengikutinya satu-satu, tanpa terlewatkan. Aku iri karena waktu selalu tahu, selalu mengiringi kamu.





Aku iri karena waktu,
meninggalkan aku
dalam rindu
semudah
itu.



Sedang kita,
tak kunjung bertemu.

16.11.15

When you try your best but you don't succeed

"Kamu itu, kita semua ini sudah terlanjur didoktrin bahwa jika kamu nangis maka kamu lemah. Padahal memang sakit kok, masa nggak boleh nangis. Relakanlah endorfin-mu jika memang sudah waktunya."

Katanya Mas Eko, yang selalu kuingat-ingat di kepala.





Karena aku mahasiswa yang baik, maka kuturuti perkataannya.
Dan menangislah aku sekarang.

13.11.15

A fiction comes true: a blessing or a curse?


This time, we would talk about fiction. So, how many of you loves fictional stories? Tell me how interesting they are, tell me how it thrills you out imagining something impossible to happen in real life. And how many of you have tried making your own version of fiction? For those who raise your hands, well I did too, long ago. It was such fun, I know. But you'll see the fun is no longer when that fiction slowly slips through your wish and prayers and eventually comes true. The fun is no longer knowing that, now that the thing is real, it looks creepy and weird even to see it around. It is right there now, right under your nose like how a reality should be. 

Awalnya sih cuma iseng. I happened to have this period of spare time and tried to think of something to be written. Aku memikirkan sesuatu yang kelihatannya sangat mustahil mengingat kemungkinan untuk terjadi dalam ruang dan waktu yang kutentukan tersebut amat sangat sedikit. Waktu itu, tempatnya bahkan fiksional sekali. Setting tempatnya di sini, dan waktu itu tempat ini masih hanyalah angan-angan belaka. Kemudian, subjeknya, adalah kamu.

Kamu yang saat itu hanya kuketahui namanya tanpa tahu asal-usulnya. Kamu yang sering bertemu denganku, always dying to talk to me, but chose to be silent. Kamu yang aku sama sekali nggak kenali. Hanya nama, dan hanya keping-keping cerita tentangmu yang kudapat entah dari teman atau akun-akun media sosialmu yang sengaja aku stalk for the sake of curiosity. And then I found you were so mysteriously interesting and you know I like mysterious people. Jadi, berbekal pengetahuanku yang demikian miskin, I started to write about you. Typed it, saved it, re-read it occasionally, and that's all. I never expect anything, not a single thing about the story to become true someday.

But then, reality hit me hard on my face. There was a time when I had to literally move my little self on and get a prosperous life. There was a time when I had to move out from that city, and going back to my hometown--means I couldn't have any chance to see you twice a week just like I used to. Means I had to leave you, for my own good. It was quite sad, actually, but I didn't take it seriously. And so I packed my stuffs and making new possibilities for myself to achieve. I even forgot about that story, that fiction, and even you. And that was just okay, I had nothing to lose.

I continued living my life cheerfully. Being ambitious, full of dreams, being a role figure of every motivational books. Fed myself with books like literally 24/7, had a boring life for months (I have to admit), and it was still okay. But, you know what? Everytime I get bored, I always look up to my notes, find that fiction, quickly reading it, and somehow it makes me re-energized. It became my source of power whenever I get down. My crazy thoughts of you, somehow, they keep me sane. Then slowly, that fiction became addictive to me. I read and read and read it all over again and get strengths in some ridiculous ways I couldn't explain. And soon, away from consciousness, you slip into my wishes. Between my cries on my night prayers, under my pillow when I was about to dream, a vague layer beneath a reason of my aim. Maybe because I got engaged to it, maybe because I spent much more time than I did reading that fiction. Maybe, I've just proven the proverb "bisa karena terbiasa" on this case. I just don't have a proper explanation about how unconsciousness can take lead of our behaviors.


Months passed by, clarity happened. I was no longer a sad girl stuck in the circle of boredom. I was happy and free, but eventually, shocked to death. Knowing that the fiction were revealed, transformed into reality, and you too. It was not just it, not only the subjects, not only the places I've set, but also the circumstances and every conversation that we have. It somehow makes me feel like it's meant to be, like we were destined to be met. 

Am I a good writer or a bad writer, a good person or a bad person, for having this chance of seeing a wish being granted by Her Maker?

I got lost in words, I lost my compass on how to behave toward this granted wish because you are just so...unreal to me. You must have still been in my notes, being that person I imagined, not physically exist and engage with me in my daily basis. You got me on hard times coping with everything surrounds me. Indeed, this situation is unreal. But you, making it even harder to believe! You eventually being the reason I keep afraid that all of these are just dreams on a long-sweet-night sleep. You eventually are the one who makes me scared of being awaken someday in the future just to realize all these things never happened!

You, are a wish turning into curse really soon.
You, are better off being a fiction.

***
Now here I am, learning the hard way to be very careful when writing a fiction because this phenomenon scares me a little bit to start writing another fiction. It was fun, indeed, to write such things you like and to imagine a certain circumstance of impossibility. But you have to realize that, impossibility is somehow a negation of possibility--which means it's a part of it. You also have heard their tale of this Earth and its people, telling you everything can happen and the best to do is anticipate. My thing finally happened, and I have to work a little harder to cope and fit myself into this kind of a TOTAL weird situation where awkwardness is everywhere and I couldn't help it. 

I also have learned that not every wish is worth wishing. Take a very good care of it because you'll never know whose and which prayers are going to be granted. You may not speak them through words, but God knows every single thought you have in your mind, every single name you silently write on your heart, and every single look you lay on in a blink of an eye. He's watching you all along, so be careful with everything that you do. Get yourself prepared to various surprises lying ahead because, if you are a type of person like me who's basically not fond to surprises, things like these will shake your legs.

God is that great.




25.10.15

In the solitude

Just done reading posts made by people who happened to be.....so good at explaining what I'm feeling right now. Sometimes I feel like I'm too an illiterate trash to just spread the words out of anything inside of me. I'm too glad knowing that there are still people who think and feel the same way as I do, and can explain those thoughts and feelings waaaaay better than me. I'm so thankful to the universe that set my fate to eventually found their pages, and sent me a virtual arm to make me feel alright. At least for now that I cried myself on my bed, been clueless questioning the why of things happened lately.

I don't know. I just don't know. Maybe I still have no right to judge, to criticize, to simply conclude  life. I don't even know whether or not I deserve to feel upon things. Maybe I'm too an immature, selfish, shy little brat crawling up the slope--gets a luck of being shown a sneak peak of something they call life. I'm feeling like all of them people have their own definition of life, while I'm here spending time reading Hergenhahn's book trying to find out mine. And yet I haven't found any up until now. I'm feeling like there's so many truths to be believed in. And you know what? It's really sad that in the end you realize that people actually have made up those truths, rewriting and rephrasing the prior truths--without even noticing that they actually change those truths, they change the essence of just everything.

Here I am, left indecisive to even believe one of them.

I'm indecisive to pick up things that suit me up the best. I just sort of found out that things have been being harder, and, holy Lord, I just found out....maybe a minute ago. I've always thought I'm fine. I've always felt like this is the coolest shit I've ever made in my life. But, God, now that I'm here, now that I recall everything....someone, I think Life, slaps me in the face. He tells me I can not put up with anything. I'm a total mess now. I made a bad start and that becomes the domino effect of all my episodic memories. Well, it can be summed up like, what happens to me right now is the effect of what I've done far in the past. This is the effect of something I thought okay for doing. I thought it was just it, but sadly, it's not. It ruins my life just now and the result is...a version of Me I'll never want to be.

I think I'm done figuring things out up until this point. I know if only I move farther on figuring out, I'd might be ended up jumping from the 3rd floor of my dorm. For now I could only hope that things will get better. Bye-bye bad day, I'm gone sleeping....

7.10.15

Little things that matter

"Selama kamu di sini, carilah kebahagiaanmu melalui hal-hal kecil. Really, it helps you survive." 

demikian kira-kira kata Ka Gabriel Charlotte. I know we're both thinking about how cool her name is. Waktu itu aku ada tugas wawancara, dan what a great fortunate to meet Ka Gaby in the Psiko's library. Sitting on the corner, not knowing why she chose such a rural place a pretty girl should not belong in. Headsets were put on her ears. To me, both the corner she chose, her decision to put on headsets, and a book on her palms showed much how introverted she was. But seconds we started talking, selengean was my first impression about her. Like, really, she was a senior three years above me which means this is her last year, or we both hoped so, and she sat in front of me in jigang position (can't find proper English for that) the whole conversation. You wouldn't possibly expect that gesture from an apparently graceful beautiful woman, wouldn't you? But, yeah, don't judge a book by its cover, right? Because in the end of the day, another fortunate sadness came to me as I knew she is currently the president of EDS in this university and at that time I was an upcoming member of that institution and she said "Lucky you to meet me first, kalau gitu nanti lo interviewnya sama gue aja.". Guys.....I know I was wrong with that what-you've-been-up-to question. Again, don't judge a book by its cover, my son.

So, back on the big quote I put on top. Those words had successfully got me captivated in some mysterious ways. Like, really, I contemplated on my way home about what things can actually make me happy...here. I could utter from one to one thousand things that make me happy there, but not here. Just not yet. Then, I thought that I started to rethink replay and recall everything since the day I got here. Things that tickled me, things that saddened me, things I sunk into, things I would love to spend time all day. And after a long time of thinking, here are those little things..

F I F T E E N   RU L E S   O F   H A P P I N E S S

  1. A 10 minute morning walk to a bus stop in Fakultas Teknik (and yeah, I live near FT instead of FPsi).
  2. Spending time reading on a shady bench while waiting for the bus.
  3. Enjoying the landscape view from my bus' window.
  4. Listening to John Mayer or Imagine Dragons along the road, be it walking or when riding a bus.
  5. Having sholat in Masjid Ukuwah Islamiyah (often misspelled by Masjid UI) at peace. It has to be so literally lonely that it feels like I'm just a speck of dust between the galaxy so please see meeee...
  6. Buying tempe mendoan in Masjid UI's cafetaria. 
  7. Another time spent reading in Taman Melingkar at the Central Library. The place will mostly look like this.
  8. Getting lost at Books and Beyond (found an exact pict. yayness!)
  9. Sunset at the edge of the lake.
  10. A night walk to Margonda Raya.
  11. Taking a night train. (photo taken couple days ago after I was about to get struck by one of 'em haha. That 'so close' moment....phew)
  12. Pondok Cina's parking lot. Somehow the scene fascinates me (the picture really represents my point of view). Some of you may ask why would I go to a parking lot of a train station. Well, to get to Detos (search it urself) you have to walk through the parking lot first. Yesh, walk. All hail pedestrians. Go green. Hidup mahasiswa. 
  13. Indomie rebus. I know I shouldn't.
  14. The place I live in, my lovely kosan.
  15. And finally, them.

Well, I think that's all for now. I know that this post should be kept updated because thingssss ahead are waiting for me. I'm yet to explore all of them and will likely love some of them. I would love to abruptly put them on 16th to countless. I haven't even tried sepeda kuning yet, and somehow I believe I'll love it the first time I try haha.


You know that when you move into somewhere new, moreover somewhere you've never been in before, you'll get some kind of awkwardness. Whether it's dealing with the environment or merely with yourself. You'll get bored, you'll miss home, you'll be blue, but that's just the perks of being a wanderer. Those fears are just fogs blocking your sight of breaking the future's secrecy. Because when it comes to the reason why are you here in the first place, it gathers back all the guts and joys inside of you. It renounces again that you matter, your wars of life--they were all worth it.

So I suggest you to also find your little happiness wherever you belong right now. Whenever you feel like there's nothing to be happy about, go get yourself a little walk and see things from a differently brand new perspective. You will find that there's abundance of things to be grateful of; be it a person, a place, a thing, or just simply a thought. I believe that even in our daily routine, we find blessings, we earn something we enjoy doing everyday and not even complaining for it. Hey, I used to give up sports--physical workout thing, and for God's sake I ride motorcycles even just to buy eggs to a neighbor. Now that I walk everywhere, I'm very used to it and I've found blessing of getting healthier than I've ever been before. See? Happiness is everywhere, even on things you don't expect. So if you're not happy....you're just not yet. You will.

6.10.15

Kadang, kemapanan itu membosankan

Kali ini saya akan bercerita mengenai kosan saya. Satu kata untuk mendeskripsikannya: mapan. Kosan saya adalah dunia lain di hiruk pikuk Kukusan. Sangat damai, aman, nyaman, dan mapan. Makanya, setelah rutinitas kuliah dan tugas selesai, kalau kamu ngajak saya keluar untuk nugas lagi, kemungkinan besar akan saya tolak (kecuali kalau kamu ajak main HEHE). Saya bisa betah seharian ngungkung diri di kamar. Yang penting listrik nyala, kosan saya bagai surga. Sejuk, banyak makanan, dan wifi kenceng. Nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan?

Namun, dibalik nikmat itu muncul satu masalah. Saking nyamannya para penghuni kosan, mereka jadi kebetahan ngumpet di kamar. Pintu mereka hampir selalu tertutup. Saya bahkan baru tahu bahwa ada anak Psikologi yang ngekos TEPAT DI SEBERANG KAMAR SAYA setelah SEBULAN saya ngekos di sini. Kan, tau gitu bisa berangkat barengan biar capeknya jalan nggak kerasa, ada teman main, teman makan, teman ngerjain tugas ospek (iya dulu aku suka stres sendiri kalau lagi ngerjain tugas ospek), teman nyuci (this is so important bicoz basically nyuci isn't something you would possibly want to do on weekends, godaan laundry itu segitu hebatnya), dan barangkali bisa jadi teman dekat. Itu aja kami ketemunya nggak sengaja gara-gara pas malem saya lagi masak Indomie di dapur dekat kamar dan dia, sebut saja Jojo, baru pulang dari kampus kayaknya. Dia masih pakai jaket kuning waktu itu (peraturan masa inisiasi, di Psiko specificly we call it Agoge Period) dan our eyes met and we were like...

"Lo anak psiko ga sih?!"
"Iya, lo juga, kan?!"
"Oh my god kita sering sekelas!!"
"Oh my god iya!!"
"Kamar lo mana?!" dengan nada sedikit menodong. Kemudian dia menunjukkan kamarnya dengan telunjuknya. Kemudian aku menunjukkan kamarku dengan telunjukku.
"OH MY GOD JADI SELAMA INI ..."
"Pantesan kemarin gue lihat jakun makara biru muda dijemur disini!!"
"Iya itu punya gue.... oh God oh God besok-besok berangkat barengan aja yuk!"
"Iya iya sumpah gue seneng banget akhirnya punya temen hahahah"
"Iya gue juga hahahah"

Dan...ya. begitulah kira-kira percakapan kami malam itu.

See? People barely set out from their comfort zones. Even I, who religiously preach myself to stay out from my comfort zone, eventually got caught up inside it. Kadang, mengingatnya bikin saya malu harus makan kata-kata sendiri. Ya mau gimana pun juga, harus ngaku bahwa sejatinya saya sekuper dan se-nggak kenal itu sama lingkungan tempat saya tinggal. Which actually got me thinking, sesuatu yang sempurna itu ternyata membosankan. Karena ketika sesuatu sudah sempurna, ia tidak memiliki ruang untuk diisi oleh hal lain. Dalam hal kosan ini, dengan berada di kamar rasanya sudah sangat sempurna sehingga saya tidak perlu pergi keluar untuk mencari ini-itu. Ujung-ujungnya, saya jadi sangat kesepian seperti sekarang ini. And now you know, menjadi sempurna se-membosankan itu.

Meskipun ada satu-dua yang saya kenal, namun mereka sibuk dengan urusan mereka di kamar mereka masing-masing. Kosan saya bagaikan sebuah dunia, dan pintu-pintu kamar penghuninya adalah gerbang menuju dunia-dunia lain yang lebih besar--entah bagaimana. Kadang timbul suatu keberanian untuk mengetuk pintu, sekedar untuk mengajak makan malam atau berangkat bersama. Namun, tepat didepan pintu itu niat saya menciut. "Kalau mereka nggak sibuk, pasti pintunya kebuka dong..". Jadi, seringkali niat itu saya urungkan dan I ended up being a slight loner. Kemana-mana sendirian. Dan by the way, Jojo dan Nana (teman yang berhasil dekat, sebenarnya) sekarang sudah pindah kosan. Meninggalkan saya yang semakin sendirian. Namun apa daya, itu adalah hak mereka. Mungkin mereka mencari tempat lain yang lebih tidak sempurna. Mungkin mereka ingin jadi pelengkap ketidaksempurnaan itu. Atau mungkin alasan lainnya, saya tidak tahu.

Jadi, haruskah saya berlari mencari ketidaksempurnaan juga? Bagaimana menurut kalian?


Rahasia Bulan Empat

Jadi, hai lagi, Kamu. Biasanya kita jumpa di tulisan saja, ya. Menjadi terasa aneh ketika akhirnya harus bertegur sapa. Canggung, mungkin itu kata yang tepat. Malu-malu kau palingkan wajahmu, dan aku hanya duduk disana. Menyimak, menikmati keindahan sesaat.  Meski gelap, meski gemuruh. Kemudian muncul kabar dari seorang teman lama. Waktu pun kutipu demi membacanya. Meski mahal kesempatan ini kubeli. Sedetik selanjutnya, aku tersipu sendiri mengeja kata. Adakah kau saksikan? Adakah kau rasakan?

Getar itu.
Nyata meski malu-malu.
Bagai sosok yang pergi, lalu minta dikejar.
Sesederhana itu.

Kamu adalah, bahasa kentara yang takkan kuterjemahkan. Kubiarkan menari-nari, bergejolak liar menggerayangi tubuhku. Kau ‘kan lihat resahmu sirna, sedang bahagia dan dosa tiada bedanya. Kau ‘kan temui
                Aku
di celah waktu penuh harimu,
bersamanya.

Aku pun bahagia, dengan sederhana. Sebab akulah yang pernah kau sambangi ketika dunia beranjak membosankan. Ketika berlari melelahkan, dan ketika hidup hanya menuai peluh. Dapatlah kiranya aku ini kedai kecil di tepi jalan bagi seorang perantau yang kelelahan. Dan dapatlah kiranya kita ini, adalah malam yang kau curi, yang berakhir pada percakapan singkat-singkat, juga secangkir kopi. Hangat. Hingga sanggup dirasa jantungmu.

Begitu seterusnya.

Cukup lama hingga kau sadari aku hanya semu dan sementara. 


Empat, Dua Ribu Lima Belas

23.9.15

Takbir pertama di perantauan

Puasa hari ini sukses. Saya menyelamati diri saya sendiri yang telah menjalani puasa dengan baik meski tadi sahurnya kepotong azan Subuh. Haha, nggak apalah. Pengalaman. Jadwal kuliah yang padat serta segunung tugas mulai dapat saya syukuri. Dengan demikian, waktu berlalu begitu cepatnya hingga tiba-tiba sudah azan Maghrib saja. Suara takbir mulai diserukan di segala penjuru Kukusan. Menimbulkan rasa haru sekaligus nelangsa dalam hati. Biasanya, saat-saat seperti ini, saya tidak di kamar sendirian. Tidak menulis blog post, tidak meneteskan air mata sedih, dan tidak merindukan siapa-siapa. Basically, saya tidak pernah sekalipun merasa kesepian saat malam hari raya selama ini. Saya selalu sedang berada di dapur Mbah Uti, bersama Ibu, tante, mbak-mbak, dan mbah-mbah serta adik-adik saya, ramai-ramai memasak makanan takjil untuk dibagikan kepada jamaah shalat Ied keesokan harinya. Usai memasak, saya berkumpul dengan keluarga di selasar rumah joglo Mbah Uti, menyaksikan parade kembang api gratis di langit malam Desa Ngunut yang selalu cerah. Tidak pernah sekalipun langit Ngunut bersedih pada malam hari raya seperti malam ini. Dan mengingat segala hal tersebut, saya jadi lara sendiri. Ternyata, konsekuensi dari pilihan yang saya buat sebesar ini. Hidup saya berubah sedrastis ini hingga bisa saya rasakan saya yang sekarang bukanlah saya yang dulu. Saya menyadari bahwa merantau tidak semudah mengucapkannya. Menjadi perantau sama seperti berkelana dengan membawa tas ransel dimana pahit-manis masa lalu kamu letakkan di kantung-kantung kecilnya dan kamu sisakan ruang besar untuk pengalaman-pengalaman dan perasaan-perasaan baru. Perasaan yang ada dalam hati s saat ini adalah perasaan yang sepenuhnya baru. Saya harus terbiasa dengan rindu kampung tak terbalas semacam ini mau tidak mau. Saya berdoa, semoga bisa. Dan memang harus bisa. Saya sangat merindukan keluarga dan kucing saya saat ini. Semoga malam hari raya mereka masih indah meski kurang satu personil. Semoga mengingat saya tidak lantas membuat mereka bersedih.

10.9.15

Cukur (2014)

Rediscovering my old unreliable stuffed up cellphone that always says "Not enough memory", my eyes got this.

Dia kembali dengan senyuman,
lebar
Di kejauhan,
wajahnya berseri-seri
menuruni tangga
diiringi matahari siang hari 
Kemudian,
malu-malu ditunjukkannya
cukuran barunya

Aku pun tertawa

Enggan berkata,
sesungguhnya ia tampan juga

Ia menghambur padaku,
lalu kuikatkan ke tiang pancang
semoga tak lepas-lepas

7.9.15

Application of Logical Fallacy: Appeal to Ignorance

Tadi pagi nyampe di kampus setengah tujuh. Gils udah kayak anak SD aja, Lid. Maksud saya di sini setengah tujuh pagi itu masih dini hari. Sepi kering kerontang sepanjang jalan yang terbentang. Namun hari ini tadi lain cerita, saya ada jadwal mentoring dalam rangka kegiatan awal mahasiswa baru (read: ospek). Iyha sensitif banget kalo nyampe topik yang ini hahaha. Di dalam kegiatan ini saya dan teman-teman diberikan materi yang--alhamdulillah--bermanfaat bagi kelangsungan hidup saya and is very applicable. Hari ini materi yang dibahas adalah tentang logical fallacy atau bahasa udiknya yaitu sesat pikir.

Logical fallacy sendiri sebenarnya ada empat tipe. Straw man, slippery slope, red herring, dan yang satu lagi appeal to ignorance. (Try googling it ya.) Appeal to ignorance saya sebutkan terakhir karena saya ingin memberikan penekanan pada poin ini. Mengapa? Karena agaknya poin yang satu ini sangat berkaitan dengan apa yang akhir-akhir ini saya alami.

Appeal to ignorance merupakan sebuah keadaan dimana seseorang memutlakkan ketiadaan atau keadaan sesuatu yang kebenarannya belum teruji secara ilmiah. Hal ini diindikasikan dengan penyimpulan cepat atas segala tanda-tanda kasat mata tanpa disertai data yang valid. Seseorang dengan kecenderungan appeal to ignorance menggeneralisasikan apa yang dia ketahui sebagai segala yang dia ketahui. Padahal everything you see is not everything you see. Oh iya, dan ada lagi quotes dari seseorang (saya lupa namanya) yang bilang kalau the absence of evidence is not the evidence of absence. Yang kemudian kalau saya ingat-ingat si wise man kayaknya namanya Carl Sagan or something wkwk google it for clarity.

Contoh dari kasus appeal to ignorance ini kayak gini.

Carl dikirim berkeliling tata surya untuk menemukan tanda-tanda adanya alien atau makhluk cerdas dari planet lain. Namun dalam pengembaraannya tersebut Carl tidak dapat membuktikan bahwa alien itu ada. Sekembalinya ia ke Bumi, Carl membuat pernyataan bahwa tidak ada yang namanya 'alien' karena semasa ia berada di ruang angkasa ia tidak mendapat respon yang diharapkannya dari sosok alien atau makhluk cerdas lainnya.

Kemudian muncul pertanyaan: Apakah pernyataan tersebut valid?
Sepengertian saya, jawabannya adalah tidak. Meskipun sekilas pernyataan tersebut nampak benar, namun jika kalian telaah sekali lagi, apa yang disampaikan Carl merupakan sebuah pernyataan yang sifatnya subjektif. Sebab kembali kepada quotes absence of evidence is not the evidence of absence. I mean, this is a huge huge scale of universe that we're talking about. Ketika Carl menyimpulkan bahwa tidak ada yang namanya alien, secara tidak langsung ia menggeneralisasikan bahwa tidak ada sama sekali alien. Tidak di tata surya maupun jagat raya. Padahal, Carl belum mengeksplorasi jagat raya ini. Ia hanya telah menelusuri tata surya, namun tidak jagat raya. Bisa saja makhluk cerdas bernama alien memang ada wujudnya seperti di film-film barat. Mengingat jumlah bintang yang milyaran, maka jumlah planet pun jelas akan akan lebih banyak dari itu. Dan oleh karena itu terdapat milyaran probabilitas pula tentang adanya kehidupan lain yang menunjukkan bahwa manusia sejatinya tidak sendiri di jagat raya ini.




Dari materi ini saya belajar banyak hal bahwa nggak selamanya hal yang kita anggap benar itu sepenuhnya benar. Clarify. Cari tahu kebenarannya biar nggak sesat dalam berpikir. Karena nggak cuma dalam perkuliahan aja lho, dalam percintaan pun bisa terjadi logical fallacy seperti ini. Love is a total fallacy. Coba simak cuplikan drama berjudul Closer (Shulman, 1951) ini:

"My dear," I said, favouring her with a smile, "we have now spent five evenings together. we have gotten along splendidly. It is clear that we are well matched."
"Hasty Generalization," said Polly brightly.
"I beg your pardon," said I.
"Hasty Generalization," she repeated. "How can you say that we are well matched on the basis of only five dates?"
I chuckled with amusement. The dear child had learned her lessons well. "My dear," I said., patting her hand in a tolerant manner, "five dates is plenty. After all, you don't have to eat a whole cake to know that it's good."
"False Analogy," said Polly promptly. "I'm not a cake. I'm a girl."
See? Because you're gonna get sucked once you try to rationalize love. Bukannya ingin mencampuradukkan antara cinta dan akademia (?) namun apa salahnya sih kita terapkan prinsip-prinsip kecil sesederhana menghindari appeal to ignorance dalam cinta?
Selain menghindari prasangka, baik juga untuk menjaga perasaan kita sendiri agar terhindar dari pikiran-pikiran buruk yang akhirnya bikin pusing sendiri. So I think you're now a step ahead for loving someone, right?



Here, procrastinators die

Mengapa? Sebab tugasnya banyak, tuntutan juga banyak. Sesuatu bernama tradisi juga masih mengiringi hari-hari perdana perkuliahan yang seharusnya dapat dinikmati. Maka mengeluhlah sebab tiada gunanya. Tidurlah itupun kalaupun waktu tersedia. Mata menghitam sudah biasa. Ke kampus berpakaian dekil di antara ribuan bidadari-jatuh-dari-surga juga sudah biasa. Dan... selama ini masih berusaha mengesampingkan kafein, yang penting makan bergizi. No. Makan selagi masih bisa makan dan ada yang dimakan.

Because here, time shrinks or intentionally shrinked. What a genious way to eradicate procrastinators, huh. Digowo santai ae lah.



(Bonus foto ketawa ala-ala dengan background bata-bata yang konon hanya ada di kampus saya dan merupakan spot foto wajib buat maba hahaha wallahu a'lam)

26.8.15

Officially Diospek

Kemarin,
Stasiun UI pukul 5:30 pagi.


Masih sendirian saja memandangi jalan. Langit masih gelap dan Depok belum begitu riuh dengan suara. Hanya sesekali kudengar dengung sirine serta gertakan piston kereta yang berlalu di belakangku. Oh ya, dan juga para senior FIB (Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya) sedang nyanyi-nyanyi nggak jelas di seberang sana setiap kali ada junior yang lewat. Entah hanya perasaanku atau aksi tersebut lebih merupakan suatu intimidasi daripada penyambutan. Haha whatever

Sejenak setelahnya, aku tidak lagi sendirian. Banyak remaja seusiaku yang berdatangan. Ada yang mengenakan pakaian batik, ada yang menggunakan kostum olahraga, ada juga yang berbaju putih-hitam termasuk saya. Selain pakaian yang mereka kenakan, di punggung dan dada mereka terjuntai papan nama yang entah butuh waktu berapa lama untuk membuatnya. Beberapa dari mereka mengenakan papan nama yang untuk membuatnya dibutuhkan keterampilan menganyam. Ya, menganyam. Di tengah kesibukan mahasiswa baru, mereka harus menganyam. Bayangkan betapa merepotkannya. Sedangkan yang lainnya, megenakan tali rafia tiga warna yang dibentuk kepang untuk mengalungkan papan nama mereka. Ada lagi yang membawa tas dari kardus bekas yang entah kapan mereka menyelesaikannya. Seorang lelaki disamping kiriku, dengan RENVOI sebagai nama kelompoknya, sedang sibuk menyalin delapan esai 800 kata di logbook miliknya. Ia bahkan harus menggunakan pena warna merah untuk menuliskan satu kata tertentu. Aku tersenyum kecut melihat semua fenomena itu. Mata mereka lelah dan sayu. Ya Tuhan, apakah semalam mereka sempat tidur?

Dan....
Kemudian aku ngaca. Not literally :p aku pakai putih-hitam juga. Pakai name tag juga. Pake slayer biru muda sama tas serut gambar trisula yang ada namaku diatasnya, udah kaya anak pramuka mau kamping. Ada sebagian hati kecilku yang ingin sekali berontak, gila malu saya kak. Secara dari kosan sampai halte harus jalan kaki. Dari stasiun sampai fakultas juga harus jalan kaki. Diliatin orang. Namun kalau aku bandingkan dengan orang-orang di sekitarku, nampaknya aku yang paling nggak ribet. Dan mungkin karena alasan itu juga, aku mau-mau saja disuruh seperti ini. Lagipula sudah konsekuensi. Haha memang kadang penderitaan orang lain bisa jadi obat pengurang sakit buat penderitaan kita sendiri. Duh kok jadi jahat...

Aku jadi mikir: kenapa aku mau? Padahal aku udah capek dengan hal-hal semacam ini. Dibentak-bentak padahal ngomong biasa aja juga kedengeran, dicari-cari kesalahannya padahal nggak salah, dipelotot-pelototin sampe berasa jadi kaya penganten lari dari resepsi, banyak lah. Buat apa hal-hal kayak gini aku jalanin lagi? Buat apa juga mereka kayak gitu? Sedangkan aku, dalam satu program lain, yang lebih nggak nonsense kayak gini, aku bisa kenal deket banget sama teman-teman dalam program tersebut. Yang mana dapat aku simpulkan bahwa dengan membuang unsur-unsur additional kaya gitu pun tujuan program dapat terlaksana kok.

Akhirnya aku ngerti, dan sadar kenapa aku datang dengan segala tetekbengek yang melekat pada diriku hari ini saat ini. Itu adalah alasan satu-satunya aku mau ikutan acara beginian, alasan itu adalah: "Ini kampus yang kamu impi-impikan. Ini yang kamu mau". That's what I tell myself like....all the time whenever I feel like all of my actions are total waste of time. Mungkin teman-temanku yang lain juga mengatakan hal yang sama kepada diri mereka masing-masing. Kami hanya harus menyelesaikan hingga akhir, berpura-pura menikmati seperti para kakak senior yang juga berpura-pura galak dihadapan kami which we also always tell ourselves "Aslinya mereka baik kok.". Sedangkan sampai disini aku belum tahu siapa yang salah, sistemkah? Atau pelaksana sistemkah? Because just so you know, things like these won't drag anyone anywhere as it only lifts down their mental, which means you're gonna say i hate it if you're stressed yet you don't want them to blame it all on you then say it's not my fault it's them who's lame haha. Pengen rasanya nanti jadi petinggi biar bisa merubah dunia dan sistemnya (mendadak idealis) (padahal masih maba) (haha iye maba). Semoga saja.




So, this is just a post from a freshmen. It tuns out that this is the first time she's getting diospek. And she's gonna love it if you take those words seriously meskipun sebenarnya diospek seru juga. Selamat ospek semuanya, semoga kelak jadi pemimpin yang bisa menghapuskan ospek dari muka bumi ini heheheh.


(Bonus foto rupa bahagia sesaat setelah kelar ospek, bersama kakak mentor kelompok yang nggak jahat)

18.8.15

So fk the distance

"Take a piece of my heart and make it all your own.
So when we are apart, you'll never be alone."
Shawn Mendes 

14.8.15

Balada Anak Rantau (bagian 1)

Hai pembaca (kalo ada) (ya ampun ngenes banget). Dulu sempat berjanji kalau udah disini mau rajin-rajin nyamperin blog paling enggak seminggu satu postingan bermutu. Namun, begitulah, realita selalu berbanding terbalik dengan ekspektasi. Ekspektasinya sih nyampe disini langsung beberes langsung bisa klop sama lingkungan langsung banyak inspirasi. Ternyata realitanya: nyampe disini kosan belum fix, baru fix jam 9an malem dengan kondisi super capek habis ngantri 455 nomor buat registrasi, belum lagi letak kosan yang amat jauh dari peradaban perpsikologian (apa ini), dan begitu nyampe kosan setelah seharian kegiatan yang ada hanyalah....pengen tidur. Duh.

Jadi, sesampai saya disini--untuk pertama kalinya ngeliat kampus yang amat sophisticated dimana pada saat itu juga langsung jadi mahasiswanya HAHAHA--banyak sekali yang bertanya.

"Gimana? Udah kerasan di sana?"
"Udah dapat temen baru belum?"

Jujur, sampai saat ini aku masih belum percaya bahwa aku disini, jadi maba di univ ini. Masih takut kalau suatu hari aku bangun dan selama ini semuanya cuma mimpi. Sebab aku, tanggal 9 Juni 2015, di Ubhara, setelah selesai mengerjakan soal TPA, aku pergi ke masjid. Nangis disana karena ngerasa nggak bisa ngerjainnya. Soalnya benar-benar jauh diluar perkiraan. Bahkan dengan nilai try outku di bimbel yang sudah jauh melampaui passing grade, aku benar-benar dibuat down dengan soal-soal TPA. But God gives me this dan you just can not imagine how retarded I'd be if I didn't feel blessed. And anyway jika semua ini hanya mimpi, bolehlah aku menikmatinya dahulu sebelum semuanya hilang dan jadi kenangan.


Well, saatnya bercerita. Judul kali ini adalah Depok Story. Berisi tentang kira-kira first impression aku setelah menjadi bagian dari Universitas Indonesia, perlambang citaaaa, berdasarkan Pancasila dasaaaar negara. (ceritanya sambil latihan padus)


PERTAMA. Yang jelas itu CULTURE LAG! Sampai disini itu berasa anak daerah banget and sometimes when you see them ganging up with their friends, with their ombre and dyed up hairs, with their make ups, with iPhones on their hands, ada bagian di dalam hati kecilmu yang berkata "Aku mah apa atuh..".

Selain itu, belum kebiasaan ngomong lu-gua dalam percakapan sehari-hari. Aku sih sebenarnya kurang berkenan kalau disuruh ngobrol pakai lu-gua, karena entah kenapa kesannya agak kasar. Lebih suka pakai aku-kamu aja atau kalau nggak gitu sebut namanya, biar kesannya lebih akrab. Tapi tergantung konteks sih. Kalau emang yang diajak ngomong bener-bener anak metro dan gak bisa diajak sopan-sopanan, yaudah lu-luin aja wkwk.

KEDUA. Buta arah dan mata angin. This really happened karena UI yang rimbun penuh pepohonan dan danau amatlah luas bagaikan oase ditengah gurun Depok yang panas. Di UI transportasi umum satu-satunya yang reliable dan gratis hanyalah Bis Kuning alias bikun dan Sepeda Kuning alias sepekun. Namun ketersediaan fasilitas tersebut tidaklah lengkap tanpa disertai kemampuan navigasi yang memadai. Karena ketika sepekun tidak beroperasi, kamu harus naik bis. Dan ketika kamu salah naik bis, maka nyasarlah kamu.

KETIGA. Susah makan dan kelangkaan tempe. Jangan harap makan enak dulu, selama disini susah banget ngeluangin waktu buat seenggaknya makan nasi sekali sehari. Bukan karena gak ada budget, tapi karena waktu buat ngeluangin makan nasi kadang rasanya nggak ada mengingat makan nasi membutuhkan waktu yang banyak dan turunnya nasi itu lama juga. Seminggu ini, pagi cuma sempet ke Alfamart, siang ke kantin (kalo sempet), sore nyampe kos udah capek banget dan males keluar jadi biasanya cuma ngemil aja. Ini kalo ibuku baca pasti dimarahin habis-habisan deh -_-

Selain susah makan nasi, disini susah banget nemuin tempe goreng yang bener-bener enak. Kedelai di sini beda banget sama kedelai di Jawa. Tempe-tempe di sini rasanya nggak nagih. Dan tadi, baru kali ini aku ngerasain yang namanya kangen tempe. Elah tempe dikangenin (iy soalny mw blg i miss u ke doi gengsi wkwk). Jadilah tempe mendoan seharga 2.000 pun kubeli tiga biji. Di Jawa tempe 2.000 udah dapet empat biji.

KEEMPAT. KANGEN TEMAN-TEMAN DI JAWA. This is so unexplainable. Mengingat aku di Depok sendirian dan teman-temanku nyebar dari Ujung Kulon sampai Suramadu sering bikin aku sedih. Kadang aku ngerasa lonely banget. Kadang yang biasanya kalo lagi baper nyelonong buka kamarnya Adi, curhat-curhat sampe ketiduran bareng sekarang ga bisa lagi. Yang dulu biasanya kalo lagi nangis bisa minta peluk ke Miranda sama Iis sekarang juga udah ga bisa lagi. Yang dulu kalo lagi ngenes suka cerita-cerita ngablak ke Niken, sekarang udah gabisa lagi. Sekarang kalo mau baper nangis-nangis, bapernya sendirian terus nyanyi-nyanyi lagu galau sambil showeran wkwk #inibener. Tapi ya gimana lagi, beda orang, beda ambisi, beda mimpi :)
We had to go our ways. Jalan itu dulu satu, sekarang bercabang dan tidak ada yang tahu apakah cabang-cabang itu akan bermuara kembali pada satu jalan yang sama. Meski berat ninggalin teman-teman, tapi aku ikhlas, aku jadi sebahagia-bahagianya manusia mengetahui bahwa mereka masuk univ yang mereka impi-impikan dan sepuluh tahun lagi mungkin bakal reunian bawa suami, istri dan anak masing-masing. Bayanginnya bahagia banget, di hati adem banget :'))


Dan, ya. Kira-kira begitulah pengalamanku selama kurang lebih seminggu tinggal di sini. Semoga jarak nggak jadi alasan buat kita jadi teledor sama kewajiban. Semoga kalian yang juga jadi maba semangat ospeknya, semangat hunting senior cakep kalau sempet. Semoga hidup di kota-kota besar nggak menjadikan kalian anak-anak hedon yang cuma guntingin duit orang tua. Terus copas banner yang dipampang di FT "Daripada main kartu, lebih baik menuntut ilmu". Semoga doa-doa baik kita dan orang-orang yang sayang sama kita dikabulkan. Selebihnya, semoga sukses di perantauan masing-masing. Jaga kesehatan ya, God bless you all :)

11.8.15

Entah sudah berapa ribu hari
aku menunggu
untuk hari ini.

Entah berapa ribu hari lagi
harus aku menunggu
untuk hari seperti hari ini.

6.8.15

Nggak boleh bosen adaptasi lagi

First day of school: para senior dan junior sama aja. Sama-sama pada cakep wkwk.

Dan kawan, bawa aku tersesat ke Entah Berantah!

Di sebuah kereta malam, 5 Agustus 2015.
(telah dipublikasikan melalui instagram dan menuai banyak kritik karena kepanjangan caption. Terus dipindah disini. Gitu.)

Hari ini aku menutup peta kehidupanku yang lama. Jalan-jalan yang sudah kuhafal, tempat-tempat bersejarah, seluruhnya kusimpan rapi di suatu bilik pikiranku. Berjaga-jaga jika suatu hari mereka akan sempat kusambangi lagi.

Aku selalu berpikir bahwa bisa saja saat ini juga aku menyatakan mundur. Bisa saja aku menyengaja untuk jatuh dan menyia-nyia semua waktu, membuatnya sedikit tidak berharga. Terlalu banyak bekas luka, terlalu banyak air mata, terlalu banyak niatan baik yang disalahgunakan, terlalu banyak kawan yang kusingkirkan, hingga kini aku jadi pengecualian.

Namun aku sadar bahwa semasa hidupnya, manusia akan selalu berkorban demi sesuatu yang lebih besar, lebih mahal, atau lebih 'tidak mungkin'. Dan, Ya Tuhan, ketidakmungkinanku terbayarkan. Lunas tanpa utang. Setiap malam, dini hari, sepanjang siang, kaki-kakiku telah terus berlari. Selanjutnya yang aku tahu, Kau menggendongku terbang menuju tempat yang dulunya kusebut 'mimpi'. Maka izinkan aku berterima kasih, Tuhan, untuk hidup yang pantas ditangisi dan ditertawakan. Semoga Engkau tidak lelah megajariku, tidak lelah mendengarkan doa-doa orang yang sering putus asa sepertiku. Hahaha

4.8.15

Kado dari waktu

2 Agustus.
Happy birthday yaa. Semoga panjang umur, diberi kesehatan dan selalu dalam perlindungan Allah SWT.
Semoga bertambah segala kebaikannya, dimudahkan segala urusan dan diberi kelancaran dalam menuntut ilmu.
Sukses ya!!! Aku pengen suatu saat liat kamu tersenyum bangga karena telah berhasil wujudin segala impian kamu dan atas tercapainya semua cita-cita kamu.
Selamat berjuang ya di UI, jaga diri disana, belajar yang serius!
Ini cuma buat kenangan aja. Supaya kamu gak telat masuk kuliah juga sih hehe :D maaf ya kalo jelek banget, aku gak pandai milih soalnya.

Selamat ulang tahun, Maulidia Annisa Hilma.


***
Dan aku bahkan tidak tahu ini dari siapa.

28.7.15

Diamku bukan emas

Diabaikan. Dinomorduakan. Dikesampingkan. Tidak diajak bicara. Dimarah-marahi. Kadang merasa tidak diakui. Tidak dibutuhkan. Tidak terlalu berarti. Dan merasa bahwa jika tak ada pun mereka masih sangat lengkap dan bahagia.

Andai dia tahu bahwa semua yang dia lakukan sering membuatku merasa semakin kecil dan tidak berguna seperti saat ini. Dan di saat-saat seperti ini, ketika aku sangat marah seperti ini, yang aku mampu hanya diam, berpaling menjauh, dan menangis perlahan ketika kubasuh wajahku dengan air wudhu. Sedangkan ia, ia membanting segala sesuatu, mulai mengurutkan kekuranganku, seakan aku tidak pernah melakukan apapun untuknya. Padahal aku...aku yang setiap hari di sisinya, yang mendengarkan cerita-cerita tidak pentingnya, yang bersedia menemaninya, membantunya menyelesaikan hampir semua pekerjaan kecil, yang selalu menyisipkan namanya dalam doa sholat fardhuku, yang selalu mengutamakannya, yang selalu.....

Sudahlah. Masih banyak yang bisa kusyukuri. Mungkin benar bahwa kadang penderitaan orang lain menjadi hiburan bagi kita, untuk merasa lebih tinggi dari sesamanya.

25.7.15

At some points things seem so intriguing. About how parallel have we been yet we've been holding on the concept of a single-layered world. But think about it, how would you explain the fact that someone might be sitting on a bench in a park while his mind wanders--sneaking in my backyard? Would you believe me if I told you there's plenty of 'us'es inside us like mes in me?

21.7.15

Bahagia adalah saat kau simpulkan bahwa "Itu tidak menyakitkan."

Duduk berdua, berhadapan. Diatas kursi plastik merah dibalik jendela. Matahari sedang meninggi, sinarnya malu-malu menembus kaca dibelakang tubuh kami. Aku menatap lagi wajahmu yang nampak selalu basah terbasuh wudhu, kemudian berpikir. Betapa bahagianya Ia. Perasaan-perasaan itu selalu berkecamuk tiap kali kita bersitatap seperti ini, antara bahagia mengenalmu dan juga ego untuk pelan-pelan menusukmu dari belakang. Andai aku tega. Kemudian, lagi, kembali dengan percakapan bertopik usang--kita, tentu saja, dan orang-orang yang seharusnya berada di sekitar kita saat ini. Tentang kapan kita semestinya  bertemu lagi, buku yang belum kukembalikan, dan Ia--yang hanya padamu kuketahui kabarnya.

Satu, sejujurnya aku tidak ingin bertemu terlalu sering denganmu karena percakapan-percakapan itu menenggelamkanku, memaksaku untuk tahu diri dengan siapa aku berurusan. Aku lelah membandingkan diri denganmu yang selalu luar biasa. Semua yang kuucap selalu terbata-bata saking aku memantaskan diri untuk berbicara denganmu. Lihatlah, serendah hati inilah aku berusaha selama ini.

Dua, buku yang masih kupinjam...bahkan belum sempat kubaca. Aku tiba-tiba berpikir, jangan-jangan buku itu kau jadikan alasan untuk menemuiku. Dan meskipun aku telah menyadarinya, entah kenapa, buku itu masih tak kukembalikan juga. Bukankah aku ini menghindar dari bahagia?

Ketiga, Ia. Tertawalah padaku. Betapa seluruh pikiran dan tangan ini cepat-cepat ingin membahasnya. Bahkan aku mulai berkeringat saat ini. Dengan nada serendah mungkin, kuberanikan diri untuk memulai. Bagaimana dengannya? Kamu menatapku sejenak. Matamu berbinar, seperti yang sudah kuduga. "Kami masih saling menghubungi. Sayang sekali saat itu tidak ada waktu untuk bertemu. Padahal, kami berada di satu kawasan.". Aku diam menyimpulkan. "Kamu tidak perlu mengkhawatirkan kami.".


Siapa bilang kamu boleh menyebut 'kami' di depanku? Sekuat hati aku berusaha agar kalimat lancang itu tidak terlontar dari mulutku. Yang kutanyakan hanya Dia, jangan sekali-kali kau atasnamakan Dia sebagai bagian dari 'kami'mu. Cukup. Aku tidak tahan lagi.

Kuakhiri percakapan pagi itu dengan senyuman, sebagai pengecut yang amat sangat bahagia. Aku bahagia kamu tidak menyadari kepalsuan apapun yang kubuat.

Alhamdulillah. Kalian baik-baik, ya.

Kamu menjabat tanganku dan berpamitan. Kubukakan pagar rumahku untuk kesekian kalinya, untuk seorang sahabat yang--jauh di lubuk hatiku--ingin kusingkirkan.

Hati-hati di jalan, ya. Sampai bertemu lagi.

Mobilmu melaju pergi. Semakin kecil hingga tak terlihat lagi. Aku sangat bahagia hari itu. Aku telah mengorbankan diriku sendiri, dan seseorang...oh tidak, sepasang sahabatku, berbahagia karenanya.

20.7.15

Tidak semua yang kamu baca adalah kamu. Tidak semua yang kamu baca adalah bukan kamu. Karena seperti halnya aku dalam kehidupanmu, kamu hanyalah seorang pemeran dari segelintir pemeran lain. Kamu tidak memikirkan aku saja, dan kamu juga bukan satu-satunya yang kutuliskan. Aku menulis tentang banyak hal, manusia, dan tentang hatiku sendiri yang (sejujurnya) belum sepenuhnya kukenali. Jika kamu sedang membaca, kumohon, membacalah saja. Jangan berpikir semua ini semata-mata untukmu, atas namamu, dan semua 'kamu' atau 'dia' tertuju padamu. Sebab ini duniaku, selamat datang. Disini akan kamu temukan orang-orang yang kukenal sedekat nadi maupun orang-orang yang tidak pernah kuharapkan untuk datang. Sekali lagi, orang-orang. Hidupku bukan hanya kamu, seperti hidupmu yang bukan hanya aku. Kuharap kamu tidak memaksakan diri menjadi pemeran utama dalam skenarioku.
Aku tidak punya pemeran utama. Semuanya sama, semuanya memberikan pengaruh dalam ceritaku baik jangka panjang ataupun pendek. Yang jelas saat ini aku hanya tidak tahu kamu termasuk golongan mana. Jadi, membacalah saja tanpa merasa sedang diadili.

16.7.15

Di sela gema takbir

Tiga tahun sudah kita lewati malam seperti ini. Saat itu, saat kemarin dan saat ini tidak berubah. Segalanya masih sama. Kamu dan aku di ruang semu, dengan percakapan-percakapan singkat yang enggan untuk kita akhiri. Yang berbeda hanyalah, kita yang tiap harinya menjadi semakin dewasa. Kadang semakin mudah tersinggung. Namun satu hal yang kusyukuri, aku sudah mengenalmu sejauh ini. Haha. Kamu yang dulunya sangat jauh dari genggaman dan pandangan. Lihatlah betapa Waktu sudah membesarkan kita dengan cara yang tidak biasa. Bukan melalui suka, namun lebih melalui lara. Lara yang membuat kita selalu berhubungan kembali, untuk sekedar menanyakan 'Gimana?' atau 'Kenapa?'. Aku juga nggak tahu. Padahal kamu kayak gitu, aku masih kayak gini. Semuanya stagnan pada tempatnya. Nggak pernah pindah kemana mana. Tapi anehnya, aku menyukainya. Kita berdua menyukainya, bukan?
Haha. Aneh sekali.

Hmm. Tahu nggak? Aku hanya akan berharap satu tahun lagi (dan semoga satu tahun-satu tahun yang lainnya), seperti doamu, semoga kita masih akan bertemu lagi. Di ruang yang sama. Membagi cerita. Tawa. Dan semuanya.

Bukankah aku sudah mempertaruhkan segalanya? Tidakkah itu cukup untukmu melihatnya?

Sebab yang kuinginkan sederhana, hanya sepucuk pesan "Mohon maaf lahir batin ya" darimu. Dan lagi, percakapan-percakapan singkat. Dan malam yang terasa amat panjang. Yang selalu enggan kita akhiri.

Semoga keinginanku tidak terlalu tinggi.
Selamat tiga tahun malam lebaran bersama :)

4.7.15

Dua ribu tiga belas

Yang menciptakan dua hal: jarak dan ruang permanen.
Jaraknya sih nggak masalah, ruangnya juga. Yang jadi masalah adalah permanennya. Karena permanen berarti abadi, dan keabadian itu nyatanya sekarang menjerumuskan. Jarak dan ruang itu kini menjelma menjadi jurang. Menganga diantara kita. Dengan dua mulut, disana dan disini tanpa ada yang menjembatani.

Dan Ya Tuhan, kamu..
kamu tega-tega saja kita seperti ini.

22.6.15

I don’t need everyone to know how I go through my life. I don’t need them to know every single path i’ve taken so far. I live better knowing that they always see me smile and laugh and never seem to be troubled by anything. Much better to know they think of me as someone whose life is flat and dull (yet seemingly stable and subtle at the same time). I will just let them be. People only believe what they've seen and set to think that the only valid witness is what they've known so they put the other irrelevant things aside even when it possibly hold the truth. Why? Because they see only with the eyes, so they are easy to be fooled.


So I guess God knows no better, but He knows the best.





Maulidia

5.6.15

This body is a mess we should be grateful of

Please let me be mean for a while. Or, probably you will feel the same about this.
That sometimes you realize your body is a whole amazing mess. Your organ systems you worship, they only worsen the mess.
So I hope you've reached this point.
The point I've seen no relevance between mind and speech. Between intentions and deeds. Expectations and realities.
I've felt like there's too much false alarms that finally bring us to misunderstandings. Little did we say what we mean, do exactly what we intended, or simply achieve what we want...even if we've been working hard on it.
I feel like I'm pretty much disintegrated that I dislike myself for being seen too pathetic at some point. For not getting what I want. For being not myself.

I wish I could invent a machine or a system to fix this problem. So people would stop faking theirselves, stop "tape over your mouth--scribbled out the truth with their lies" and simply remove masks from their faces. I'm done with lies already. Please stop acting so beautiful just to make me look like a fool.

4.6.15

Surat untuk Tuan

Hai Tuan, maaf jika akhir akhir ini berubah jadi aneh. Separuh diriku sedang kutinggalkan dibalik pintu. Entah sudah membusuk atau malah pergi ditiup angin.

Maaf aku menyebalkan. Kamu tidak perlu memaksakan diri untuk mengertiku. Biarkanlah letupan-letupan kebencian itu menghiasi hari-harimu. Biarkanlah semua pikiran buruk tentangku bergentayangan di pikiranmu. Biarkanlah. Sebab aku ini begini adanya.

Semoga kamu tidak bosan menggangguku. Sebab semua ini hanya sementara. Lagipula, tidakkah kau akan merindukanku dalam waktu dekat ini? Aku yakin definisi diriku lebih dari kata-kata yang kau muntahkan dalam amarah. Kau akan menemukan aku yang sebenarnya ketika kau sendiri dan sepi.
Kau akan tahu bahwa aku yang sebenarnya,
adalah aku yang kau sadari dalam lamunanmu.

Yang dibenci,
Maulidia

2.6.15


Allah, ajari aku

Ajari aku untuk tidak membenci, ketika kuedarkan pandanganku dan sesuatu itu muncul. Kentara bagai disinari spotlight.
Ajari aku untuk tidak mengumpat, ketika seseorang dan orang-orang datang berhamburan. Berlarian. Bertubrukan. Denganku dan segala.
Ajari aku untuk menghargai.
Untuk mencintai.
Untuk memahami.
Untuk mengikhlaskan, semua alasan yang sulit diterima oleh akal pikiran.

Dewasakan aku, ya Allah,
melalui sebaik-baik cara.
Mampukanlah diri ini untuk melihat semua melalui mata yang berbeda,
sehingga semua terlihat berwarna.


Aamiin.

31.5.15

Bc life itself is a metaphor

A talk about life seems to be endless. You either can take it too seriously or too at ease. Life is mostly hyperbolic. You gonna have to deal with that all the time.
And life, ladies and gentlemen, despite of my unknowingness and dull sciences, is what you think about life itself.

Life can do you good, but only if you think a good thought of it. Positivities are all it takes. Life is a mastermind. So exceptably genious that it takes control of your lifetime records, sad or glad times.

Life is about feedbacking to each other. Like a conditional-symbiotic-relationship between the components. Who's nice will be done nicely, who's bad will be done badly.

And people, is also life. Since their arrival on Earth, their stupidity has been gradually growing. Inhales little greediness and exhales the worst cruelty though the history. Everyone wants to take over this tiny limited planet we inhibit. Everyone wants to be called the strongest so they make others as weak as can be. And tolerance, humanity, will be forever a concept. A sweet dream of a dreamer. A very high place we barely can pursue.

People, somehow, dismisses the kind definition of life.

So,
Knowing all of these negativities
Who do you wanna be?
Which name should people call you?

26.5.15

Jika kamu menemukan saya disini, itu artinya saya sedang 'terlalu' sesuatu. Kali ini saya terlalu terbawa suasana.

Sepertinya, saya adalah tipe orang yang oversensitif terhadap hal-hal remeh. Hal sesepele pensil atau langit dengan mudahnya membantu saya mengingat semua hal secara kronologis. Ada baiknya, ada juga buruknya sih. Baiknya adalah jika yang diingat kebetulan kenangan yang indah. Buruknya, ya tahu sendiri lah. Lebih buruknya, kadang ingatan itu datang di situasi yang tidak tepat dan justru berpotensi merusak mood saya.

Ha, contohnya peristiwa Purnawiyata tadi pagi. Sudah saya sebutkan cuplikan peristiwanya melalui akun Twitter (tadi males buka blog sumpah) tentang apa yang saya rasakan. Memang tidak menggambarkan kejadian seutuhnya. Namun, saya telah berusaha mencari padanan kata yang tepat untuk setidaknya mendekatkan pembaca dengan maksud pikiran saya.

Cari tahu selengkapnya pada post selanjutnya.
Sebagai sneak peek, mulailah memainkan See You Again-nya Charlie Puth di kepala.

19.5.15

Hai (lagi)

Kamu boleh tinggal, tapi jangan meminta dihiraukan. Kamu boleh bermain, tapi aku yang akan menang.

Tinggallah dalam dekapan. Meski aku hanya semu saja.

Maaf aku jahat.

11.5.15

Some things have (unknowingly) happened

Akan hengkang sementara. Akan kembali kala semua baik-baik saja.

30.4.15

Tercengang-cengang.
Beritahu aku jika ada kata yang lebih pantas.

27.4.15

Di batas doa

Tentang menarik batas, memisah dua dunia. Semoga kamu tidak pernah menyadari bahwa hal itu salah. Seluruhnya. Bahwa batas membuat kita selalu berdiri di tempat yang berbeda. Yang paling menyedihkan, kita telah selalu saling berkebalikan. Jika aku disini maka kau di sisi lainnya. Seperti depan-belakang, seperti gelap-terang. Mengerikan.

Tuhan, aku masih berharap Engkau mengingat doaku waktu itu. Tentang mimpi-mimpi yang sempat tertunda, tentang janji yang belum terlaksana.

Izinkan kurapal sekali lagi, Tuhan. Tentang betapa aku akan selalu mengagumi hidupnya yang bukan untukku. Betapa ia akan selalu jadi seseorang itu, yang membangunkanku ketika hujan semakin menderas. Yang terbangun sendirian di pagi buta, asyik menceritakan mimpi-mimpiku padaMu dan merengek agar Kau mengabulkannya sedang untuk mimpinya sendiri ia lupa cerita saking asyiknya.

Kuharap,
Setiap nafasnya, degup jantungnya, langkah gugupnya, selalu diiringi cahaya. Ia tahu, ia selalu tahu aku sanggup merasa..meski enggan bicara.

Kuharap, kamu tidak mendengarnya.
Aku malu
pada diriku.

-R

24.4.15

Beri aku jeda

Merataplah. Tentang betapa menyedihkannya manusia ketika dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang sama-sama memabukkan. Haha, aku mengerti bagaimana rasanya terjebak diantara dua kata. Beberapa kali pernah aku kesana. Karena aku peduli terhadapmu, maka saranku mulailah berlari. Sebab tak bisa kau miliki keduanya. Kau tak bisa bolak-balik pulang pergi dari neraka ke surga. Atau dari surga ke neraka. Anggap saja segitiga ini berakhir, diurai menjadi selurus garis saja. Agak sadis, agak melankolis. Namun memang ini adanya,
Jangan bilang aku tidak pernah memperingatkanmu. Sekali lagi, berlarilah. Berlarilah sekuat tenagamu. Sebelum kau hancur dan menganggap aku sebagai penghancur, karena pada dasarnya aku memang berpotensi jadi penghancur. Sebelum 'Kau' dalam sajak-sajak sedihmu tertuju padaku. Sebelum aku datang dan mengharuskanmu untuk memilih. Bukan dua, tapi satu. Dan harus aku.




Jadi, sampai dimana kita?




23.4.15

Waktu harus jadi pecundang

Ketika berjalan, saya tinggalkan dibalik punggung banyak sekali pertanyaan. Ditinggalkan pun dengan alasan: tidak ada yang sanggup menjawab. Tidak juga waktu. Seringkali saya mencemooh waktu hingga lelah sendiri. Waktu telah mengkhianati saya dalam berbagai perjanjian. Dimana ia menjanjikan kebenaran, dan pembuktian. Pada intinya, Waktu menawarkan saya hal manis yakni fakta--sesuatu yang tak sanggup disangkal dan dielak. Namun tak hanya sekali Waktu membuat saya terlihat bak pecundang. Waktu begitu egois dan sok tahu dan sok pintar. "Biarlah Waktu yang menjawab." hanya omong kosong. Selama ini saya percaya pada Waktu dan jalan yang kami lalui tidak membawa kami kemanapun. Biarlah, saya telah muak menunggu. Saya akan berjalan duluan, balik mengkhianati Waktu. Akan saya balaskan dendam saya, Waktu harus jadi pecundang--abu kremasi dibawah kaki kaki saya. Saya sendiri yang akan menjawab sekian pertanyaan yang tak sanggup ia jawab. Waktu terlalu bodoh. Sebab pertanyaan saya terlalu sederhana: mengapa?